Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah 2005: Terburuk di Indonesia, Terparah Kedua di Dunia

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Senin 28 Jul 2025, 16:22 WIB
TPA Sarimukti, Bandung Barat, setelah kebakaran pada 2023 lalu. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

TPA Sarimukti, Bandung Barat, setelah kebakaran pada 2023 lalu. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

AYOBANDUNG.ID - Pada Senin dini hari, tanggal 21 Februari 2005 pukul 02.00 WIB, suara dentuman keras mengagetkan warga di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Dentuman itu bukan suara guntur atau ledakan pabrik, melainkan datang dari tubuh raksasa TPA yang selama bertahun-tahun menggunung dan akhirnya ambrol, melepaskan longsoran sampah ke arah dua desa di bawahnya: Leuwigajah dan Batujajar.

Tumpukan sampah itu longsor sejauh satu kilometer. Sampah bercampur lumpur, gas, dan api meluncur cepat, menghancurkan 71 rumah, menewaskan 143 orang (beberapa menyebut 157 orang), dan membakar sebagian besar tubuh korban. Mereka yang tertimbun bahkan tak sempat melarikan diri, meskipun pos evakuasi hanya berjarak sekitar 100 meter.

Bencana itu menjadi longsor sampah paling mematikan kedua dalam sejarah dunia, setelah tragedi Payatas di Filipina tahun 2000 yang menewaskan 278 orang. Namun berbeda dari banyak bencana alam lainnya, Leuwigajah bukanlah gempa atau banjir. Ia adalah hasil dari akumulasi kelalaian manusia: cara kita memperlakukan sampah, dan lebih dari itu, cara kita memperlakukan manusia yang hidup dari sampah.

Beberapa bulan setelah bencana, tim peneliti internasional—termasuk dari Badan Geologi—mulai mencari data di lapangan. Himpunan temuan lapangan tersebut dirangkai dengan sejumlah data dan analisis literatur sebelum kemudian diterbitkan dalam Jurnal Geoenvironmental Disasters tahun 2014.

Penelitian menyebutkan bahwa sebelum menjadi titik maut, Leuwigajah adalah bagian dari sistem pembuangan limbah Metropolitan Bandung. Tempat ini mulai digunakan sebagai TPA pada tahun 1987. Lembah kecil di kaki gunung itu sebelumnya hanyalah aliran air yang tenang, namun berubah menjadi tempat tumpukan limbah harian dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi.

Pada tahun 2005, wilayah Bandung Raya menghasilkan lebih dari 14.000 meter kubik sampah per hari. Dari angka itu, hanya 46% yang berhasil dikumpulkan. Sebagian sisanya dibuang ke sungai, dibakar di halaman rumah, atau berakhir di TPA Leuwigajah.

Setiap harinya, lebih dari 4.500 ton sampah dibuang ke sana. Komposisinya beragam, mulai dari limbah rumah tangga, sampah industri, hingga limbah dari fasilitas umum. Rumah tangga menyumbang porsi terbesar, yakni sekitar 7.700 meter kubik per hari.

Baca Juga: Tragedi AACC Bandung 2008, Sabtu Kelabu Konser Beside

TPA ini tidak dikelola oleh satu pihak saja. Ada tiga otoritas yang terlibat—Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi. Namun sayangnya, tata kelolanya tidak seragam dan semakin tidak terkontrol dari waktu ke waktu. Dari yang awalnya merupakan sistem controlled landfill atau pembuangan terkendali, Leuwigajah berubah menjadi open dumping di mana sampah ditumpuk begitu saja tanpa perencanaan teknis, sistem drainase, atau pemadatan.

Ironis memang. Alih-alih ditata dan dipadatkan, sampah dibuang begitu saja, dibiarkan menumpuk tanpa perlakuan. Sampah organik, plastik, logam, hingga limbah rumah tangga dan industri bercampur menjadi satu, menggunung setinggi gedung lima lantai.

Di sekeliling TPA, terutama di dua desa terdekat, tinggal ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada kegiatan memulung. Mereka bekerja dari pagi hingga sore, memilah plastik, logam, dan kertas bekas. Diperkirakan sekitar 50% dari penduduk dua desa itu bergantung penuh pada TPA untuk mata pencaharian. Mereka tinggal di rumah-rumah darurat yang dibangun dari bahan sisa: seng, kayu, plastik. Sebagian besar berada dalam radius 500 meter dari kaki gunungan sampah.

Longsor kecil pernah terjadi pada tahun 1992. Tujuh rumah tertimbun, namun tidak ada korban jiwa. Sayangnya, tidak ada perubahan signifikan setelah peristiwa itu. Aktivitas di TPA tetap berjalan, dan gunungan sampah terus bertambah tinggi.

Rekonstruksi Tragedi Leuwigajah: Kombinasi Ledakan Gas dan Longsor Sampah

Hasil analisis dinamika longsoran dari endapan sampah yang terjadi kala itu disimpulkan bahwa longsoran Leuwigajah tidak bisa disebut sebagai longsor tanah biasa. Kejadian tersebut adalah kombinasi antara "ledakan" gas dan longsoran mekanis dari tumpukan sampah yang sangat tidak stabil. Tekanan air hujan selama berhari-hari yang terjadi kala itu menyebabkan bagian bawah tumpukan menjadi jenuh air.

Sampah organik yang menumpuk selama bertahun-tahun juga menghasilkan gas metana dalam jumlah besar karena proses dekomposisi anaerobik—yakni pembusukan tanpa oksigen. Gas-gas ini terperangkap di lapisan bawah sampah yang padat dan lembap.

Tim peneliti menduga bahwa tekanan dari gas metana dan uap air ini mencapai titik kritis saat hujan deras melanda, sehingga menciptakan kondisi mirip seperti ledakan dalam tanah. Beberapa saksi mata menyebut adanya suara dentuman dan api merah sebelum longsoran terjadi. Kesaksian tersebut mendukung dugaan bahwa ledakan gas metana ikut berperan dalam melepaskan energi yang mendorong tumpukan sampah ke bawah dengan kecepatan sangat tinggi.

Dari rekonstruksi tersebut, diketahui bahwa longsoran terjadi dengan kecepatan mencapai 100 kilometer per jam, menjalar sejauh lebih dari satu kilometer, dan menyapu dua kampung dalam hitungan menit. Tidak hanya tanah yang longsor, tetapi juga material plastik, logam, lumpur, dan air tercampur menjadi aliran raksasa yang tak bisa dibendung.

Yang mencolok adalah fakta bahwa semua tubuh korban ditemukan dalam kondisi terbakar walaupun saat itu hujan deras mengguyur semalaman suntuk. Kondisi ini menunjukkan bahwa sampah tidak hanya longsor, tetapi juga terbakar hebat dalam prosesnya.

Kondisi TPA Leuwigajah saat dikunjungi peneliti pada Juli 2005. (Foto: Franck Lavigne)
Kondisi TPA Leuwigajah saat dikunjungi peneliti pada Juli 2005. (Foto: Franck Lavigne)

Para peneliti mengusulkan dua kemungkinan skenario tentang bagaimana bencana ini bisa terjadi. Meski urutannya berbeda, keduanya melibatkan kombinasi yang sama: hujan deras, gas metana, panas, dan plastik.

  • Skenario Pertama: Longsor Terjadi Dulu, Baru Terjadi Ledakan

Dalam skenario ini, hujan deras menyerap ke dalam tumpukan sampah dan membuat isinya jenuh air. Sampah menjadi berat dan kehilangan kekuatan, hingga akhirnya longsor. Saat longsor bergerak, kantong-kantong gas metana yang terperangkap di dalam timbunan ikut pecah.

Gas metana itu kemungkinan bertemu dengan bara api atau titik-titik panas sisa pembakaran yang masih menyala di dalam tumpukan. Kontak ini menyebabkan ledakan dan kebakaran besar. Material yang masih panas ikut terbawa dalam aliran longsor dan membakar korban-korban yang tertimbun.

  • Skenario Kedua: Ledakan Terjadi Dulu, Baru Longsor Bergerak

Dalam versi ini, air hujan tidak hanya membasahi sampah, tapi juga menyusup ke bagian dalam tumpukan yang sebelumnya sudah terbakar diam-diam. Uap air yang terbentuk menambah tekanan gas di bagian dalam timbunan. Tekanan ini akhirnya memicu ledakan pertama.

Ledakan itu mengangkat sebagian massa sampah, menciptakan celah bagi udara segar masuk ke dalam zona pembakaran. Masuknya udara segar membuat api semakin besar, dan muncullah ledakan kedua dan ketiga. Setelah itu, seluruh timbunan bergerak cepat menuruni lereng, membawa api yang menjalar di antara kantong-kantong plastik berisi gas metana.

Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang

Dua skenario ini, meski berbeda urutan, sama-sama melibatkan kombinasi mematikan antara air, gas, api, dan plastik. Ledakan, gas, dan panas membuat sampah memuai dan bergerak semakin cepat, membakar apapun yang dilewati. Kondisi ini diperparah oleh buruknya manajemen sampah dan lemahnya sistem peringatan dini.

Sebelum bencana 2005, sejumlah titik kebakaran sudah dilaporkan terjadi di TPA Leuwigajah. Para saksi mata juga melihat asap atau bara menyala dari dalam tumpukan sampah. Kebakaran ini bisa berlangsung lama, tersembunyi di bawah permukaan, memanaskan gas metana, dan menciptakan rongga tak kasat mata yang melemahkan struktur sampah.

Sementara itu, lokasi TPA secara geologis memang rawan. Dasarnya berupa batuan vulkanik andesit yang dilapisi tanah lempung, yang memiliki daya serap air rendah. Air hujan yang masuk tidak bisa mengalir dengan cepat, membuat sampah jenuh air dan memperbesar risiko longsor.

Bencana Leuwigajah mengakhiri seluruh aktivitas TPA tersebut. Pemerintah menutup lokasi pembuangan. Beberapa pejabat dijatuhi hukuman karena dianggap lalai. Namun, para pemulung kehilangan sumber penghidupan tanpa ada solusi yang memadai. Banyak dari mereka hanya berpindah lokasi tanpa jaminan keamanan yang lebih baik.

Jadi Inspirasi Hari Sampah, Tapi Bandung Belum Banyak Berubah

Peristiwa itu begitu mengguncang, hingga pemerintah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Sebuah pengakuan, bahwa kita pernah membiarkan sampah membunuh manusia. Tapi seperti banyak peringatan lainnya, tanggal itu berubah menjadi sekadar seremoni. Spanduk, seminar, dan aksi pungut sampah di taman-taman kota. Sementara di sisi lain kota, tumpukan baru terus tumbuh.

Dua puluh tahun lebih telah berlalu. Leuwigajah kini tinggal kenangan kelam di pinggiran Cimahi. TPA-nya tak lagi berfungsi sejak peristiwa itu. Di atas kawah bencana itu kini tumbuh semak dan ilalang. Kondisinya sepi. Tapi di kota, seperti biasa, orang-orang terus menghasilkan sampah tanpa ampun.

Kebutuhan akan tempat pembuangan baru membuat pemerintah memindahkan beban itu ke TPA Sarimukti, belasan kilometer ke utara. Sarimukti semula hanya dirancang sebagai solusi sementara. Tapi ā€˜sementara’ dalam tata kelola negara bisa berarti puluhan tahun. Kini, Sarimukti mulai sekarat. Lahan puluhan hektare itu sudah penuh sesak. Sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Bandung Barat terus ditimbun setiap hari, seperti menanam bom waktu baru.

Proyek TPA Legoknangka, yang konon akan menjadi tempat pembuangan dengan teknologi modern dan sistem pengolahan energi berbasis refuse derived fuel (RDF), belum juga selesai. Dulu dijanjikan akan rampung tahun 2020. Kini sudah 2025, dan belum juga ada asap atau bau dari cerobong Legoknangka. Pekerjaannya melulu tertunda, seokah terlalu rumit untuk dijelaskan dengan logika waras.

Baca Juga: Krisis Sampah Bandung Raya di Tengah Sarimukti yang Sekarat

Sementara itu, kota mulai kewalahan. Beberapa pekan bahkan bulan terakhir, di berbagai titik di Bandung Raya, gunungan sampah mulai muncul di tempat yang tak semestinya. Di pinggir jalan, di bawah flyover, di trotoar. Karung-karung hitam dan putih yang dibiarkan membusuk di tengah lalu lintas manusia. Petugas kebersihan kesulitan mengangkut sampah karena antrean di Sarimukti semakin panjang. Truk-truk pengangkut menunggu berjam-jam hanya untuk menurunkan satu muatan. Mereka tak bisa bolak-balik seperti dulu.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

ā€œMie Telur Mandiā€ dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 ā€œMie Telur Mandiā€ dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Beranda 15 Des 2025, 07:48 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Tengah Perebutan Ruang Hidup

Buku ini merekam cerita perjuangan perempuan di enam wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Sulawesi, NTT, NTB, serta dua titik di Kalimantan, yang menghadapi konflik lahan dengan negara dan korporasi.
Diskusi Buku ā€œPembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kamiā€ yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Minggu (14/12/2025).
Beranda 15 Des 2025, 07:32 WIB

Diskusi Publik di Dago Elos Angkat Isu Sengketa Lahan dan Hak Warga

Dari kegelisahan itu, ruang diskusi dibuka sebagai upaya merawat solidaritas dan memperjuangkan hak atas tanah.
Aliansi Bandung Melawan menggelar Diskusi Publik bertema ā€œJaga Lahan Lawan Tiranā€ pada 12 Desember 2025 di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Biz 15 Des 2025, 07:16 WIB

Berawal dari Kegelisahan, Kini Menjadi Bisnis Keberlanjutan: Perjalanan Siska Nirmala Pemilik Toko Nol Sampah Zero Waste

Toko Nol Sampah menjual kebutuhan harian rumah tangga secara curah. Produk yang ia jual sudah lebih dari 100 jenis.
Owner Toko Nol Sampah, Siska Nirmala. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Ayo Netizen 14 Des 2025, 20:09 WIB

Good Government dan Clean Government Bukan Sekadar Narasi bagi Pemkot Bandung

Pentingnya mengembalikan citra pemerintah daerah dengan sistem yang terencana melalui Good Government dan Clean Government.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan,