Jejak Kabupaten Batulayang, Lumbung Kopi Belanda di Era Preangerstelsel

Hengky Sulaksono Atep Kurnia
Ditulis oleh Hengky Sulaksono , Atep Kurnia diterbitkan Rabu 25 Jun 2025, 15:22 WIB
Salinan peta pada 1790 oleh Midderhof yang menggambarkan daerah gudang penyimpanan kopi dari Bandung dan Batulayang. (Sumber: sejarah-nusantara.anri.go.id)

Salinan peta pada 1790 oleh Midderhof yang menggambarkan daerah gudang penyimpanan kopi dari Bandung dan Batulayang. (Sumber: sejarah-nusantara.anri.go.id)

AYOBANDUNG.ID – Di masa lampau, sebelum kopi jadi komoditas gaya hidup dan simbol eksistensi di kafe-kafe urban, Batulayang sudah lebih dulu mencium aromanya yang harum. Pada pertengahan abad ke-18, Batulayang bukan sekadar kabupaten kecil di pelosok Priangan. Ia adalah salah satu penghasil kopi terkemuka Hindia Belanda.

Bersama Bandung dan Parakanmuncang, nama Batulayang tercatat dalam statistik Kompeni sebagai penyumbang biji kopi terbaik untuk pasar Eropa. Harumnya menyeberangi lautan, sementara rakyatnya memanggul pikul-pikul kopi menuruni bukit dan menyeberangi sungai.

Dalam artikel Kopi dari Batulayang, 1777–1802 di Ayobandung, pemerhati sejarah Atep Kurnia menulis nama Batulayang disebut secara mandiri dalam laporan kebun kopi tanggal 15 April 1766. Sekitar 70 tahun setelah kopi pertama kali ditanam di Priangan, wilayah ini mulai dipandang sebagai kekuatan tersendiri. Tahun 1777, produksi Batulayang dilaporkan mencapai 800 pikul kopi.

Jumlah tersebut tidak bisa disebut main-main untuk ukuran kabupaten baru, cukup untuk membuat VOC menetapkan komisi dua dolar Spanyol per pikul bagi bupatinya, setara dengan yang diterima bupati Bandung dan Sumedang. Sebuah pengakuan kelas yang tidak datang begitu saja.

Kabupaten lain seperti Parakanmuncang dan Cianjur hanya dapat dua dolar. Terlihat, Batulayang kala itu punya pamor. Bahkan dalam laporan 20 September 1785, tercatat 200 ribu batang kopi tumbuh di Batulayang, jauh dari kecil jika dibanding Bogor (1 juta) atau Cianjur (2 juta).

Kebun-kebun kopi Batulayang menjalar di lereng-lereng, ditanam dengan disiplin dan diangkut dengan susah payah ke titik-titik pengumpulan. Dari Batulayang ke pelabuhan darat Cikao, kopi mesti menempuh perjalanan berhari-hari, ditarik oleh kerbau dan pedati. Tahun 1790, tercatat dari Bandung dan Batulayang saja terkirim 500 pedati dengan 1.000 kerbau. Kopi memang emas hitam, tapi emas yang berat dan melelahkan.

Tapi seperti kopi yang terlalu lama dibiarkan dalam cangkir, kejayaan Batulayang perlahan mendingin. Penanaman besar-besaran justru membuat perawatan kewalahan. Dalam laporan tahun 1798, Batulayang hanya menyumbang pendapatan 2.624 dolar Spanyol, sangat kecil dibanding Bandung yang mencapai 21.844. Kompeni mulai gelisah, dan suara ancaman pun muncul.

Permasalahannya bukan hanya kopi. Bupatinya, Tumenggung Rangga Adikusumah, lebih sibuk dengan opium dan minuman keras daripada dengan tanam paksa. Laporan dari kumitir pribumi kala itu menyebut bupati Batulayang sangat suka minum dan opium. Laporan sebelumnya bahkan sudah menyebut perilaku buruk ini sejak 1797, tapi Kompeni masih berharap setoran kopi bisa menebus dosa.

Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda

Sayangnya, itu tidak terjadi. Produksi makin merosot, sawah tak ada, dan rakyat kelaparan. Pada 1802, VOC mengambil keputusan tegas: Batulayang dibubarkan dan digabungkan ke Bandung. Sang bupati dipecat dan diasingkan ke Mangga Dua, Batavia.

Yang tersisa dari kejayaannya hanyalah daftar harta yang lebih menyedihkan ketimbang membanggakan: enam baju berkancing emas, satu keris berlapis emas, dan 150 kuda betina. Produksi kopi terakhirnya hanya tinggal 1.489 pikul. Jauh dari masa ketika Batulayang pernah disejajarkan dengan penghasil kopi terbaik di Jawa.

Kini, Batulayang tinggal nama dalam lembaran arsip kolonial. Ia pernah harum, pernah jaya, tapi kemudian tenggelam oleh kelalaian dan kerakusan. Seperti kopi basi yang tak lagi layak diseruput, kisah Batulayang adalah pengingat bahwa kejayaan, bila tak dijaga, bisa cepat menjadi kisah kehilangan.

Proses pemilahan bijih kopi di Subang pada era kolonial. (Sumber: Wikimedia)
Proses pemilahan bijih kopi di Subang pada era kolonial. (Sumber: Wikimedia)

Jejak Preangerstelsel di Tanah Priangan

Wilayah pegunungan di Tatar Sunda itu pernah menjadi lokasi eksploitasi pertanian paling sistematis yang pernah dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Sistem itu dikenal sebagai Preangerstelsel.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), Mumuh Muhsin Z., dalam Produksi Kopi di Priangan pada Abad ke-19 menyebut tanah Priangan dijadikan sentra penanaman kopi oleh Belanda pada masa itu.

Preangerstelsel secara harfiah berarti “sistem Priangan”. Ia mulai diterapkan sejak VOC menguasai wilayah ini pada tahun 1677, dan terus berlangsung hingga tahun 1870, ketika pemerintah kolonial Belanda mengubah haluan ekonomi melalui sistem liberal. Artinya, selama hampir dua abad, Priangan dijadikan laboratorium pemaksaan tanam kopi yang hasilnya sepenuhnya dimonopoli pemerintah kolonial.

Sistem ini pada dasarnya mewajibkan penduduk desa di Priangan untuk menanam kopi di lahan mereka sendiri. Pemerintah kolonial tidak turun langsung dalam pengelolaan, melainkan menyerahkan segala urusan kepada struktur birokrasi lokal—dari bupati, demang, hingga kepala desa. Para pejabat pribumi ini diberi tanggung jawab mengorganisasi produksi, distribusi, dan pemungutan hasil panen kopi. Kompeni hanya mengatur kuota dan pengiriman, serta menetapkan harga beli yang jauh di bawah nilai pasar dunia.

Dalam praktiknya, Preangerstelsel menjelma menjadi bentuk tanam paksa terselubung yang berlangsung jauh sebelum diberlakukannya Cultuurstelsel secara nasional pada 1830. Bahkan, sistem inilah yang kemudian dijadikan model bagi pelaksanaan tanam paksa di daerah lain. Preangerstelsel juga tidak benar-benar dihapus ketika sistem liberal diterapkan, terutama untuk komoditas yang masih dianggap menguntungkan seperti kopi.

Kopi sendiri mulai ditanam di Priangan sejak 1707. VOC yang semula mengimpor kopi dari Yaman, beralih ke produksi lokal setelah harga kopi dari Timur Tengah melambung akibat persaingan dagang internasional. Priangan dipilih karena kondisi geografisnya cocok, dan karena pemerintah kolonial dapat mengendalikan penduduknya secara administratif.

Baca Juga: Gunung Selacau, Jejak Dipati Ukur dan Letusan Zaman yang Kini Digilas Tambang

Hasilnya cukup mencengangkan. Pada 1723, tercatat lebih dari dua juta pohon kopi tumbuh di wilayah ini, sebagian besar sudah berbuah. Hanya dua tahun berselang, kopi Priangan mulai mengungguli Yaman dalam produksi global. Bahkan, pada 1726, VOC menguasai 50% hingga 75% perdagangan kopi dunia, dengan 75% di antaranya berasal dari Priangan.

Keresidenan Priangan tak cuma dijadikan kebun pemerintah. Sejak awal abad ke-19, muncul pula perkebunan kopi swasta. Di Ujungberung, Ciputri, Gunung Parang, kopi ditanam di tanah pribadi. Tahun 1813, kopi swasta sudah ikut panen, meski baru menyumbang 7% dari total produksi.

Puncak kejayaan kopi Priangan berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Antara tahun 1840 hingga 1849 saja, pemerintah kolonial memperoleh keuntungan sebesar 65 juta gulden dari kopi. Sebagian besar dihasilkan dari tangan petani di wilayah pegunungan ini. Namun, pada 1860-an, posisi Priangan sebagai penghasil utama mulai digeser oleh wilayah lain seperti Keresidenan Pasuruan.

Priangan yang hari ini dikenal sebagai penghasil kopi berkualitas, dulunya adalah ladang pemaksaan yang panjang dan melelahkan. Sejarah Preangerstelsel menjadi pengingat bahwa wangi kopi tak selalu berasal dari proses yang adil, kadang juga dari peluh yang dipaksa mengalir.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 20 Okt 2025, 07:40 WIB

Mengapa Tidak Satu pun dari Bandung Raya Masuk 10 Besar UI GreenCity Metrics 2025?

Bandung Raya gagal menembus 10 besar UI GreenCity Metrics 2025 karena lemahnya berbagai faktor penting.
Dago, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 19:51 WIB

Bandung dan Gagalnya Imajinasi Kota Hijau

Menjadi kota hijau bukan sekadar soal taman dan sampah, tapi krisis cara berpikir dan budaya ekologis yang tak berakar.
Taman Film di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 18:34 WIB

Ketika Layar Mengaburkan Hati Nurani: Belajar dari Filsuf Hume di Era Society 5.0

Mengekpresikan bagaimana tantangan prinsip moral David Hume di tengah-tengah perkembangan tekonologi yang pesat.
Pengguna telepon pintar. (Sumber: Pexels/Gioele Gatto)
Ayo Jelajah 19 Okt 2025, 13:59 WIB

Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial

Kisah tragis Karel Grutterink dan Nyai Anah di Bandung tahun 1922 mengguncang Hindia Belanda, mengungkap ketegangan kolonial dan awal kesadaran pribumi.
De Preanger-bode 24 Desember 1922
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 13:19 WIB

Si 'Ganteng Kalem' Itu Bernama Jonatan Christie

Jojo pun tak segan memuji lawannya yang tampil baik.
Jonatan Christie. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 12:15 WIB

Harapan Baru Prestasi Bulu Tangkis Indonesia

Kita percaya PBSI, bahwa pemain yang bisa masuk Cipayung memang layak dengan prestasi yang ditunjukan secara objektif.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:47 WIB

Bandung dan Tantangan Berkelanjutan

Dari 71 partisipan UI GreenCityMetric, hanya segelintir daerah yang dianggap berhasil menunjukan arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan.
Berperahu di sungai Citarum (Foto: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:00 WIB

Menyoal Gagalnya Bandung Raya dalam Indeks Kota Hijau

Dalam dua dekade terakhir, kawasan metropolitan Bandung Raya tumbuh dengan kecepatan yang tidak diimbangi oleh kendali tata ruang yang kuat.
Sampah masih menjadi salah satu masalah besar di Kawasan Bandung Raya. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Mildan Abdallah)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 08:41 WIB

Bandung, Pandawara, dan Kesadaran Masyarakat yang Harus Bersinergi

Untuk Bandung yang maju dan berkelanjutan perlu peran bersama untuk bersinergi melakukan perubahan.
Aksi Pembersihan salah satu sungai oleh Pandawara Group (Sumber: Instagram | Pandawaragroup)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 19:38 WIB

Antrean iPhone 17 di Bandung: Tren Gaya Hidup atau Tekanan Sosial?

Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama.
Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama. (Foto: Dok. Blibli)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 18:47 WIB

Sportainment di Pusat Perbelanjaan Bandung, Strategi Baru Menarik Wisatawan dan Mendorong Ekonomi Kreatif

Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu.
Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 17:31 WIB

Dapur Kolektif dan Semangat Komunal, Potret Kearifan Kuliner Ibu-Ibu Jawa Barat

Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung.
Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 20:21 WIB

'Bila Esok Ibu Tiada': Menangis karena Judul, Kecewa karena Alur

Ulasan film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" (2024). Film yang minim kejutan, tapi menjadi pengingat yang berharga.
Poster film "Bila Esok Ibu Telah Tiada". (Sumber: Leo Pictures)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 19:36 WIB

Balakecrakan Menghidupkan Kembali Rasa dan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Bersama

Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa.
Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 18:10 WIB

Gen Z Mengubah Musik Menjadi Gerakan Digital yang Tak Terbendung

Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati.
Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati. (Sumber: Freepik)
Ayo Jelajah 17 Okt 2025, 17:36 WIB

Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota

Grand Hotel Preanger menjadi saksi sejarah kolonial, revolusi, hingga kemerdekaan di Bandung. Dari pesanggrahan kecil hingga ikon berusia seabad.
Hotel Preanger tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 17:15 WIB

Lengkong Bergerak dari Kampung Kreatif Menuju Destinasi Wisata Urban

Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya.
Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:33 WIB

Tunjangan Rumah Gagal Naik, Dana Reses DPR RI Justru Melambung Tinggi

Tunjangan rumah yang gagal dinaikkan ternyata hanya dilakukan untuk meredam kemarahan masyarakat tapi ujungnya tetap sama.
Gedung DPR RI. (Sumber: Unsplash/Dino Januarsa)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:04 WIB

Lagi! Otak-atik Ganda Putra, Pasangan Baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat Bikin BL Malaysia Marah

PBSI melalui coach Antonius memasangkan formula pasangan baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: PBSI)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:38 WIB

Meneropong 7 Program Pendidikan yang Berdampak Positif

Pendidikan yang bermutu harus ditunjang dengan program-program yang berkualitas.
Anak sekolah di Indonesia. (Sumber: indonesia.go.id)