Selain populer sebagai destinasi wisata favorit, Bandung juga lekat dengan identitasnya sebagai kota pendidikan, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai daerah menimba ilmu. Perpaduan ini membuat Bandung selalu hidup dengan dinamika anak mudanya.
Namun, di balik ramainya sudut-sudut kota, kedai kopi, dan kampus, ada ruang pergaulan baru yang samar-samar tidak terlihat, yakni aplikasi kencan.
Kehadiran aplikasi kencan kini menjadi medium baru anak muda Bandung untuk mencari pertemanan, memperluas relasi, bahkan menemukan pasangan. Seperti yang dialami oleh MFA (21), seorang mahasiswa yang kini sedang menempuh pendidikan di Bandung bercerita kalau dia mencoba aplikasi kencan untuk memperluas pertemanan.
"Awalnya iseng untuk bermain aplikasi ini, tapi ternyata seru juga karena bisa kenal orang dari kampus lain. Lumayan dapat temen baru untuk hangout sambil bertukar cerita."
Cerita yang dialami oleh MFA bukanlah kasus tunggal. Banyak mahasiswa Bandung lainnya yang mengaku juga menggunakan aplikasi kencan entah untuk mengobrol ringan selepas kuliah, mencari teman hangout untuk coba cafe baru di Dago, atau menjalin hubungan serius.
Self-Disclosure
Salah satu hal menarik dari aplikasi kencan adalah bagaimana para mahasiswa ini menampilkan dirinya. Dalam kajian Ilmu Komunikasi, konsep ini disebut self-disclosure, yaitu keterbukaan diri yang biasanya terjadi saat orang berbagi informasi pribadi.
Di aplikasi kencan, self-disclosure dilakukan dengan cara mengunggah beberapa foto menarik, usia, lokasi, hobi atau olahraga favorit, sampai ke selera musik. Mahasiswi berinisial MI (23) mengakui bahwa foto dan profil singkat pengguna lain menjadi tolok ukur pertama sebelum memutuskan untuk swipe.
"Yang paling awal dilihat itu foto dan bio-nya. Dari situ kita bisa melakukan screening awal terhadap personality seseorang. Biasanya aku tertarik sama yang hobi atau selera musiknya sama, jadi ngobrolnya jadi lebih nyambung."
Artinya, kesan pertama kini tidak hanya tercipta melalui tatap muka dan obrolan pertama, tetapi bisa lewat kurasi digital yang disusun semenarik mungkin untuk menciptakan kesan pertama yang baik.
Lebih Nyaman Curhat Lewat Chat?
Pengalaman mahasiswa Bandung menunjukkan, komunikasi digital kadang terasa lebih nyaman daripada interaksi secara tatap muka. Fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori Computer-Mediated Communication (CMC) yang menjelaskan bahwa meski tanpa ekspresi wajah atau nada suara, percakapan daring tetap bisa terasa intim.
Salah seorang mahasiswi berinisial L (20) mengaku lebih mudah terbuka saat ngobrol dengan orang baru di aplikasi.
"Aku pernah secara tidak sadar curhat sama orang yang baru aku kenal beberapa hari. Tapi aku merasa lebih nyaman, karena kan gak ketemu langsung, jadi gak ada pressure pas lagi cerita, gak awkward juga."
Keterbukaan semacam ini memperlihatkan bagaimana aplikasi kencan memberi ruang baru bagi anak muda untuk bercerita apapun, bahkan ke orang yang baru dikenal.
Hubungan Dekat di Chat, Hilang di Dunia Nyata?

Menurut teori Social Information Processing (SIP) dari Josep Walther, hubungan melalui digital bisa berkembang sama kuatnya, bahkan lebih dekat dibanding dengan tatap muka. Alasannya, pengguna punya waktu lebih banyak dalam memilih kata, menyusun pesan, dan menampilkan sisi terbaik dirinya.
Hal inilah yang membuat beberapa mahasiswa merasa cepat cocok dengan lawan bicara di aplikasi. Namun, kedekatan yang intens juga bisa berubah menjadi cepat jenuh atau bahkan bisa ditinggalkan secara tiba-tiba tanpa sebab, fenomena ini lebih dikenal dengan ghosting.
PFL (25), seorang mahasiswi yang sedang menempuh pascasarjana di Bandung menceritakan pengalamannya yang pernah mengalami ghosting. "Sedih bukan karena di-ghosting, tapi lebih ke overthinking kenapa selalu merasa gagal untuk menjalin hubungan. Apa ada yang salah sama aku ya?"
Fenomena ghosting menjadi sisi lain dari cinta digital yang tidak bisa dihindari. Di satu sisi, aplikasi kencan memudahkan bertemu orang baru. Di sisi lain, hubungan yang tidak punya landasan kuat bisa hilang begitu saja.
Dampak Psikososial
Meski penuh risiko emosional, mahasiswa ini juga mengaku merasakan dampak positif dari aplikasi kencan. Banyak yang merasa lebih percaya diri setelah terbiasa membuka diri lewat profil dan percakapan daring.
Seorang mahasiswi berinisial AA (22) bercerita, awalnya merasa tidak percaya diri karena masalah penampilan. Namum interaksi di aplikasi justru mengubah pandangannya.
"Awalnya sempat insecure karena wajah lagi break out. Tapi setelah ketemu orang lewat aplikasi, ternyata mereka gak mempermasalahkan itu. Malah bikin aku lebih percaya diri, karena tidak hanya memandang fisik, tapi obrolan yang berkualitas."
Bukan hanya soal mencari pasangan, aplikasi kencan juga membantu dalam memperluas lingkaran sosial, menambah teman diskusi, teman nongkrong, atau sekadar tempat berbagi cerita.
Jadi, di tengah ramainya kota Bandung yang dikenal sebagai kota wisata dan pendidikan, aplikasi kencan hadir sebagai peluang sekaligus tantangan bagi anak muda. Dari self-disclosure lewat profil hingga fenomena ghosting, cinta digital menawarkan kemudahan mengenal orang baru, tetapi juga membawa risiko manipulasi dan ekspektasi yang tak realistis.
Karena itu, penting bagi pengguna untuk berhati-hati, tahu batasan, dan bijak berinteraksi. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah perantara, yang menentukan bertahan atau tidaknya sebuah hubungan tetaplah niat, tujuan, dan usaha dari kedua belah pihak. (*)