PEREMPUAN sosok yang sering kali digambarkan dengan feminitas yang cenderung lebih dominan, sosok yang lemah, penuh emosional, penurut dan stigma lain yang melekat dalam dirinya.
Di setiap negara tentu perempuan memiliki stigma dan tantangannya tersendiri. Dalam buku berjudul "Perempuan di Titik Nol" karya Nawal El-Sadawi, perempuan Mesir digambarkan sebagai objek seksualitas semata. Firdaus sebagai tokoh perempuan dalam buku tersebut dalam hidupnya tidak lepas dari pandangan seksisme setiap laki-laki.
Sejak kecil Firdaus sudah mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual dari lingkungan terdekatnya. Mulai dari ayahnya, pamannya hingga temen bermainnya. Perempuan saat itu tidak lebih diperlakukan seperti budak yang hina. Tidak diberikan tempat tidur yang nyaman, makanan yang membuat perut kenyang, kesempatan pendidikan yang harus dibayar dengan kepuasan seorang laki-laki.
Bahkan ketika dirinya menikah dengan seorang syekh yang lebih tua darinya, Firdaus tidak lepas dari kekerasan baik secara fisik atau verbal. Gambaran di mana perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dalam buku tersebut terdapat sebuah kutipan yang menggambarkan bagaimana lelaki revolusioner tetap tidak menghargai hak-hak perempuan.
Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak jauh berbeda dengan lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual
Bahkan ketika Firdaus melakukan pembelaan diri saat merasa terancam oleh sang germo dengan membunuhnya. Firdaus tetap dihukum mati dan tidak mendapat pembelaan dari budaya patriarki yang ada. Bahkan ketika perempuan tidak bisa memilih keinginannya sendiri untuk menolak permintaan pernikahan oleh seorang germo.
Lelaki yang ingin menikahinya bukan karena cinta atau bentuk menghargai tapi ingin mengikat dengan sebuah perkawinan. Agar Firdaus menjadi milik seutuhnya dan menjadikannya komoditas uang sebagai seorang pelacur.
Dalam buku lain berjudul "Memoar Seorang Dokter Perempuan" yang juga ditulis oleh Nawal El-Sadawi. Seorang tokoh perempuan bernama gadis yang hidup dalam kentalnya budaya patriarki. Membuat dirinya selalu mempertanyakan kenapa perlakuan ibunya berbeda terhadap anak perempuan dengan laki-laki.
Membuat gadis membenci dirinya sendiri karena dia terlahir sebagai seorang perempuan. Gadis tidak menyukai tubuhnya, baginya tubuh perempuan adalah sesuatu yang memalukan dan harus ditutupi.
Gadis sebagai seorang perempuan dituntut untuk bersikap sopan, tidak bebas melompat dan berlari, tidak boleh duduk sembarang yang membuat gaunnya akan tersingkap dan tidak boleh bepergian jauh seperti kakak laki-lakinya.
Bahkan menjadi seorang dokter yang seringkali dipandang sebagai profesi yang memiliki status sosial paling tinggi, tidak membuatnya diperlakukan setara hanya karena dia seorang perempuan. Begitulah kiranya perempuan dipandang oleh masyarakat Arab.
Bahkan karya-karya Nawal tentang perlawanan hak-hak perempuan sempat dicekal karena dianggap menulis sesuatu yang dianggap tabu oleh budaya setempat. Meski demikian karyanya tetap mendunia dan sudah banyak diterjemahkan.
Dalam budaya lain di Indonesia, misalnya dalam buku "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" pun menyiratkan dimana budaya patriarki sangat mengikat perempuan. Perempuan Sumba yang sejak kecil sudah mendapat garis takdir yang ditentukan society. Di mana perempuan dideskritkan untuk tidak melanjutkan sekolah tinggi karena akan berujung mengabdi pada suami.
Perempuan Sumba yang tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri, perempuan Sumba yang dirampas kesucian, harga diri dan hidupnya oleh sebuah adat bernama kawin tangkap. Berlindung dibalik tradisi yang sudah secara turun-menurun mesti dilestarikan. Penjajahan bagi kaum perempuan Sumba yang harusnya bisa terbang dan mengibarkan sayapnya menjadi manusia-manusia berdaya.
Sementara jauh di Afrika sana, sebuah tempat bernama Mauritania memiliki tradisi pernikahan yang mengharuskan perempuan berbadan gemuk. Perempuan sejak remaja dipaksa untuk makan dalam jumlah yang banyak.
Perempuan dianggap lebih menarik, subur dan kaya dengan lapisan lemak yang menggumpal di tubuhnya. Stigma yang jauh dari kata menarik ini justru membahayakan kesehatan perempuan. Perspektif yang justru menjadi sebuah pembodohan bagi kaum perempuan yang tidak berdaya akan pilihan hidupnya bahkan untuk tubuhnya sendiri.
Perjuangan

Pejuang perempuan dan pejuang laki-laki, ketika sama-sama tertangkap, siksaannya akan berbeda. Semua akan sama-sama disiksa, tetapi di dunia yang kejam terhadap perempuan ini, kita tahu kalau dalam kondisi seperti itu, perempuan pejuang akan diincar keperempuannya. Dilecehkan, dicabuli, diperkosa, Marsinah salah satunya.
Perjuangan memang bukan suatu hal yang mudah untuk dijalani, terlebih jika kamu adalah seorang perempuan. Pernyataan di atas yang terdapat dalam buku "Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut" menjadi relevan dengan beberapa aktivis perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan atas dirinya tapi hilang dan terbunuh dengan cara yang tragis.
Seorang perempuan bernama Marsinah menjadi bukti nyata bagaimana problematik dan penuh tantangan bagi seorang perempuan yang ingin memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh.
Perempuan kelahiran Nganjuk, 10 April 1969 ini ditemukan tewas mengenaskan dengan luka dan bekas pelecehan di sebuah gubuk di kawasan hutan jati Wilangan Kota Nganjuk setelah berhasil melakukan perundingan 13 tuntutan yang dibuat bersama rekannya kepada perusahaan arloji bernama PT. Catur Putra Surya (CPS).
Dalam kasus ini pemerintah dianggap menutup kasus Marsinah dan menganggapnya selesai dengan tidak menindaklanjuti fakta-fakta dan temuan yang ada dalam persidangan. Kasus ini menjadi gambaran bahwa penegakan hukum dan peradilan di Indonesia yang masih diwarnai rekayasa dan penuh dengan kepalsuan. Bahkan hingga hari ini.
Adapun pada tahun yang sama terjadi kerusuhan Mei 1998, di mana banyak etnis Tionghoa yang tokonya dijarah dan para perempuannya diperkosa, dilecehkan, hingga dibunuh.
Salah satu korban dalam tragedi tersebut bernama Ita Martadinata, demi mencari keadilan Ita bergabung menjadi aktivis muda perempuan yang mengajukan diri untuk memberikan kesaksian di hadapan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat.
Namun nahasnya beberapa hari sebelum keberangkatan, Ita Martadinata ditemukan tewas dibunuh di kamar pribadinya pada 9 Oktober 1998 dengan kondisi mengenaskan. Tak hanya itu, kekejian pembunuhan ini diperparah dengan narasi yang menyudutkan korban, yang disampaikan oleh tim forensik yang mengurus jenazah ita, bahwasannya Ita sudah terbiasa melakukan tindak asusila.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1998 sampai hari ini masih belum menemukan titik terang, masih jauh dari rasa keadilan yang harus didapatkan oleh korban. Bahkan setiap perjuangan para perempuan mungkin bisa saja hilang jika revisi sejarah benar adanya dipugar.
Sampai hari ini pun perempuan masih terus berjuang mendapatkan keadilan dan kesetaraan bukan karena dia adalah seorang perempuan tapi karena perempuan juga manusia yang diciptakan Tuhan. Kembali kepada definisi bahwa setiap manusia yang ada di muka bumi ini berhak mendapat kemerdekaannya sendiri.
Kemerdekaan
Makna kemerdekaan menurut KBBI, menyiratkan suatu kondisi bebas dari penghambaan, penjajahan dan tuntutan tertentu. Kemerdekaan pantas didapatkan oleh semua manusia yang hidup di muka bumi ini, termasuk bagi seorang perempuan.
Bagi saya landasan mendasar kemerdekaan bagi seorang perempuan adalah di lingkungan keluarga. Kemerdekaan yang seringkali dipandang tabu, hanya karena perempuan berani menyampaikan pendapat pribadinya.
Menjadi pamali hanya karena perempuan dianggap keluar dari kodratnya apabila tahu dan memilih jalan hidupnya sendiri. Dianggap terlalu berambisi dan keluar dari kepercayaan sosial bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena akan berujung pada pengabdian kepada suami.
Mendapat perlakuan yang berbeda dibandingkan anak laki-laki di rumah hanya karena dianggap anak laki-laki bisa lebih membanggakan keluarga dengan segudang prestasinya. Tapi saat perempuan ingin berdaya dengan melanglang buana ke berbagai negara, dihentikan langkahnya hanya karena terlahir sebagai seorang 'perempuan'.
Kemerdekaan bagi seorang perempuan bukan sekedar bisa hidup aman dan nyaman. Merdeka juga berarti tentang kebebasan berpikir dan setiap langkah baik yang tidak perlu dibatasi. Jika kebebasan perempuan dianggap akan melahirkan liberalisme yang berujung pada kekhawatiran pergaulan di masa depan.
Saya percaya perempuan yang sudah merdeka dengan cara berpikirnya akan secure dan tidak akan berani melanggar batas yang sudah di atur oleh agama maupun norma sosial.
Kemerdekaan bagi perempuan juga ada dalam ranah publik. Bagaimana perempuan bisa merdeka dari pandangan seksisme kaum adam. Merdeka dari pemikiran laki-laki bahwa perempuan hanya dianggap sebagai objek seksualitas semata.
Merdeka dari tindak laku pelecehan seksual di antara himpitan bus kota. Merdeka dari pelecehan verbal maupun non-verbal di ruang kerja. Merdeka dari para oknum dosen biadab yang mewajarkan dan menghalalkan perilaku tidak beradab itu dengan ancaman nilai atau hak kelulusan bagi para mahasiswa.
Merdeka dari mata dan pikiran manusia yang menggaungkan tentang moral dan agama tapi dia tidak lebih bejat dari seekor binatang.
Kemerdekaan bagi perempuan bukan soal melawan dan ingin melampaui batasan hak laki-laki. Tapi ini tentang hak dan keadilan perempuan juga yang pantas untuk diperjuangkan. Sekali lagi bukan karena terlahir sebagai seorang 'perempuan' tapi karena perempuan juga terlahir sebagai seorang manusia.
Sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alenia pertama,
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
Begitulah kemerdekaan seharusnya ada bagi setiap manusia. (*)