AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota yang dikenal sebagai Paris van Java, tak hanya memikat lewat pesona alam dan kulinernya, tetapi juga lewat denyut bisnis ritelnya yang dinamis. Dari pasar tradisional hingga mal modern, lanskap belanja di kota ini terus berevolusi, mengikuti ritme gaya hidup masyarakat urban yang semakin digital dan selektif.
Salah satu ikon belanja yang tak lekang oleh waktu adalah Pasar Cimol Gedebage. Di pasar ini, pakaian bermerek bisa didapat dengan harga di bawah Rp200.000. Meski sebagian besar barangnya adalah second-hand, daya tariknya tetap kuat, terutama bagi anak muda yang ingin tampil gaya tanpa harus merogoh kocek dalam.
Fenomena Gedebage mencerminkan semangat generasi milenial dan Gen Z Bandung yang mengutamakan nilai dan ekspresi diri. Mereka tak sekadar mengejar tren, tetapi juga mencari identitas melalui fesyen yang terjangkau, berkelanjutan, dan autentik. Pasar ini menjadi ruang alternatif yang menyaingi dominasi pusat perbelanjaan konvensional.
Namun, Bandung bukan hanya soal pasar barang bekas. Kota ini juga menjadi rumah bagi lebih dari 25 pusat perbelanjaan modern, menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jawa Barat. Jumlah ini menjadikan Bandung sebagai episentrum ritel di provinsi tersebut, melampaui kota-kota lain seperti Cirebon dan Tasikmalaya.
Ketua APPBI Jawa Barat periode 2014–2017, Didie S. Markibah, menyebut bahwa ruang ekspansi mal masih terbuka lebar. Namun, ia juga mengakui bahwa pendapatan pengelola pusat perbelanjaan mengalami tekanan dalam beberapa tahun terakhir.
“Jumlah penduduk Kota Bandung yang cukup besar dan tingkat pertumbuhan ekonomi terbilang tinggi,” ungkapnya kepada Ayobandung.
Penurunan ini terutama dirasakan di sektor fesyen dan gaya hidup. Didie menduga bahwa pergeseran perilaku belanja masyarakat menjadi faktor utama. “Pertumbuhan sektor fesyen sebenarnya masih bagus, cuma sudah banyak e-commerce atau platform online jadi mungkin sebagian lari ke sana,” jelasnya.
Generasi milenial dan Gen Z, yang tumbuh bersama teknologi digital, cenderung mengutamakan kenyamanan dan efisiensi. Pola ini menantang eksistensi mal sebagai ruang belanja utama.
Meski begitu, sektor makanan dan minuman justru menunjukkan tren positif. Tenant kuliner menjadi primadona di berbagai pusat perbelanjaan. Hal ini menunjukkan bahwa pusat perbelanjaan kini lebih berfungsi sebagai ruang sosial daripada sekadar tempat transaksi.
“Demand pun besar terutama untuk tenant makanan dan minuman. Tapi memang tenant ini kebanyakan restoran yang sektornya kuliner,” ungkap Didie.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung 2025 menunjukkan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran menyumbang 21,3% terhadap PDRB kota. Angka ini menandakan bahwa ritel tetap menjadi tulang punggung ekonomi lokal, meski harus beradaptasi dengan digitalisasi dan perubahan preferensi konsumen.
Sementara itu, Pasar Kreatif Bandung 2025 yang digelar sejumlah pusat perbelanjaan Kota Bandung menjadi bukti bahwa UMKM lokal masih memiliki daya saing. Sekitar 331 pelaku usaha mikro dan kecil berpartisipasi, menunjukkan antusiasme tinggi dari pelaku ekonomi kreatif. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyebut ekonomi ritel sebagai “denyut yang menghidupi perputaran perekonomian Kota Bandung”.
Namun, distribusi pusat perbelanjaan di Bandung belum merata. Wilayah tengah kota mendominasi, sementara timur dan selatan masih minim fasilitas. Padahal, potensi ekonomi di kawasan tersebut cukup besar dan belum tergarap optimal. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pengembang dan pemerintah kota untuk mendorong pemerataan investasi.
Di luar Bandung, kota-kota seperti Cirebon dan Tasikmalaya mulai menunjukkan geliat ritel. Cirebon gencar mempromosikan wisata kuliner dan fesyen, sementara Tasikmalaya memiliki basis industri kreatif yang menjanjikan.
“Kalau buat saya sih Cirebon bagus. Juga daerah Tasikmalaya dan Garut,” ujar Didie.
Namun, daerah seperti Kuningan dan Majalengka masih tertinggal dalam pengembangan pusat perbelanjaan. Populasi yang relatif kecil menjadi salah satu faktor penghambat ekspansi ritel di wilayah tersebut. Data ini menunjukkan bahwa pengembangan ritel tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga demografi dan daya beli.
Dengan lanskap yang terus berubah, pelaku bisnis ritel di Bandung perlu menggabungkan strategi offline dan online. Pengalaman belanja yang imersif, kolaborasi dengan kreator lokal, dan pemanfaatan teknologi menjadi kunci untuk menarik generasi muda yang haus akan inovasi dan personalisasi.
Bandung memiliki modal kuat lewat kreativitas, sejarah industri tekstil, dan basis konsumen yang dinamis. Namun, tantangan digitalisasi dan perubahan gaya hidup menuntut inovasi berkelanjutan.
“Sekarang gaya dan pola berbelanjanya generasi milenial dan Gen Z cenderung tidak mau pusing. Tinggal buka HP dan langsung order produk. Tapi meski begitu, kami berharap tidak akan memberikan pengaruh besar untuk perkembangan pusat perbelanjaan,” harap Didie.
Alternatif produk UMKM Fesyen atau serupa:
