AYOBANDUNG.ID - Suasana hangat dan antusias mewarnai penayangan tiga film animasi karya kreator lokal berjudul Bandung 2045, Rana ‘Uko, dan Setra Sagara.
Bandung Film Commission (BFC) bersama sejumlah pihak pendukung menjadi inisiator acara screening dan diskusi ketiga film animasi tersebut, yang diselenggarakan pada Rabu, 17 Desember 2025, di ITB Press Store.
Pertemuan antara teknologi animasi dengan narasi pelestarian alam dan budaya melalui program “Screen and Talks” ini menjadi medium apresiasi atas karya-karya hebat para kreator animasi. Sekaligus, kegiatan ini menumbuhkan kesadaran kolektif publik terhadap isu alam dan budaya di Indonesia melalui kemasan yang unik, yakni film animasi.
Sutradara film animasi Setra Sagara, Aji Hermawan, menyampaikan alasannya memilih media animasi sebagai jembatan penyampaian nilai yang ingin ia dan timnya hadirkan.
“Karena animasi yang bisa jadi jembatan untuk kita membuat dan menghidupkan masa lampau atau merekayasa masa depan,” ungkapnya.
Film Bandung 2045 yang disutradarai Dava Gibran, Rana ‘Uko oleh Daryl Wilson, serta Setra Sagara karya Aji Hermawan, masing-masing memiliki keunikan tersendiri dari segi konsep maupun visual. Meski demikian, ketiganya memiliki benang merah berupa nilai yang ingin disampaikan kepada penonton.
Perwakilan dari Indonesiana TV sekaligus tim Rana ‘Uko, Heni, menjelaskan pendekatan yang diambil dalam film tersebut.
“Kita tidak hanya menampilkan situsnya, tapi kita juga menampilkan kehidupan mereka sehari-hari. Itu juga harus kita sampaikan,” ucapnya.
“Kemudian, bukan cuma budaya tapi ada mitosnya juga yang tetap harus kita ketahui bersama. Film ini disampaikan agar kita tidak lupa dengan budaya kita sendiri,” tambah dia.
Aji juga mengungkapkan proses produksi Setra Sagara yang melibatkan berbagai latar belakang.
“Setra Sagara Multiverse itu dibuat bukan oleh orang profesional. Kita belajar dari 0 dan lintas generasi. (Tim Produksi Setra Sagara) dari anak SMA, kuli bangunan, dan dari yang di PHK,” ucap dia.
“Semua itu dibuat karena satu alasan, yaitu kegelisahan. Kita ingin mencoba untuk menulis kembali sejarah kita,” tambahnya.
Ketiga film animasi tersebut membangun kesadaran kolektif penonton terhadap isu eksploitasi alam serta gambaran budaya, yang dikemas melalui pendekatan visual dan narasi yang berbeda dari kebiasaan.
Moderator sekaligus perwakilan dari BFC, Mirsi Nira Insani, menutup diskusi dengan menjawab pertanyaan pemantik yang diajukan kepada para peserta.
“Apakah eksploitasi alam sampai terjadi pengrusakan adalah budaya kita?”
“Ya, bagi sebagian orang yang serakah. Tapi, hadirnya ketiga film animasi ini dapat mempreservasi budaya sebagai wujud bahwa sebagian lainnya ternyata ingin melestarikan alam,” pungkasnya.
