Kemajuan teknologi pada era digitalisasi secara perlahan mengubah cara kerja di sektor Pemerintahan. Kebijakan terbaru dari Kemenpan RB mengenai sistem kerja ASN work from anywhere (WFA) yang sesuai dengan Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 yang mengatur pelaksanaan tugas kedinasan pegawai ASN secara fleksibel.
Aparatur Sipil Negara (ASN) didorong untuk bekerja secara lebih adaptif dan berbasis teknologi. Ini bukan hanya soal fleksibilitas tempat dan waktu kerja, tetapi perubahan budaya kerja, bahkan bisa dibilang perombakan cara pikir yang menuntut kesiapan adaptasi dari setiap individu ASN sebagai pemegang peranan kunci.
Pertanyaannya, seberapa siapkah ASN kita menghadapi era kerja yang lebih dinamis ini? Kunci utamanya terletak pada literasi digital.
Kebijakan mengenai sistem work from anywhere (WFA) dan jam kerja fleksibel yang digulirkan Kemenpan RB ini merupakan respons terhadap dinamika dunia kerja yang terus berkembang. Sistem WFA sederhananya memungkinkan ASN bekerja di mana saja dengan jam kerja yang fleksibel.
Kemenpan-RB menegaskan bahwa fleksibilitas ini hadir sebagai solusi untuk menjawab kebutuhan kerja yang semakin dinamis untuk meningkatkan kinerja organisasi dan individu, menjaga "work life balance" ASN melalui penerapan penilaian kinerja yang terukur dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi.
Penting untuk digarisbawahi, kebijakan ini bukanlah "libur" atau "santai-santai". Kemenpan RB juga menjelaskan bahwa penerapan fleksibilitas sistem kerja WFA ini tidak mengurangi kualitas kinerja ASN dalam bertugas memberikan pelayanan kepada publik.
Penerapan sistem kerja WFA ini disesuaikan dengan instansi tempat ASN bekerja, yang memiliki kebijakan masing-masing untuk menentukan skema fleksibel yang paling efektif bagi mereka.
Literasi Digital: Lebih dari Sekadar Melek Teknologi
Bekerja dari mana saja bukan hanya soal Wi-Fi dan laptop. Di balik fleksibilitas, ASN dituntut memiliki literasi digital. Kementerian Kominfo RI tahun 2020 menyusun pengembangan kerangka literasi digital khusus untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Terdapat tiga dimensi literasi digital:
Dimensi Pengetahuan: Memahami penerapan dan dampak dari teknologi digital pada tugas dan fungsi ASN di sektor pemerintah dan untuk layanan publik.
Dimensi Keahlian Digital: Keterampilan praktis untuk menggunakan perangkat kerja/ alat dan perangkat lunak/ aplikasi digital secara efektif untuk mendukung pekerjaan sehari-hari.
Dimensi Perilaku: Penggunaan teknologi digital yang bertanggung jawab dan sesuai etika digital, serta berorientasi pada akuntabilitas yang sesuai standar pelayanan publik.
Di Eropa Kerangka Digital Competence Framework (DigComp 2.1) digunakan untuk memetakan lima jenis kompetensi digital utama bagi pegawai pemerintah. Seperti kemampuan Literasi digital terkait literasi informasi dan data, Komunikasi dan berkolaborasi secara digital, Kemampuan dalam membuat konten digital, Keamanan dalam teknologi informasi, serta Solusi penyelesaian dalam masalah teknologi informasi
Kajian terbaru yang dilakukan tahun 2024 memberikan masukan mengenai kompetensi ASN pada era digitalisasi. Kompetensi digital yang meliputi pengelolaan E-Government, keamanan siber, partisipasi digital hingga kemampuan menganalisis data. Ini menunjukkan bahwa ASN dituntut untuk tidak hanya sekadar melek digital tetapi memiliki literasi digital yang mumpuni.
Literasi Digital ASN: Menuju Birokrasi Gesit nan Lincah

Kebijakan kerja fleksibel bukan sekadar perubahan teknis, tetapi perwujudan dari semangat reformasi birokrasi yang lebih adaptif, lincah, dan berbasis kepercayaan. Keberhasilan sistem kerja fleksibel akan sangat ditentukan oleh kemampuan ASN dalam merespons dan menyesuaikan diri terhadap digitalisasi.
Riset tahun 2023 menyebutkan bahwa perlunya peningkatan pelatihan keterampilan digital. Untungnya Pemerintah sudah mulai menunjukkan komitmennya untuk mendukung penguatan SDM digital melalui berbagai program pelatihan.
Program Digital Talent Scholarship (DTS) dari Kementerian Komdigi memiliki target pengembangan SDM bagi para ASN, guru, dan pelaku sektor publik lainnya. Pelatihan tersebut dirancang sesuai dengan kebutuhan kerja ASN sebagai aktor utama transformasi digital agar mampu beradaptasi dengan era digital dan sistem kerja fleksibel yang kini mulai diterapkan.
Baca Juga: Cara Baru Menulis di Ayobandung.id, Tak Perlu Kirim Tulisan ke Email
Kebijakan kerja fleksibel juga dapat menjadi pemicu perubahan positif dalam budaya kerja ASN. Sistem kerja berbasis kepercayaan dan hasil kerja (output-based) mendorong pegawai untuk lebih mandiri, inovatif, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan.
Dengan dukungan sistem, pelatihan, dan kepemimpinan yang tepat, tantangan literasi digital bukan sebuah hambatan, melainkan peluang besar menuju birokrasi yang lebih profesional dan efisien. Kini saatnya ASN berdaptasi dengan zaman digital untuk bisa bertahan. Yang gagal? siap-siap jadi fosil birokrasi. Literasi digital merupakan bekal utama kalau tidak mau ketinggalan kereta birokrasi masa depan. Siapkah para ASN Indonesia? (*)