AYOBANDUNG.ID - Kalau ada oleh-oleh dari Jawa Barat yang punya “kekuatan kenyal” bertahan dari zaman kolonial sampai e-commerce, maka dodol Garut lah juaranya. Dari camilan desa hingga produk global, perjalanan dodol ini bukan sekadar soal rasa manis, tapi juga tekad keras dan kisah keluarga yang melegenda.
Secara definisi, dodol memang bukan monopoli Garut. Di Nusantara ini, dodol seperti keluarga besar yang punya banyak cabang: ada dodol Betawi, dodol Kandangan dari Kalimantan, dodol Ulame dari Tapanuli, sampai dodol Buleleng dari Bali. Tapi dodol Garut punya sesuatu yang beda, yang membuatnya bertahan dari generasi ke generasi—entah itu karena kenyalnya, manisnya, atau garis takdir.
Penamaan dodol biasanya mengacu pada wilayah asalnya. Jadi, kalau dibuat di Garut ya dodol Garut. Tapi jangan salah, bukan cuma asal tempat, dodol Garut juga punya karakter rasa yang khas. Banyak yang bilang, dodol ini “manisnya pas, kenyalnya berkelas.”
Dodol Garut tidak muncul tiba-tiba seperti hujan di musim kemarau. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pelopor usaha dodol di Garut adalah H. Sirad, yang sudah membuka usaha dodol bernama Kursinah sejak 1920-an. Tapi situs resmi Pemkab Garut menyebutkan bahwa yang pertama memulai industri dodol adalah Ibu Karsinah pada tahun 1926.
Baca Juga: Kapal Laut Garut jadi Korban Torpedo Jerman di Perang Dunia II
Waktu itu, teknologi belum secanggih sekarang. Dodol dibuat dengan bahan dasar sederhana: tepung beras ketan, gula putih, susu, dan santan kelapa. Tanpa bahan pengawet. Tapi hebatnya, dodol buatan Karsinah ini bisa tahan tiga bulan. Bergantung kondisi penyimpanannya. Bisa jadi, karena waktu masaknya yang lama dan adukannya yang penuh cinta.
Proses membuat dodol bukan kerja sebentar. Ini bukan makanan yang tinggal beli bumbu instan, campur, lalu jadi. Prosesnya butuh waktu tujuh sampai delapan jam. Adonannya harus diaduk terus-menerus biar tidak lengket, tidak gosong, dan tidak bikin perajin dodol kena omelan ibu-ibu.
Bahan dasarnya: tepung ketan yang ditumbuk atau digiling halus, gula merah, gula putih, dan santan kelapa. Gula merah dari aren atau kelapa memberi warna kecoklatan, gula putih membuat teksturnya lebih halus, dan santan kelapa menghadirkan rasa gurih. Kombinasi ini kalau salah satu kurang, bisa-bisa dodol berubah jadi lem perekat kertas.
Saat sudah matang, adonannya akan padat, kenyal, berminyak, dan bisa diiris. Kalau masih lengket di tangan, berarti belum siap disantap. Kalau lengketnya di hati, itu urusan lain.
Dari Tradisional ke Eksperimental: Dodol Bervariasi Rasa
Dulu dodol ya dodol, bentuknya kotak dan warnanya coklat. Tapi seiring waktu, bahan bakunya dimodifikasi. Masuklah pepaya, nenas, sirsak, durian, tomat, wijen, hingga kentang. Bayangkan saja, dodol rasa tomat—bisa jadi camilan sekaligus alasan tidak makan nasi.
Inovasi ini membuat dodol Garut makin digemari. Rata-rata permintaan tembus 4.378 ton per tahun. “Daerah pemasarannya sudah menjangkau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Bali,” begitu catatan resmi. Bahkan sudah terbang ke Brunei, Malaysia, Jepang, Arab Saudi, Singapura, hingga Inggris. Dodol Garut pun jadi semacam duta rasa yang tanpa paspor.
Setelah masa-masa pionir seperti Karsinah dan Sirad, masuklah era para pengusaha dodol skala besar. Salah satunya adalah keluarga besar yang kelak melahirkan merek “Picnic”. Adalah Aam Mawardi yang kemudian memberi warna baru dalam sejarah dodol Garut. Laman perusahaan menyebuiAam memulai produksi dodol rumahan dengan merek Herlinah pada tahun 1950-an, terinspirasi dari nama anak ketiganya. Usaha itu dirintis di Jalan Ciledug No. 212, Garut.

Dia ingin dodolnya naik kelas, bukan sekadar suguhan tamu, tapi oleh-oleh berkelas. Ia pun mencoba menawarkan produknya ke toko oleh-oleh “Picnic” di Bandung. Sayangnya, ia ditolak mentah-mentah. Alasannya, dodol dianggap makanan rakyat bawah. Tapi Aam tak menyerah. Ia pun memutar strategi: mereknya ia ubah jadi “PICNIC”, untuk menghormati nama toko itu.
Strategi itu berhasil. “Nama dagang PICNIC kemudian didaftarkan ke Direktorat Paten pada 14 Juli 1959 dengan nomor register 67595,” tulis laman resmi perusahaan. Sejak itulah, nama dodol Picnic melegenda. Permintaan melonjak. Agar bisa memenuhi pasar, Aam menggandeng kakaknya, H. Iton Damiri, yang sejak 1949 lebih dulu memproduksi dodol merek Halimah. Kolaborasi pun terjadi, dengan PT Herlinah Cipta Pratama sebagai payung usahanya.
Baca Juga: Hikayat Dinasti Sunarya, Keluarga Dalang Wayang Golek Legendaris dari Jelekong
Iton sendiri adalah veteran pengungsian perang kemerdekaan. Sumber lain menyebut ia memilih usaha dodol sebagai jalan hidup setelah kecamuk perang kemerdekaan. Tahun 1949, ia memulai dengan nama Halimah. Pada 1950 diganti menjadi Fatimah, dan pada 1954 menjadi Purnama.
Pada 1955, mereka mulai menjangkau kota-kota besar di Jawa. Kemudian tahun 1957, bersama Aam, lahirlah “Herlinah” dan selanjutnya “PICNIC”.
Tak heran kalau menurut sejumlah sumber, pencatatan sejarah dodol Garut modern memang identik dengan dua sosok: H. Iton Damiri dan Aam Mawardi. Mereka bukan sekadar pedagang, tapi pelopor dalam industrialisasi dodol Garut.
Dari sekian banyak varian dan merek, dodol klasik berbahan dasar ketan tetap jadi primadona. Rasanya seperti nostalgia dalam bentuk makanan. Mau semodern apa pun dunia, rasa dodol ketan yang kenyal dan gurih itu tetap bikin orang Garut bilang, “Teu aya nu ngéléhkeun!”