AYOBANDUNG.ID - Di Jalan Maribaya, Desa Kayuambon, seorang pengendara motor terseret arus banjir sejauh 30 meter. Di tempat lain, di Kampung Legok Cibeusi, Desa Cikahuripan, seorang perempuan lanjut usia bernama Endang dilaporkan hilang setelah tersapu derasnya air.
Peristiwa pada 23 Mei itu menandai titik balik bagi pemerintah Kabupaten Bandung Barat: banjir dan longsor yang menerjang Lembang bukan lagi soal cuaca ekstrem semata, tapi juga soal tata ruang yang porak-poranda.
Sekretaris Daerah Bandung Barat, Ade Zakir, menyebut persoalan banjir tak cukup diselesaikan hanya dengan memperbaiki drainase. “Ada beberapa yang dilakukan, mungkin yang pemanfaatan di atas drainase juga harus ada penertiban,” kata Ade baru-baru ini.
Tim dari pemerintah kabupaten telah melakukan survei awal bersama Bupati, Dinas Perumahan dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) KBB. Hasilnya, mereka akan mulai dengan sosialisasi kepada warga. Penertiban menyasar bangunan yang berdiri di atas jalur air, termasuk di kawasan Lembang yang masuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU).
“Pemahaman awal konsep drainasenya sudah didiskusikan dari awal, tinggal pendalaman secara teknis,” tambah Ade. Ia juga menegaskan pentingnya memetakan aliran air dari hulu ke hilir agar solusi yang diambil tak sekadar memindahkan masalah.
“Jangan sampai hanya memindahkan banjir ke tempat lain.”
Distribusi pembuangan air yang membentang hingga ke Kota Cimahi dan Kota Bandung juga akan masuk dalam perencanaan. Ade mengakui dimensi dan kapasitas badan air yang menjadi tujuan akhir air perlu disesuaikan agar tak menciptakan titik rawan banjir baru.
Langkah jangka pendek yang ditempuh Pemkab adalah penajaman pengawasan. Tapi untuk jangka panjang, Pemkab Bandung Barat mulai membuka buku besar: evaluasi tata ruang dan pembenahan wilayah KBU.
Kepala Dinas PUTR KBB, Mochamad Ridwan Evi menyampaikan bahwa pihaknya tengah membentuk tim internal untuk menindaklanjuti alih fungsi lahan secara lebih sistematis.
“Tim terdiri dari unsur bidang tata ruang, pembangunan gedung, serta SDA. Sekarang kita sedang siapkan kelengkapannya, termasuk SK tim,” ujarnya.
Kawasan Bandung Utara memang sudah lama menjadi korban dari pembangunan yang masif dan minim perhitungan lingkungan. Deretan vila, hotel, dan kafe tumbuh subur di dataran tinggi. Banyak yang berdiri di atas area yang semestinya menjadi ruang resapan air. Saat hujan turun deras, tanah tak lagi menyimpan air, tapi langsung mengalirkannya ke pemukiman yang lebih rendah.
Disenggol Gubernur, Baru Ramai Lagi
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengomentari kondisi ini lewat akun Instagram pribadinya. “Di Lembang banjir. Yang salahnya pasti gubernur konten, atau wilayah hutannya habis dijadikan area perumahan, vila, hotel, kafe. Anehkan di gunung banjir,” tulisnya dengan nada sarkastik.
Gubernur Dedi menyebut dirinya telah meminta Bupati Bandung Barat dan instansi teknis untuk turun ke lapangan. Ia menyoroti pentingnya evaluasi tata ruang serta pelarangan alih fungsi lahan secara tegas. “Lakukan langkah berani, terukur, dan tegas,” ujarnya.
Tak hanya itu, program penghijauan juga sedang disiapkan. Penanaman pohon kayu dan bambu direncanakan dimulai pada November mendatang. Ini menjadi bagian dari upaya rehabilitasi kawasan hulu yang gundul dan kering.
Secara terbuka, Dedi juga menyampaikan permintaan maaf atas pembangunan sporadis yang terjadi di masa lalu. “Saya bertanggung jawab,” tulisnya.
Sementara itu, Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail, mengaku telah memulai pengecekan langsung ke titik-titik terdampak.
“Kita cek semuanya, terutama soal alih fungsi lahan dan pembangunan,” ujarnya.
Jeje juga mengatakan bahwa izin-izin pembangunan akan dikaji ulang, terutama untuk kawasan yang seharusnya merupakan hutan lindung. “Tentunya nanti kita cek izin pembangunan, akan diperketat,” katanya. Ia menekankan bahwa Lembang merupakan bagian dari KBU, kawasan strategis yang seharusnya dilindungi.
Rentetan Banjir dan Longsor Kepung Lembang
Pertengahan Mei lalu, Lembang dilanda rentetan bencana hidrometeorologis. Dimulai dari banjir yang menutup jalan utama kota hingga longsor besar yang memaksa ratusan warga mengungsi. Cuaca ekstrem dan tanah jenuh air mempercepat laju kerusakan di kawasan yang kontur alamnya memang rentan.
Pada 14 Mei 2025, hujan deras sejak siang menyebabkan banjir di pusat kota Lembang. Genangan setinggi lutut orang dewasa menutup Jalan Raya Lembang di depan Pasar Panorama. Sejumlah kendaraan mogok, sementara arus air menyeret pembatas jalan dan menutup jalur pedestrian. Banjir juga masuk ke pemukiman warga di Kampung Pangragajian dan Kalapanunggal.
Hari berikutnya, Kamis sore, longsor terjadi di Kampung Ciburial, Desa Cibogo. Tebing setinggi 25 meter runtuh dan menimpa kolam ikan serta fasilitas umum. Enam warga luka ringan, sementara lima keluarga harus direlokasi karena rumah mereka berada tepat di jalur longsor.
Bencana terbesar datang Jumat dini hari, 16 Mei. Di Kampung Areng, Desa Wangunsari, tebing setinggi 30 meter longsor dan menerjang permukiman di bawahnya. Tiga rumah rusak berat, dua lainnya rusak sedang dan ringan. Lebih dari 100 jiwa dievakuasi ke masjid dan tenda darurat. Jalan utama sempat tertutup material longsoran, menyulitkan proses evakuasi.

Tak berhenti di situ, longsor juga dilaporkan terjadi di Desa Jayagiri, Kayuambon, dan Pagerwangi. Total lima titik longsor tercatat selama sepekan.
Semua kejadian itu terjadi di jantung KBU, zona konservasi yang semestinya terlindungi dari aktivitas pembangunan. Namun, dengan lereng yang terus berubah jadi pemukiman, bencana kini bukan lagi potensi, melainkan pola berulang.