AYOBANDUNG.ID - Di sebuah sudut Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Desa Citapen, terdapat fenomena unik yang tak semua orang tahu tapi banyak orang datangi: deretan bengkel patah tulang. Kalau kamu lewat Jalan Raya Cihampelas-Cililin dan melihat papan-papan kayu, mika, seng, atau bahkan tripleks yang bertuliskan “Ahli Patah Tulang”, selamat, kamu telah memasuki wilayah sakral yang oleh warga setempat disebut sebagai sentra pengobatan alternatif tulang.
Tak ada gapura besar atau gerbang semegah kawasan industri. Tak pula ada tanda-tanda yang mengatakan bahwa kamu telah sampai di kampung ortopedi rakyat. Tapi, aroma minyak urut, rempah hangat, dan cerita-cerita kesembuhan yang beredar dari mulut ke mulut membuat nama Citapen harum seharum minyak gandapura yang dihangatkan.
“Sudah terkenal ke mana-mana, banyak pasien datang ke sini dari luar kota. Kalau ditanya mereka tahu dari mulut ke mulut,” kata Kepala Desa Citapen, Iwan Kristiawan.
Garut, Sukabumi, Subang, Cianjur, Indramayu. Daftar ini belum termasuk pasien dari Jakarta yang terkena aspal saat naik motor gede dan kemudian direkomendasikan “urang Citapen” oleh rekannya di kantor. Tidak sedikit pula orang yang datang karena tak tahan menunggu antrean dokter ortopedi di rumah sakit besar. Kalau bisa diurut dan sembuh dalam tiga hari dengan biaya seikhlasnya, kenapa harus tunggu berbulan-bulan dengan biaya berjuta?
Tak Hanya Soal Plang dan Pijat
Salah satu ciri khas dari bengkel-bengkel ini adalah plang nama—mirip plang praktik dokter, tapi versi rakyat. Di sana tertera nama ahli tulangnya, biasanya diikuti sapaan khas seperti “Abah”, “Mama”, atau “Mang”. Contohnya, “Abah Oya Ahli Tulang”, “Mama Haji H. Karta”, atau “Urut Tradisional Mang Ujang”.
Tapi, seperti halnya usaha keluarga, tidak semua bengkel ini awet. Menurut data desa, jumlah terapis tulang semakin menyusut. “Memang ada juga buka bengkel patah tulang tapi gak pasang plang. Kalau dijumlah mungkin tak lebih dari 25 orang. Memang jumlahnya terus turun. Mungkin karena minat masyarakat juga turun,” tutur Iwan.
Baca Juga: Gunung Selacau, Jejak Dipati Ukur dan Letusan Zaman yang Kini Digilas Tambang
Di balik papan nama yang sederhana, banyak kisah turun-temurun. Seorang anak laki-laki yang dulunya cuma memijit kaki pasien karena disuruh ayahnya, kini jadi terapis utama. Seorang cucu perempuan yang awalnya hanya bantu merebus daun-daunan, sekarang mahir membetulkan engsel sendi yang terkilir.
"Contoh Abah A dulu buka bengkel patah tulang, sekarang sudah meninggal, diteruskan dengan nama yang sama oleh keluarganya," ujar Iwan. Nama jadi brand, warisan jadi keahlian.
Bagaimana metode pengobatannya? Campuran antara urut, lilit dengan bambu kecil, balur ramuan, dan tentu saja keyakinan. Semua dilakukan dengan tangan kosong. Tidak ada alat X-ray, tidak ada anestesi, tidak ada resep. Hanya intuisi, pengalaman, dan ilmu dari leluhur yang diwariskan lewat praktik.
"Rata-rata memang belajar dari orang tuanya, ada juga yang sambil baca-baca buku atau nanya-nanya. Tapi gak ada sekolahnya," kata salah satu terapis yang enggan disebutkan namanya.
Dua Legenda Bengkel Patah Tulang
Keberadaan Citapen sebagai sentra penyembuhan patah tulang tak lepas dari dua nama yang melegenda: Mama Hamidi dan Mama Haji Tarma. Tak ada patung peringatan untuk keduanya, tak pula prasasti. Tapi di kepala warga Citapen dan ribuan pasien, nama dua sahabat ini sudah seperti doktrin suci.
“Pada awalnya Mama Hamidi dan Mama Haji Tarma. Mereka ini sahabat yang punya keahlian mengobati luka luar dan dalam. Jadi kalau ada warga misalah atawa tijalikeun, nyak ka anjeuna,” tutur Abah Aso, tokoh masyarakat yang kini sudah berusia 76 tahun.
Dia berkata, dua orang ini tak pernah membebankan biaya. Mereka menerima pasien dari segala kalangan, dengan satu prinsip: “selama masih bisa ditolong, ditolong.” Bahkan ketika pasien datang tanpa membawa uang, mereka tetap diterima, malah dibantu ongkos pulang jika perlu.
“Puncaknya tahun 1950-an,” kenang Abah Aso. Masa itu, rumah Mama Hamidi dan Mama Haji Tarma seperti posko kesehatan alternatif. Pasien bisa datang pagi-pagi sekali atau menjelang malam, dan selalu ada ramuan hangat serta tangan-tangan yang siap mengurut.

Hingga kini, nama keduanya terus dikenang sebagai pelopor. Dari mereka pula lahir generasi-generasi ahli tulang Citapen berikutnya. Tidak heran kalau sampai hari ini, anak-anak muda di Citapen masih menyebut dua nama itu dengan penuh hormat.
“Kalau bukan karena Mama Hamidi dan Mama Tarma, mungkin gak akan ada yang percaya Citapen bisa jadi tempat urut tulang,” kata seorang cucu dari pasien lama yang pernah sembuh dari keseleo parah karena jatuh dari pohon kelapa.
Warisan yang Diimpikan Bertahan
Walaupun sudah masuk era BPJS dan pengobatan modern, bengkel-bengkel patah tulang di Citapen masih berdenyut. Tapi denyut itu makin pelan. Generasi muda banyak yang memilih kerja di pabrik atau jadi kurir daring, bukan meneruskan usaha urut. Sementara, pemerintah belum banyak campur tangan dalam pelestarian praktik ini.
“Kita punya mimpi ini dilestarikan dan didukung oleh pemerintah jadi ciri khas daerah,” harap Kepala Desa Citapen.
Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda
Harapan ini tidak muluk. Di tempat lain, pengobatan alternatif semacam ini justru dijadikan daya tarik wisata kesehatan. Di Thailand, misalnya, pijat tradisional bisa masuk kurikulum sekolah. Di China, akupuntur sudah resmi dijadikan pengobatan nasional. Lantas, mengapa Citapen tidak bisa?
Warisan dua sahabat, jejak tangan-tangan yang menyembuhkan, serta papan-papan plang sederhana di sepanjang jalan, adalah saksi bisu sejarah yang tidak tertulis di buku pelajaran. Tapi ia hidup. Dan semoga, terus bertahan.
Kalau kelak kamu keseleo atau terkilir karena naik gunung atau jatuh saat main bola, coba saja datang ke Citapen. Siapa tahu, tangan-tangan dari warisan dua sahabat itu masih bisa menyelamatkan sendi yang bengkok, tanpa perlu kamu membayar mahal atau menunggu antrean panjang.