AYOBANDUNG.ID - Yuningsih masih ingat betul tahun-tahun terakhirnya bekerja di PT Mbangun Praja Industri (Bapintri), sebuah perusahaan pemintal kain di Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Selama 32 tahun bekerja sebagai operator mesin, ia menyaksikan dan merasakan langsung betapa perempuan tak pernah mendapat tempat yang adil di dunia kerja, terutama di sektor industri tekstil.
"Dunia kerja belum benar-benar menjungjung kesetaraan perempuan dan laki-laki. Di Bapintri, buruh perempuan menjadi sasaran pertama yang kena PHK lebih dulu. Hanya pakai alasan perempuan mudah cari kerja atau bukan tulang punggung keluarga," kata Yuningsih, 50 tahun.
Pernyataan itu bukan sekadar keluhan pribadi. Ia mencerminkan kondisi sistemik yang masih mengakar di sejumlah perusahaan di Indonesia, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, garmen, sepatu, dan kulit (TGSL). Sektor ini dikenal sebagai penyerap tenaga kerja perempuan terbanyak, namun juga menyimpan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang masih membelenggu mereka.
Di Bapintri, sebelum akhirnya gulung tikar dan memecat 267 orang pekerjanya pada Januari 2025, praktik diskriminatif terhadap buruh perempuan kerap terjadi. Salah satunya dalam bentuk kebijakan rolling masuk kerja setiap pekan yang diberlakukan demi efisiensi. Sayangnya, buruh perempuanlah yang paling sering tak mendapat giliran bekerja.
"Kan tiap minggu suka ada kebijakan rolling. Nah buruh perempuan itu sering jadi sasaran kena rolling. Alasannya sama, karena mereka bukan tulang punggung keluarga," kata Yuningsih yang berasal dari Cibeber.
Situasi semacam ini membuat penghasilan buruh perempuan menurun drastis, bahkan sampai 25%. Padahal, sebagian besar dari mereka juga berperan sebagai pencari nafkah, baik utama maupun pendamping. Tak hanya dari sisi penghasilan, kesempatan meniti jenjang karir pun hampir tertutup bagi mereka. Selama tiga dekade lebih bekerja, Yuningsih tak pernah naik jabatan.
"Paling banter asisten pengawas itu pun jumlahnya bisa dihitung jari. Mayoritas operator, jabatan lainnya masih diisi laki-laki. Saya saja sejak masuk sampai 32 tahun kerja masih tetap di posisi operator," ujar ibu dua anak itu.
Kondisi ini memperlihatkan realitas dunia kerja yang belum membuka ruang bagi perempuan untuk bertumbuh. Kompetensi dan pengalaman tak cukup untuk membawa mereka meniti karier, jika jenis kelamin masih jadi pertimbangan utama.
Tak berhenti di situ. Masalah lain datang dari pelanggaran hak reproduksi perempuan. Hak cuti haid dan melahirkan kerap diabaikan atau dipersulit dengan sederet persyaratan administratif. Kontrak kerja buruh perempuan yang sedang hamil kerap tak diperpanjang, tanpa alasan yang jelas.
Berkaca dari kondisi ini, Yuningsih dan kawan-kawan mendirikan Serikat Buruh KASBI di PT Bapintri. Mereka bergerak melakukan advokasi, edukasi, hingga aksi. Tapi sebelum cita-cita itu tercapai, Bapintri gulung tikar. Sebanyak 267 buruh terakhir, termasuk Yuningsih, di-PHK pada awal tahun.
"Upaya mewujudkan kesetaraan buruh perempuan merupakan jalan panjang yang terus saya perjuangkan. Maka di hari buruh tahun ini kami menolak segala bentuk diskriminasi, PHK sepihak, kejelasan status kerja, ketidakjelasan status dan sistem kerja."

Diskriminasi Jamak Terjadi
Kisah Yuningsih hanyalah satu dari sekian banyak potret buruh perempuan di Indonesia yang masih harus berjuang di ruang kerja yang belum ramah. Laporan Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia 2022 yang disusun oleh Never Okay Project bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkapkan bahwa perempuan masih menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan di tempat kerja.
Dari 1.173 responden di seluruh Indonesia, sebanyak 75,9% perempuan melaporkan pernah mengalami kekerasan atau pelecehan, dibandingkan dengan 54% laki-laki. Kelompok non-biner atau queer bahkan menunjukkan tingkat kerentanan yang lebih tinggi, dengan 95,5% responden menyatakan pernah menjadi korban.
Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami adalah kekerasan psikologis, seperti perundungan dan makian, yang dilaporkan oleh 77,4% korban. Kekerasan seksual juga menjadi perhatian serius, dengan 50,5% korban melaporkan mengalami pelecehan seksual, termasuk godaan, lirikan, sentuhan tanpa persetujuan, hingga pemerkosaan.
Pelaku kekerasan, menurut survei tersebut, sering kali adalah atasan atau rekan kerja senior, yang mencerminkan ketimpangan relasi kuasa di lingkungan kerja. Sebanyak 54,8% pelaku berada dalam posisi tersebut.
Dampaknya pun tidak main-main. Sebanyak 63,2% korban merasa marah dan tidak nyaman, 55% mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, dan 47% menyatakan keinginan untuk keluar dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang melaporkan. Alasan utama termasuk kurangnya kepercayaan bahwa manajemen akan mengambil tindakan (45,6%), kekhawatiran bahwa tidak ada yang akan mempercayai mereka (37,8%), dan ketakutan akan dampak negatif terhadap karier mereka (37,5%).
Sektor TGSL Rawan
Kondisi kerja yang buruk juga tercermin dalam Survei Kelayakan Kerja 2024 yang dilakukan Gajimu.com. Survei ini mencatat partisipasi sebanyak 587 ribu pekerja perempuan dari total 819 ribu responden di sektor TGSL, mewakili 72% pekerja perempuan di sektor tersebut.
Survei dilakukan di 134 perusahaan di wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Hasilnya cukup mencengangkan. Satu dari 23 responden menyatakan terdapat kasus pelecehan seksual di tempat kerjanya dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, sebanyak 1,6% pekerja perempuan mengaku memperoleh upah yang tidak setara dengan pekerja laki-laki.
Persoalan cuti haid dan melahirkan juga masih jauh dari ideal. Dari 134 perusahaan, sebanyak 70 perusahaan tidak memberikan hak cuti haid. Sebanyak 32 perusahaan tidak membayar upah penuh selama cuti melahirkan, dan 8,8% responden mengatakan perusahaannya tidak mematuhi ketentuan cuti melahirkan selama tiga bulan.
Bahkan, pemecatan karena mengambil hak cuti melahirkan pun terjadi. Tiga dari 40 responden melaporkan hal tersebut.

Fasilitas dasar bagi ibu bekerja, seperti ruang menyusui dan waktu istirahat untuk menyusui, juga minim. Sebanyak 64 dari 134 perusahaan tidak menyediakan ruang menyusui. Sekitar 31,6% responden bekerja di tempat yang tidak memberikan waktu istirahat untuk menyusui.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak maksimalnya pemenuhan hak pendamping istri, yakni cuti ayah. Sebanyak 26,5% pekerja mengatakan perusahaannya tidak memberikan upah penuh saat cuti ayah. Dua dari sembilan responden menyatakan tidak ada cuti ayah sama sekali di tempat kerjanya.