AYOBANDUNG.ID - Pada Senin dini hari, tanggal 21 Februari 2005 pukul 02.00 WIB, suara dentuman keras mengagetkan warga di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Dentuman itu bukan suara guntur atau ledakan pabrik, melainkan datang dari tubuh raksasa TPA yang selama bertahun-tahun menggunung dan akhirnya ambrol, melepaskan longsoran sampah ke arah dua desa di bawahnya: Leuwigajah dan Batujajar.
Tumpukan sampah itu longsor sejauh satu kilometer. Sampah bercampur lumpur, gas, dan api meluncur cepat, menghancurkan 71 rumah, menewaskan 143 orang (beberapa menyebut 157 orang), dan membakar sebagian besar tubuh korban. Mereka yang tertimbun bahkan tak sempat melarikan diri, meskipun pos evakuasi hanya berjarak sekitar 100 meter.
Bencana itu menjadi longsor sampah paling mematikan kedua dalam sejarah dunia, setelah tragedi Payatas di Filipina tahun 2000 yang menewaskan 278 orang. Namun berbeda dari banyak bencana alam lainnya, Leuwigajah bukanlah gempa atau banjir. Ia adalah hasil dari akumulasi kelalaian manusia: cara kita memperlakukan sampah, dan lebih dari itu, cara kita memperlakukan manusia yang hidup dari sampah.
Beberapa bulan setelah bencana, tim peneliti internasional—termasuk dari Badan Geologi—mulai mencari data di lapangan. Himpunan temuan lapangan tersebut dirangkai dengan sejumlah data dan analisis literatur sebelum kemudian diterbitkan dalam Jurnal Geoenvironmental Disasters tahun 2014.
Penelitian menyebutkan bahwa sebelum menjadi titik maut, Leuwigajah adalah bagian dari sistem pembuangan limbah Metropolitan Bandung. Tempat ini mulai digunakan sebagai TPA pada tahun 1987. Lembah kecil di kaki gunung itu sebelumnya hanyalah aliran air yang tenang, namun berubah menjadi tempat tumpukan limbah harian dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi.
Pada tahun 2005, wilayah Bandung Raya menghasilkan lebih dari 14.000 meter kubik sampah per hari. Dari angka itu, hanya 46% yang berhasil dikumpulkan. Sebagian sisanya dibuang ke sungai, dibakar di halaman rumah, atau berakhir di TPA Leuwigajah.
Setiap harinya, lebih dari 4.500 ton sampah dibuang ke sana. Komposisinya beragam, mulai dari limbah rumah tangga, sampah industri, hingga limbah dari fasilitas umum. Rumah tangga menyumbang porsi terbesar, yakni sekitar 7.700 meter kubik per hari.
Baca Juga: Tragedi AACC Bandung 2008, Sabtu Kelabu Konser Beside
TPA ini tidak dikelola oleh satu pihak saja. Ada tiga otoritas yang terlibat—Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi. Namun sayangnya, tata kelolanya tidak seragam dan semakin tidak terkontrol dari waktu ke waktu. Dari yang awalnya merupakan sistem controlled landfill atau pembuangan terkendali, Leuwigajah berubah menjadi open dumping di mana sampah ditumpuk begitu saja tanpa perencanaan teknis, sistem drainase, atau pemadatan.
Ironis memang. Alih-alih ditata dan dipadatkan, sampah dibuang begitu saja, dibiarkan menumpuk tanpa perlakuan. Sampah organik, plastik, logam, hingga limbah rumah tangga dan industri bercampur menjadi satu, menggunung setinggi gedung lima lantai.
Di sekeliling TPA, terutama di dua desa terdekat, tinggal ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada kegiatan memulung. Mereka bekerja dari pagi hingga sore, memilah plastik, logam, dan kertas bekas. Diperkirakan sekitar 50% dari penduduk dua desa itu bergantung penuh pada TPA untuk mata pencaharian. Mereka tinggal di rumah-rumah darurat yang dibangun dari bahan sisa: seng, kayu, plastik. Sebagian besar berada dalam radius 500 meter dari kaki gunungan sampah.
Longsor kecil pernah terjadi pada tahun 1992. Tujuh rumah tertimbun, namun tidak ada korban jiwa. Sayangnya, tidak ada perubahan signifikan setelah peristiwa itu. Aktivitas di TPA tetap berjalan, dan gunungan sampah terus bertambah tinggi.
Rekonstruksi Tragedi Leuwigajah: Kombinasi Ledakan Gas dan Longsor Sampah
Hasil analisis dinamika longsoran dari endapan sampah yang terjadi kala itu disimpulkan bahwa longsoran Leuwigajah tidak bisa disebut sebagai longsor tanah biasa. Kejadian tersebut adalah kombinasi antara "ledakan" gas dan longsoran mekanis dari tumpukan sampah yang sangat tidak stabil. Tekanan air hujan selama berhari-hari yang terjadi kala itu menyebabkan bagian bawah tumpukan menjadi jenuh air.
Sampah organik yang menumpuk selama bertahun-tahun juga menghasilkan gas metana dalam jumlah besar karena proses dekomposisi anaerobik—yakni pembusukan tanpa oksigen. Gas-gas ini terperangkap di lapisan bawah sampah yang padat dan lembap.
Tim peneliti menduga bahwa tekanan dari gas metana dan uap air ini mencapai titik kritis saat hujan deras melanda, sehingga menciptakan kondisi mirip seperti ledakan dalam tanah. Beberapa saksi mata menyebut adanya suara dentuman dan api merah sebelum longsoran terjadi. Kesaksian tersebut mendukung dugaan bahwa ledakan gas metana ikut berperan dalam melepaskan energi yang mendorong tumpukan sampah ke bawah dengan kecepatan sangat tinggi.
Dari rekonstruksi tersebut, diketahui bahwa longsoran terjadi dengan kecepatan mencapai 100 kilometer per jam, menjalar sejauh lebih dari satu kilometer, dan menyapu dua kampung dalam hitungan menit. Tidak hanya tanah yang longsor, tetapi juga material plastik, logam, lumpur, dan air tercampur menjadi aliran raksasa yang tak bisa dibendung.
Yang mencolok adalah fakta bahwa semua tubuh korban ditemukan dalam kondisi terbakar walaupun saat itu hujan deras mengguyur semalaman suntuk. Kondisi ini menunjukkan bahwa sampah tidak hanya longsor, tetapi juga terbakar hebat dalam prosesnya.

Para peneliti mengusulkan dua kemungkinan skenario tentang bagaimana bencana ini bisa terjadi. Meski urutannya berbeda, keduanya melibatkan kombinasi yang sama: hujan deras, gas metana, panas, dan plastik.
- Skenario Pertama: Longsor Terjadi Dulu, Baru Terjadi Ledakan
Dalam skenario ini, hujan deras menyerap ke dalam tumpukan sampah dan membuat isinya jenuh air. Sampah menjadi berat dan kehilangan kekuatan, hingga akhirnya longsor. Saat longsor bergerak, kantong-kantong gas metana yang terperangkap di dalam timbunan ikut pecah.
Gas metana itu kemungkinan bertemu dengan bara api atau titik-titik panas sisa pembakaran yang masih menyala di dalam tumpukan. Kontak ini menyebabkan ledakan dan kebakaran besar. Material yang masih panas ikut terbawa dalam aliran longsor dan membakar korban-korban yang tertimbun.
- Skenario Kedua: Ledakan Terjadi Dulu, Baru Longsor Bergerak
Dalam versi ini, air hujan tidak hanya membasahi sampah, tapi juga menyusup ke bagian dalam tumpukan yang sebelumnya sudah terbakar diam-diam. Uap air yang terbentuk menambah tekanan gas di bagian dalam timbunan. Tekanan ini akhirnya memicu ledakan pertama.
Ledakan itu mengangkat sebagian massa sampah, menciptakan celah bagi udara segar masuk ke dalam zona pembakaran. Masuknya udara segar membuat api semakin besar, dan muncullah ledakan kedua dan ketiga. Setelah itu, seluruh timbunan bergerak cepat menuruni lereng, membawa api yang menjalar di antara kantong-kantong plastik berisi gas metana.
Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang
Dua skenario ini, meski berbeda urutan, sama-sama melibatkan kombinasi mematikan antara air, gas, api, dan plastik. Ledakan, gas, dan panas membuat sampah memuai dan bergerak semakin cepat, membakar apapun yang dilewati. Kondisi ini diperparah oleh buruknya manajemen sampah dan lemahnya sistem peringatan dini.
Sebelum bencana 2005, sejumlah titik kebakaran sudah dilaporkan terjadi di TPA Leuwigajah. Para saksi mata juga melihat asap atau bara menyala dari dalam tumpukan sampah. Kebakaran ini bisa berlangsung lama, tersembunyi di bawah permukaan, memanaskan gas metana, dan menciptakan rongga tak kasat mata yang melemahkan struktur sampah.
Sementara itu, lokasi TPA secara geologis memang rawan. Dasarnya berupa batuan vulkanik andesit yang dilapisi tanah lempung, yang memiliki daya serap air rendah. Air hujan yang masuk tidak bisa mengalir dengan cepat, membuat sampah jenuh air dan memperbesar risiko longsor.
Bencana Leuwigajah mengakhiri seluruh aktivitas TPA tersebut. Pemerintah menutup lokasi pembuangan. Beberapa pejabat dijatuhi hukuman karena dianggap lalai. Namun, para pemulung kehilangan sumber penghidupan tanpa ada solusi yang memadai. Banyak dari mereka hanya berpindah lokasi tanpa jaminan keamanan yang lebih baik.
Jadi Inspirasi Hari Sampah, Tapi Bandung Belum Banyak Berubah
Peristiwa itu begitu mengguncang, hingga pemerintah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Sebuah pengakuan, bahwa kita pernah membiarkan sampah membunuh manusia. Tapi seperti banyak peringatan lainnya, tanggal itu berubah menjadi sekadar seremoni. Spanduk, seminar, dan aksi pungut sampah di taman-taman kota. Sementara di sisi lain kota, tumpukan baru terus tumbuh.
Dua puluh tahun lebih telah berlalu. Leuwigajah kini tinggal kenangan kelam di pinggiran Cimahi. TPA-nya tak lagi berfungsi sejak peristiwa itu. Di atas kawah bencana itu kini tumbuh semak dan ilalang. Kondisinya sepi. Tapi di kota, seperti biasa, orang-orang terus menghasilkan sampah tanpa ampun.
Kebutuhan akan tempat pembuangan baru membuat pemerintah memindahkan beban itu ke TPA Sarimukti, belasan kilometer ke utara. Sarimukti semula hanya dirancang sebagai solusi sementara. Tapi ‘sementara’ dalam tata kelola negara bisa berarti puluhan tahun. Kini, Sarimukti mulai sekarat. Lahan puluhan hektare itu sudah penuh sesak. Sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Bandung Barat terus ditimbun setiap hari, seperti menanam bom waktu baru.
Proyek TPA Legoknangka, yang konon akan menjadi tempat pembuangan dengan teknologi modern dan sistem pengolahan energi berbasis refuse derived fuel (RDF), belum juga selesai. Dulu dijanjikan akan rampung tahun 2020. Kini sudah 2025, dan belum juga ada asap atau bau dari cerobong Legoknangka. Pekerjaannya melulu tertunda, seokah terlalu rumit untuk dijelaskan dengan logika waras.
Baca Juga: Krisis Sampah Bandung Raya di Tengah Sarimukti yang Sekarat
Sementara itu, kota mulai kewalahan. Beberapa pekan bahkan bulan terakhir, di berbagai titik di Bandung Raya, gunungan sampah mulai muncul di tempat yang tak semestinya. Di pinggir jalan, di bawah flyover, di trotoar. Karung-karung hitam dan putih yang dibiarkan membusuk di tengah lalu lintas manusia. Petugas kebersihan kesulitan mengangkut sampah karena antrean di Sarimukti semakin panjang. Truk-truk pengangkut menunggu berjam-jam hanya untuk menurunkan satu muatan. Mereka tak bisa bolak-balik seperti dulu.