AYOBANDUNG.ID - Hiruk-pikuk pemberitaan tentang bencana di Pulau Sumatera beberapa hari terakhir menyedot perhatian. Bagaimana tidak setidaknya hingga Minggu (7/12) malam, jumlah korban tewas mencapai 916 jiwa.
Namun tanpa banyak diekspose, hanya sekitar 23 kilometer dari Gedung Sate yang menjadi pusat jantung pemerintahan Jawa Barat, sebuah bencana alam terjadi begitu dekat dan begitu sunyi.Tanah longsor besar di Kampung Condong, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Longsor itu datang pada Jumat sore, 5 Desember 2025, ketika hujan deras mengguyur sejak siang. Warga awalnya hanya merasakan getaran ringan, mirip gempa kecil. Namun beberapa detik kemudian, suara gemuruh seperti helikopter terdengar dari arah lereng bukit. Tanah pun bergerak, ambrol, dan menghantam persawahan serta permukiman di bawahnya.
Dirman, seorang warga, masih mengingat jelas momen ketika tanah di bawah kakinya bergetar. Ia bersama warga lain berlari menuju Masjid At-Taqwa untuk menyelamatkan diri. Tak ada waktu membawa barang-barang penting. Keselamatan menjadi satu-satunya tujuan.
Di antara teriakan dan kepanikan, kabar buruk menyebar dengan cepat: beberapa rumah tertimbun. Sebanyak lima rumah yang berdiri tepat di jalur longsor dilibas material tanah dan batu berukuran besar. Ada korban di dalamnya.
Tiga orang dinyatakan tertimbun: Asiyah (60), cucunya Citra (20), dan Arjuna (10). Sementara seorang remaja bernama Ramdan berhasil ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri lebih dari seratus meter dari rumahnya. Ia langsung dibawa ke rumah sakit oleh petugas dan warga.
Tim SAR Gabungan segera dikerahkan. Kepala Kantor SAR Bandung, Ade Dian Permana, menyebut pencarian difokuskan pada dua titik berdasarkan pemetaan drone thermal. Setiap sudut longsoran digali manual karena alat berat sulit masuk ke medan curam dan labil.

Namun upaya pencarian tak mudah. Tanah terus bergerak, membuat petugas harus ekstra hati-hati. Seorang relawan, Bayu Triseptian, mengatakan bahwa tim sempat menghentikan pencarian beberapa kali karena khawatir terjadi longsor susulan. “Pergerakan tanah masih ada. Takutnya kejadian lagi,” ujarnya.
Di sisi lain, ratusan warga harus dievakuasi. Setidaknya 337 orang mengungsi dari dua RT yang berada di lereng bukit. Mereka ditempatkan di rumah penduduk, balai desa, hingga GOR terdekat untuk menghindari ancaman bencana susulan.
Eni, salah satu warga yang mengungsi, mengaku panik ketika mendengar suara gemuruh dan dinding rumahnya bergetar. Ia bergegas membawa keluarga menuju tempat aman. Ia kini tinggal bersama lebih dari 20 pengungsi lain di sebuah rumah milik warga yang jaraknya sekitar 10 menit dari lokasi longsor.
Meski bantuan terus berdatangan, warga seperti Yanti dan Eni tetap harus bolak-balik ke rumah pada pagi dan siang hari. Mereka memasak makanan sendiri karena bahan pangan yang tersedia di posko dianggap belum cukup untuk kebutuhan semua pengungsi.
Di tengah kesedihan dan ketidakpastian, persoalan lama kembali muncul ke permukaan: kerusakan lingkungan. Mantan Bupati Bandung, Dadang M. Naser, yang meninjau lokasi menyampaikan bahwa lereng setinggi 80 meter itu minim pohon besar yang mampu mengikat tanah. Lahan tersebut kerap dijadikan kebun sayuran oleh warga.
Ia menilai penggunaan lahan miring untuk pertanian menjadi salah satu faktor yang memperlemah struktur tanah. Dadang meminta agar kawasan itu segera dihijaukan kembali dengan tanaman berakar kuat, misalnya alpukat, untuk menahan erosi di masa depan.

Selain itu, ia menyoroti praktik pembabatan dan pembukaan lahan tanpa kontrol. Menurutnya, kesadaran warga terhadap pentingnya menjaga kemiringan lahan dan tidak membuang sampah sembarangan harus ditingkatkan. Jika tidak, bencana serupa akan terus berulang.
Sungai Cilebak yang melintas di lereng pun tak mampu menahan tambahan volume air dari hujan deras. Arus yang meningkat membuat tanah di bagian atas semakin jenuh air hingga tak lagi sanggup menopang bebannya sendiri.
Kini, kawasan yang sebelumnya adalah persawahan berubah menjadi hamparan tanah cokelat tebal bercampur batu-batu besar. Air sungai pun berubah keruh, membawa jejak kerusakan yang terjadi di hulu.
Meski begitu, harapan masih dipegang warga. Proses pencarian yang berlangsung hingga malam hari tetap dipantau dengan cemas. Namun kondisi gelap dan cuaca buruk memaksa tim untuk menghentikan operasi sementara waktu.
BPBD Jawa Barat menyebut pencarian akan dilakukan maksimal tujuh hari sesuai prosedur. Jika ada permintaan khusus dari keluarga, proses bisa diperpanjang. Namun keterbatasan akses membuat pencarian harus dilakukan lebih banyak secara manual.
Hingga Sabtu malam, ketiga korban masih belum ditemukan. Harapan bercampur kecemasan memenuhi pikiran para keluarga dan warga. Bencana ini kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Sumatera. Tetapi bagi mereka, luka ini nyata, kehilangan ini dekat—bahkan terlalu dekat.
Fakta yang yang tidak bisa disanggah, data bencana alam BNPB tahun 2024 menyatakan Jabar sebagai provinsi yang paling sering mengalami bencana, yakni sebanyak 461 kejadian. Bencana itu tidak jauh, tapi ada di depan hidung kita.
