Dalam ruang sempit di dalam goa, ada teriakan-teriakan yang saling bersahutan, seolah memberikan arahan ke mana babirusa itu berlari. Terdengar suara anjing yang terus menyalak, terus berlari mengejar buruannya di lereng perbukitan. Teriakan-teriakan, gumam penuh harapan, alunan permintaan, pujian kepada ruh nenek moyang, agar pada saat berburu nanti, kelompoknya mendapatkan binatang buruan yang diharapkan. Lantunan harapan yang diucapkan, yang diteriakan dalam puji-pujian, dan tepukan yang memberikan isyarat. Binatang yang diharapkan dalam perburuan nanti, kemudian digambarkan di dinding goa dengan oker. Iringan suara yang menggambarkan perburuan di belantara yang nyata. Wujud binatang yang digambar sebagai perwujudan harapan, terasa hadir begitu nyata, terekam dalam pikiran masing-masing, mewujud dalam gerak berlari saat berburu nanti, dalam gerak menjerat, dalam gerak melempar, dalam gerak menangkap, dan dalam gerak menggendong hasil buruannya ke dalam goa. Gambar tangan dengan jari-jari yang terbuka, merupakan harapan dan kegembiraan penuh sorak-sorai, ketika binatang buruan itu berhasil didapatkan.
Dalam bayangan saya, gambar yang terlukis di dinding goa itu, bukan sekedar gambar binatang buruan, sekedar gambar lengan manusia. Tapi, di dalam gambar itu terekam gerak perburuan, terekam teriakan-teriakan, harapan, arahan, kegembiraan, dan religi.
Itulah kilasan kesan pribadi saat menyaksikan gambar goa di beberapa goa yang terdapat di Maros Pangkep, seperti di Goa Sumpangbita. Ada jalan tembok satu meter atau lebih lebarnya, bergelombang naik-turun lereng bukit kapur, menghubungkan Taman Purbakala Sumpangbita di ketinggian 80 m dpl sampai Gua Sumpangbita di ketinggian 280 m dpl. Goa ini berada di lereng Timurlaut Bukit Bulubita (+380 m dpl).
Gua Sumpangbita merupakan satu dari banyak goa di Maros Pangkep. Di dinding goa, di langit-langit goa, banyak terdapat gambar yang dibuat oleh toala, manusia hutan yang tinggal di dalam leang (goa). Gambar-gambar tangan dengan jari-jarinya yang terbuka, gambar telapak kaki, gambar binatang seperti babirusa, gambar perahu, dan gambar-gambar lainnya yang sudah memudar dilakukan alam.
Baca Juga: 6 Tulisan Orisinal Terbaik Mei 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta untuk Netizen Aktif Berkontribusi
Gambar-gambar yang tersebar di Maros Pangkep itu dibuat oleh manusia modern awal yang menjelajahi Pulau Sulawesi. Mereka datang secara bergelombang, berselang waktu ribuan tahun, lalu menjelajahi sudut-sudut daratan. Ada yang menetap beranak-pinak, ada juga yang melanjutkan penjelajahan ke pulau-pulau yang yang berserakan di atas gelombang lautan. Mereka mengarungi lautan, berlabuh di muara sungai, pelabuhan alami yang memberikan perlindungan dan kemudahan untuk menambatkan perahunya, di pulau-pulau yang sekiranya dapat memberinya penghidupan. Begitulah seterusnya, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, secara bergelombang, Homo sapiens mengarungi lautan sampai di Sulawesi Selatan, sampai di Pulau Selayar, di Pulau Flores, di Pulau Timor, di Pulau Alor, menerus sampai di Australia.
Gua kapur itu berada di Kampung Sumpangbita, Desa Bollocibaru, Kecamatan Bolloci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Nama goa Sumpangbita merupakan gabungan dari kata sumpang dan bita, yang berarti gerbang menuju (kampung) Bita. Dari Maros, goa ini dapat dicapai dengan berkendara selama setengah jam, dan dari Kota Makassar sekitar satu jam.
Goa-goa alami yang kemudian dihuni oleh para Homo sapiens yang telah mengarungi samudra dan menjelajahi di kaki barat Pulau Sulawesi. Antara 40 juta hingga 15 juta tahun yang lalu, kawasan karst Maros-Pangkep ini berupa laut dangkal yang jernih. Kemudian kawasan ini terangkat secara evolutif. Setelah di permukaan, batukarang itu terkena pengaruh iklim, panas-dingin, hujan, ditumbuhi pepohonan, kemudian mewujud menjadi kawasan karst Maros-Pangkep seperti yang ada saat ini, dengan goa-goa yang kemudian dihuni oleh manusia awal di pulau ini.
Goa-goa yang menyimpan rekam jejak kehidupan Homo sapiens itu sangat tinggi nilainya, yaitu: Leang Bulusipong, Leang Jing, Leang Lompoa, Leang Sumpangbita, dan Leang Timpuseng. Jajaran bukit-bukit kars itu mempunyai fungsi ekologis yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem karst. Ronabumi yang megah inilah yang menjadi daya tarik Homo sapiens sejak 45.000 tahun yang lalu, untuk menjelajahi kawasan ini, dan tinggal di goa-goa yang dapat memberikan perlindungan dan kemudahan dalam mencari makanan, dan pasokan air jernih dari mataair.
Penelitian-penelitian gabungan antara para peneliti luar Negeri dengan para peneliti Indonesia, telah mengukur umur kehidupan di goa-goa di Maros Pangkep. Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa goa-goa itu pernah dihuni oleh Homo sapiens sejak 45.000 tahun yang lalu, menerus pada 44.000 tahun yang lalu, 42.000 tahun yang lalu, 39.700 tahun yang lalu, 32.000 tahun yang lalu, dan diketahui ada yang tinggal di sana 12.000 tahun tahun yang lalu.
Gambar-gambar di dalam goa itu merupakan kisah visual tentang manusia, perahu, dan mamalia darat yang hidup di kawasan itu, seperti: anoa, babi kutil, dan babirusa. Homo sapiens yang menghuni awal goa-goa di Maros Pangkep itu memilih ruang goa untuk tinggal dan berkehidupan, misalnya dasar goanya kering, tidak bau goano, dekat dengan sumber air, dan dari mulut goa itu dapat melihat bentangalam yang megah.
Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan
Goa-goa kapur di Maros Pangkep ini mempuyai nilai yang sangat tinggi dan penting dalam perkembangan budaya, bukan saja budaya manusia Indonesia, tapi perkembangan budaya manusia di dunia. Oleh karena itu, segala bentuk pengrusakan dan yang dapat mengganggu keutuhan lingkungan goa dan gambar goa, harus dicegah.
Masih ada satu hal yang belum tergali sampai saat ini, yaitu, hasil karyanya terabadikan di dalam goa-goa di Maros Pangkep, namun para penggambarnya belum ditemukan bagian organ tubuh yang dapat terawetkan selama puluhan ribu tahun. (*)