AYOBANDUNG.ID - Di pinggir Sungai Citarum, antara hamparan kampung dan geliat tambang batu, berdirilah sebuah bukit yang dulunya gunung. Namanya Gunung Selacau. Warga setempat menyebutnya begitu karena dari sela-sela bebatuan gunung itu dulu pernah tumbuh pohon pisang, cau.
Tapi sebelum ditumbuhi pohon pisang, sebelum dinamai Selacau, dan sebelum kampung ramai oleh para pedagang buah-buahan, gunung itu menyimpan riwayat yang lebih tua dari usia nenek moyang penduduknya—yakni riwayat letusan bumi, dan juga jejak langkah seorang pemberontak legendaris: Dipati Ukur.
Gunung Selacau kini nyaris rata. Bentuk kerucutnya yang dulu gagah, disebut warga mirip caping petani, sudah digerogoti dari dua sisi. Tambang batu andesit mengirisnya perlahan tapi pasti, sejak awal 1980-an. Para warga yang dulu menanami lerengnya dengan singkong, pisang, dan albasia, sebagian menyerah. Satu demi satu menjual tanahnya. Bukan karena tidak cinta, tapi karena butuh makan.
"Mungkin karena butuh uang, satu per satu warga saat itu menjual lahan di gunung tersebut," kata Syahbandar A. Sastrawinata, tokoh masyarakat yang pernah menjabat kepala desa Selacau.
Syahbandar bukan warga sembarangan. Ia lahir, besar, dan tua di desa itu. Ia menyaksikan sendiri betapa Gunung Selacau berubah dari tempat bertani dan berziarah, menjadi mesin penggiling batu. Ia juga menyimpan kisah yang diwariskan turun-temurun: bahwa gunung itu pernah menjadi tempat istirahat pasukan Dipati Ukur sebelum menggempur VOC di Batavia.
Letusan Empat Juta Tahun dan Langkah Sepuluh Ribu Prajurit
Cerita tentang Gunung Selacau bisa dibaca dalam dua lapisan sejarah. Lapisan pertama adalah geologi. Gunung ini, menurut geografer T Bachtiar, terbentuk sekitar empat juta tahun lalu. Kala itu bumi di wilayah Bandung sedang ramai-ramainya meletus. Gunung-gunung muncul dari dalam kerak bumi, menyembur magma dan membentuk relief Cekungan Bandung seperti yang kita kenal sekarang.
“Gunung ini jadi bukti kronologis sejarah bumi cekungan Bandung,” ujar Bachtiar.
Dalam buku Bandung Purba (2004), ia menulis bahwa Gunung Selacau terdiri dari batuan dasit—sejenis batu vulkanik yang kaya akan silika. Dasit berasal dari lelehan magma yang membeku di permukaan, dan menjadi keras seiring waktu. Bentuk gunung yang sempurna dan tekstur batunya yang khas membuat Gunung Selacau menarik perhatian banyak ahli geologi, sejak zaman kolonial.

Van Bemmelen, K. Kusumadinata, Katili, dan beberapa nama lain disebut-sebut pernah mencantumkan nama Selacau dalam peta geologi. Lokasinya yang strategis, tak jauh dari Cimahi dan Bandung, serta bentuk kerucutnya yang rapi, membuat gunung ini bukan hanya objek ilmiah, tapi juga estetis.
Tapi selain sebagai sisa letusan purba, Gunung Selacau juga pernah menjadi saksi dari gerakan anti-kolonial yang melegenda: gerakan Dipati Ukur.
Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda
Dipati Ukur adalah tokoh pemberontak dari abad ke-17 yang namanya menghantui arsip-arsip VOC. Ia dikenal cerdas, karismatik, dan punya nyali besar. Dalam salah satu ekspedisinya menuju Batavia, konon Dipati Ukur membawa sekitar 10.000 pasukan. Jalur yang mereka tempuh tidaklah mudah. Dari Sumedang, mereka menyusuri Sungai Citarum, karena saat itu belum ada jalan darat yang layak.
“Dulu kan belum ada jalan, dari Sumedang mereka menyusuri Citarum dan istirahat di sini,” kata Syahbandar.
Gunung Selacau, yang berada di tepian Citarum, menjadi tempat istirahat yang ideal. Selain satu-satunya dataran tinggi di sepanjang rute sungai, gunung ini juga menyediakan air dan tanah subur. Menurut cerita lisan yang hidup di tengah warga Selacau, di gunung inilah Dipati Ukur menitipkan jubah dan senjatanya kepada seorang prajurit yang wajahnya mirip, untuk mengelabui musuh. Konon yang ditangkap dan dieksekusi adalah sang pengganti, bukan sang pemimpin sejati.
“Di Gunung ini juga tempat eyang Dipati Ukur menyerahkan baju dan senjatanya kepada salah satu pasukannya. Justru pasukan ini yang dieksekusi, yang asli tidak,” ujar Syahbandar.
Titi Bachtiar turut menguatkan cerita itu. Dalam Bandung Purba, ia menulis bahwa beberapa prajurit yang sakit ditinggalkan di Gunung Selacau. Mereka lalu membuka hutan, membabat alas, dan menemukan pohon pisang tumbuh di antara batu-batu gunung. Dari situlah muncul nama Selacau—dari kata sela dan cau (pisang).
Warisan yang Diperjualbelikan
Kini, semua cerita itu tinggal jejak. Gunung Selacau makin hari makin menyusut. Dua perusahaan tambang—PT. Segumas Jabal Barokah dan PT. Fusan Selamat Tambang Jaya—mendapat izin untuk menambang batu andesit dari perut gunung itu. Izin lingkungan mereka terakhir diperpanjang tahun 2016, tapi aktivitas mereka terus berjalan.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat mencatat aktivitas tambang ini berlangsung intens, baik di sisi timur maupun barat gunung. Ironisnya, kontribusi aktivitas tambang terhadap Pendapatan Asli Desa sangat minim.
“Tidak menguntungkan juga PAD, sangat kecil untuk biasa perbaikan jalan saja tidak cukup. Tapi dilema karena ada masyarakat yang menggantungkan hidup di sana,” ujar Syahbandar.

Tambang memang menyediakan lapangan kerja. Tapi juga menghancurkan potensi wisata, menghancurkan warisan geologi, dan melenyapkan saksi sejarah. Jika dulu orang naik ke puncak gunung untuk melihat Bandung dari ketinggian, kini mereka hanya melihat tebing bekas ledakan dinamit.
Warga Desa Selacau yang sebagian besar berdagang buah-buahan mungkin tak punya waktu untuk memikirkan batu dasit atau sejarah pemberontakan anti-VOC. Mereka lebih sibuk mencari nafkah di Cikampek, Karawang, atau Purwakarta. Tapi tanpa mereka sadari, mereka juga perlahan kehilangan rumah bagi sejarah yang lebih tua dari mereka semua.
Selacau di Tepian Waktu
Jika sejarah bumi Bandung adalah novel besar yang ditulis jutaan tahun oleh gunung, sungai, dan letusan, maka Gunung Selacau adalah salah satu bab pentingnya. Ia bukan cuma tempat tinggi di antara lereng. Ia tempat zaman meletus. Tempat prajurit berhenti. Tempat pohon pisang tumbuh dari sela batu.
Kini gunung itu hanya menunggu waktu. Tinggal menunggu siapa yang terakhir mencangkul, siapa yang terakhir memecah batu, dan siapa yang terakhir menceritakan bahwa di situlah dulu Dipati Ukur pernah singgah, dan bumi pernah bergetar.
Jika kelak nama Selacau tinggal jadi nama desa di Google Maps, kita tahu, kita pernah punya gunung. Tapi kita juga pernah membiarkannya hilang.