Sejarah Pahit Keemasan Kopi Priangan di Zaman Kolonial, Kalahkan Yaman via Preangerstelsel

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Jumat 05 Sep 2025, 17:50 WIB
Koffie Pakhuis alias gudang penyimpanan kopi zaman kolonial yang kini berubah fungsi jadi Balai Kota Bandung. (Sumber: KITLV)

Koffie Pakhuis alias gudang penyimpanan kopi zaman kolonial yang kini berubah fungsi jadi Balai Kota Bandung. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Priangan pernah menjadi kata kunci di buku besar dagang VOC. Di saat Eropa masih mengagungkan aroma Mocha dari Yaman, para pejabat di Batavia diam-diam menulis bab baru: kopi dari tanah tinggi Jawa Barat. Dalam hitungan tahun, grafiknya menanjak tajam—bukan semata karena tanahnya subur, melainkan karena sebuah sistem yang membelit dari hulu ke hilir: Preangerstelsel. Di sinilah kisah kopi Priangan menjadi manis pahit—kaya bagi kas kolonial, getir bagi petani yang disuruh menjaga ribuan pohon.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), Mumuh Muhsin Z., dalam Produksi Kopi di Priangan pada Abad ke-19, menggambarkan arti penting kopi Priangan bagi keuangan VOC memang luar biasa. “Pada tahun 1726 VOC menguasai 50% hingga 75% perdagangan kopi dunia. Dari jumlah yang diserahkan VOC itu, sebanyak 4.000.000 pon atau hampir 75% diproduksi di Priangan,” tulis Mumuh Muhsin. Angka-angka itu mengantar Priangan dari pinggiran menjadi pusat, dari halaman belakang menjadi panggung utama perdagangan kopi global.

Jelang tutup abad ke-17, permintaan kopi di Eropa meledak. VOC mula-mula menggantungkan nasib pada kopi Yaman: pada 1695 mereka membeli 300.000–400.000 pon; pada 1707 volume naik menjadi 500.000 pon; dan sejak 1715 anjlokkan anggaran demi hampir 1.500.000 pon. Masalahnya, VOC bukan satu-satunya pembeli. Inggris, Turki, dan lain-lain juga menyerbu pelabuhan Laut Merah. Persaingan menguat, harga meroket, margin VOC menipis. Jalan keluarnya: jangan lagi menjadi pelanggan setia, jadilah produsen.

Baca Juga: Hikayat Java Preanger, Warisan Kopi Harum dari Lereng Priangan

Eksperimen ditetapkan di Priangan. Tahun 1707, bibit kopi pertama ditanam. Laporan 1723 mencatat hampir 2.141.000 pohon kopi hidup di Keresidenan Priangan—1.041.000 di antaranya berbuah. Penduduk Priangan Barat mulai menanam di tanah milik sendiri; Priangan Tengah dan Timur segera mengikuti. Lereng-lereng gunung yang sejuk, tanah vulkanik yang gembur, dan jarak dari hembusan angin laut memberi kanopi alami untuk arabika. Seorang ahli kimia pertanian, P.F.H. Fronberg, bahkan mewanti-wanti soal elevasi: “Menanam kopi di bawah 1.000 kaki harus dihindari. Pada tanah berketinggian lebih dari 4.000 kaki tanaman kopi bisa produktif lebih lama dan dapat berumur lebih panjang.” Singkatnya, lanskap Priangan adalah laboratorium alam yang tepat.

Hasilnya dramatis. Dalam tujuh tahun, grafik kaffeine berpindah dari Yaman ke Priangan. Data pembelian VOC 1722–1728 memperlihatkan tikungan tajam. Pada tahun 1722, kopi yang dibeli dari Yaman mencapai 832 pikul, sedangkan dari Priangan hanya 6 pikul. Setahun kemudian, tahun 1723, jumlah kopi dari Yaman turun menjadi 427 pikul, sementara Priangan meningkat menjadi 36 pikul. Tren ini terus berlanjut, di mana pada tahun 1724 kopi dari Yaman kembali turun menjadi 399 pikul, sedangkan dari Priangan melonjak tajam hingga 663 pikul.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1725, ketika kopi dari Yaman hanya tersisa 228 pikul, sementara Priangan berhasil menyuplai 1.264 pikul. Tahun berikutnya, 1726, kopi dari Yaman sedikit naik menjadi 277 pikul, tetapi Priangan menyalip jauh dengan 2.145 pikul. Pada tahun 1727 Yaman hanya menyumbang 264 pikul, sedangkan Priangan masih sangat dominan dengan 2.076 pikul. Akhirnya, pada tahun 1728 pasokan kopi dari Yaman benar-benar berhenti (0 pikul), sedangkan Priangan tetap tinggi dengan 2.021 pikul.

Perbandingan angka-angka ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun saja, Priangan berhasil mengungguli Yaman secara drastis dan menjelma sebagai pusat produksi utama kopi dunia.

Di atas kertas, itu berarti satu pusat dunia tumbang, pusat lain lahir. Pada 1726, ketika VOC mengavalkan 50–75% perdagangan kopi dunia, hampir tiga per empatnya lahir dari Priangan—seperti ditegaskan Mumuh. Dari meja lelang Amsterdam sampai kedai-kedai di kota pelabuhan, Priangan jadi kata baru untuk “kopi yang pasti laku”.

Baca Juga: Jejak Kabupaten Batulayang, Lumbung Kopi Belanda di Era Preangerstelsel

Preangerstelsel, Penghasil Cuan Keuntungan yang Digerakkan Paksaan

Keajaiban angka mustahil terjadi tanpa mesin. Di Priangan, mesinnya bernama Preangerstelsel, sebuah sistem eksploitasi yang sangat lama masa berlakunya, yaitu 1677 hingga 1870. Konsekuensinya mendesak napas: rumah tangga-rumah tangga tani dipaksa menanam, merawat, dan menyerahkan kopi kepada pemerintah kolonial dengan harga yang ditetapkan rendah. Pemerintah memang tidak memungut pajak tanah di Priangan; tetapi keringanan itu sesungguhnya kompensasi yang menutupi paksaan kerja yang tak ringan.

Statistik angkanya menampar. Pada 1820-an, baru sekitar 33,70% penduduk terlibat, rata-rata 534 pohon per rumah tangga. Memasuki 1830-an, grafik melonjak: 1837 terlibat 62,74% penduduk dengan 1.275 pohon; 1839 mencapai 64,36% penduduk dan 1.092 pohon. Pada 1852, tiap rumah tangga wajib memelihara 1.000 pohon dan bekerja rata-rata 100 hari per tahun. Jumlah rumah tangga terlibat pada tahun itu 113.447, naik 39.782 dibanding 1837. Baru pada 1859 beban diturunkan—tidak lebih dari 600 pohon per rumah tangga; 1864, 63,32% rumah tangga memelihara 600 pohon.

Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Kalau begitu, di mana “manisnya”? Di buku kas pemerintah kolonial. Antara 1840–1849, keuntungan dari kopi mencapai 65 juta gulden. Indigo menyumbang 15 juta gulden, gula malahan sampai 1845 belum menguntungkan. Dari mana sebagian terbesar kopi penyumbang kas itu datang? Priangan. Sistem harga yang ditekan memastikan surplus mengalir ke negeri jauh di utara. Sebelum 1837, pembayaran kopi Priangan hanya 2,5 sampai 3 gulden per pikul; bandingkan dengan Surakarta–Yogyakarta 18 gulden lebih dan daerah Jawa lain 10 gulden. Tak heran, Gubernur Jenderal van den Bosch pada 3 Februari 1833 menetapkan resolusi yang mengejar keuntungan yang tinggi dari harga minimum kopi. Kebijakan harga dikaitkan dengan sewa tanah (land rent) dan beban lain, terutama di keresidenan pinggiran seperti Pacitan, Madiun, Kediri, Banyuwangi.

Baca Juga: Cerita Perjalanan Kopi Palintang, Penakluk Dunia dari Lereng Bandung Timur

Yang menarik, ketika Cultuurstelsel (Tanam Paksa) resmi diberlakukan pada 1830, kopi tidak langsung dimasukkan sebagai komoditas inti. Alasannya tiga: harga kopi rendah pada 1830-an; Van den Bosch ingin membatasi kesan bahwa kebijakannya “hanya paksaan”; dan tidak ada keuntungan segera dari memasukkan kopi saat itu. Namun, secara praktik, di Priangan tanaman kopi paksa terus berjalan; karena apa yang disebut tidak ada pajak tanah di sini sejatinya dikonversi menjadi penyerahan kopi dengan harga sangat rendah. Itulah ciri model Priangan (dibedakan dari model Madiun–Kediri–Pacitan–Banyuwangi dan model residensi lainnya) dalam arsitektur fiskal kopi abad ke-19.

Lantas, apakah harga memengaruhi produksi? Tidak selalu. Tiga dekade menjelang akhir abad ke-19, pemerintah mulai menaikkan harga kopi. Tapi fluktuasi produksi tidak berkorelasi positif dengan harga beli; produksi lebih ditentukan faktor alamiah—cuaca terlalu panas atau dingin, penyakit tanaman, atau siklus umur pohon. Ini pula yang menjelaskan mengapa setelah 1850-an terlihat tren penurunan petani dan jumlah pohon pemerintah, hingga 1874 satu rumah tangga rata-rata merawat 220 pohon. Sejak 1876, jumlah kopi pemerintah pelan-pelan naik lagi, tetapi panggung sudah berubah.

Perubahan itu bernama kopi swasta dan perkebunan bebas (vrijwillig/manasuka tuinen). Sering disebut swasta baru tumbuh setelah politik ekonomi liberal 1870, tetapi di Priangan jejaknya lebih dini: awal abad ke-19, kopi ditanam di tanah pribadi di Ujungberung (Bandung), Gunung Parang, Ciputri (Cianjur). 1813, kopi swasta sudah berproduksi—sekitar 7% dari total keresidenan. 1840, tanaman kopi swasta meningkat tajam di semua kabupaten kecuali Tasikmalaya; 1853 panen menembus 321.610 pikul; Bandung jadi episentrum, 75% pohonnya milik swasta. Memasuki 1870-an, ada 58 perkebunan swasta. Pada 1874, pemerintah juga membuka koridor perkebunan bebas: tercatat 382 petani pribumi menanam kopi seluas 4.729 bau di delapan afdeeling.

Di balik peledakan produksi itu, mekanisme sosial lokal ikut menopang. Elite Priangan—bupati dan aparatnya—mendapat cultuurprocenten (persentase hasil) dan peluang promosi. Kesetiaan petani menanam kopi bukan semata karena harga yang rendah tadi—melainkan karena organisasi produksi yang menautkan kerja, kuasa lokal, dan kewajiban pada pemerintah kolonial. Dengan kata lain, Preangerstelsel bukan hanya ekonomi; ia juga sosiologi kekuasaan.

Tetapi semua kejayaan ada eranya. Pada permulaan 1860-an, Keresidenan Pasuruan menyalip, menggeser Priangan dari kursi produsen utama. Faktor alam, umur tanaman, pergeseran kebijakan, dan tumbuhnya pusat produksi lain di Jawa Timur mengubah peta. Ini tidak menghapus memori bahwa Priangan pernah menjadi jantung kopi dunia—hanya menandai bahwa hegemoni ekonomi kolonial pun tunduk pada geografi, agronomi, dan siklus pasar.

Di sisi harga, Priangan juga memperlihatkan tiga kecenderungan yang khas. Abad ke-18, ketika kopi baru diperkenalkan, harga cenderung mengikuti harga pasar dunia. Abad ke-19, pemerintah membeli dengan harga sangat rendah; tiga dekade jelang akhir abad ke-19, harga mulai dinaikkan. Namun demikian, seperti dicatat, hubungan harga–produksi tidak lurus: sifat paksa sistem dan kondisi alam lebih menentukan naik-turunnya panen daripada insentif pasar. Dengan begitu, sejarah kopi Priangan adalah pelajaran ekonomi politik: pasar hanyalah salah satu pemain; negara kolonial dan struktur lokal memegang peluitnya.

Lalu bagaimana kejayaan itu dievaluasi? Di buku-buku akuntansi kolonial, Priangan adalah ladang emas: 65 juta gulden dari kopi hanya dalam satu dasawarsa (1840–1849). Di ladang-ladang, petani memelihara ratusan hingga ribuan pohon; sebagian tahun dihabiskan untuk merawat, memetik, dan menyerahkan. Harga yang rendah didalihkan sebagai kompensasi bebas pajak tanah, tetapi “kompensasi” itu tak menghapus fakta kerja paksa. Ketika Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem liberal diperkenalkan, Preangerstelsel tidak langsung lenyap. Beberapa praktiknya dipertahankan—alasannya sederhana: terlalu menguntungkan untuk dihentikan seketika.

Hari ini, ketika secangkir kopi Jawa Barat tersaji di meja, yang tercium bukan hanya aroma floral dari dataran tinggi, melainkan juga gema masa lalu: percobaan agronomi yang sukses, mesin eksploitasi yang rapi, dan jaringan kuasa lokal yang membuat sistem berjalan hampir dua abad. Priangan pernah mengalahkan Yaman—bukan semata karena bijinya lebih harum, tetapi karena Preangerstelsel menjadikannya pabrik kopi raksasa di bawah perintah kolonial. Sejarah keemasan itu manis untuk Belanda, pahit untuk para penanam, dan bagi generasi hari ini, menyisakan pelajaran tentang bagaimana komoditas, kebijakan, dan kuasa bertemu di satu cangkir.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 16 Des 2025, 12:04 WIB

Dari Hobi Menggambar Jadi Brand Fasion Lokal di Bandung

Bringace adalah merek fesyen lokal yang didirikan di Bandung pada tahun 2023.
 T-Shirt "The Unforgotten" dari Bringace. (Istimewa)
Ayo Jelajah 16 Des 2025, 10:07 WIB

Sejarah Universitas Padjadjaran, Lahirnya Kawah Cendikia di Tanah Sunda

Sejarah Universitas Padjadjaran bermula dari tekad Jawa Barat memiliki universitas negeri sendiri di tengah keterbatasan awal kemerdekaan.
Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:36 WIB

Dari Panggung Gigs ke Aksi Sosial di Flower City Festival 2025

Flower City Festival (FCF) 2025 sukses mengumpulkan dana senilai Rp56.746.500 untuk korban bencana di Sumatera.
Suasana Flower City Festival 2025 di Kopiluvium, Kiara Artha Park, Bandung (11/12/2025) (Sumber: Dokumentasi panitia FCF 2025 | Foto: ujjacomebackbdg)
Ayo Netizen 16 Des 2025, 09:10 WIB

Berjualan di Trotoar, PKL Caringin Menginginkan Ruang Publik dari Wali Kota Bandung

PKL di Caringin yang berjualan di trotoar berharap ada penataan agar mereka bisa berjualan lebih tertib.
Sejumlah pedagang kaki lima yang tetap berjualan meski hujan di malam hari di kawasan Caringin 30-11-2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Raifan Firdaus Al Farghani)
Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)