AYOBANDUNG.ID - Di tengah ingar-bingar panggung seremonial upacara dan sidang paripurna perayaan ulang tahun ke-18 Kabupaten Bandung Barat, ada suara lirih yang nyaris tak terdengar: suara warga korban bencana yang hingga kini belum mendapat kepastian tempat tinggal.
Acih 70 tahun, penyintas bencana tanah bergerak di Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga, meratapi sisa-sisa rumah yang tampak rata dengan tanah usai porak-poranda diterjang tanah bergerak pada Februari 2024.
Matanya berkaca, butiran bening menetes ke pipi keriput, saat Acih menengok sisa batu fondasi rumahnya yang dipenuhi aneka rumput liar dan perdu. Lansia itu tak kuasa menahan kesedihan karena hampir 1 tahun 5 bulan sejak peristiwa bencana, ia tak kunjung punya rumah.
"Waktu itu rumah ini dibangun dari bantuan pemerintah Rutilahu. Semula panggung, jadi semi permanen. Tapi baru juga punya rumah layak, tiba-tiba rusak lagi oleh bencana. Jadi cuma satu tahun menetap di sini," kenang Acih.
Janji pemerintah untuk merelokasi korban bencana tanah bergerak selama sepekan sejak kejadian ngaret hingga kini. Acih jadi warga nomaden berpindah dari satu rumah ke rumah lain untuk berteduh bersama Abas, 90 tahun, suami yang sakit-sakitan.
Karena tak nyaman dan capek dengan terus-terusan pindah, Acih terpaksa memilih menetap. Ia meminjam lahan seluas 28 meter persegi di atas kolam lele anaknya untuk dibangun rumah semi permanen. Dirinya berutang ke saudara dan tetangga agar bangunan tempat tinggal teduh dari panas dan hujan.
"Ongkos beli bahan, gaji tukang, dan lainnya saya habis Rp50 juta buat bangun rumah. Uang itu pinjam dari anak, saudara, dan tetangga," paparnya.
Ia berharap pemerintah segera merealisasikan relokasi bagi korban terdampak bencana pergerakan tanah di Kampung Cigombong. Pasalnya, hampir setahun lebih belum ada kepastian. Di sisi lain, warga terdampak juga dibiarkan berjuang sendiri untuk mendapat hunian.
"Tolong segera bangun perhatikan kami, ini hari ulang tahun Bandung Barat tapi kado buat kami hanya rasa pahit getir yang belum sembuh sejak bencana menerjang.
Cerita serupa juga dialami Wawan (55) dan istrinya Hindun (55). Rumah mereka juga ambruk diterjang pergerakan tanah. Lelah menanti kepastian, Wawan memutuskan membangun rumah secara mandiri, mengorbankan simpanan terakhirnya.
“Saya jual gabah, domba, dan tabungan. Total Rp40 juta lebih saya habiskan untuk bangun rumah ini,” ujarnya.
Menurut Wawan, hingga kini belum ada kejelasan lokasi relokasi.
“Pemerintah bilang sedang proses, tapi prosesnya kayak nggak jalan. Mohon jangan lupakan kami. Kami bukan angka, kami manusia yang ingin hidup tenang. Kalau pemerintah merayakan ulang tahun dengan pesta dan rapat paripurna, kami cuma ingin satu: rumah,” pungkas Wawan.
Begitulah wajah lain dari perayaan hari jadi Bandung Barat yang diperingati setiap 19 Juni.
Di balik spanduk ucapan dan panggung hiburan, ada warga yang masih hidup dalam ketidakpastian. 18 tahun usia kabupaten, tapi untuk sebagian warganya, kehidupan belum dimulai kembali sejak rumah mereka hilang dalam bencana.
Sementara janji relokasi tak kunjung ditepati, warga seperti Acih dan Wawan harus terus bertahan—membangun dari puing-puing, meminjam harapan dari hari esok. Hari jadi Bandung Barat bagi mereka bukan perayaan, tapi pengingat getir akan hak dasar yang belum juga dipenuhi: tempat untuk pulang.
Gonta-ganti Pemimpin Tapi Relokasi Tak Kunjung Ditepati
Nasib terkatung-katung korban bencana bukan saja terjadi di Kecamatan Rongga. Hasil penelusuran, tercatat ada 5 lokasi bencana yang dijanjikan pemerintah merelokasi warga namun tak kunjung terealisasi.
Kelima lokasi bencana tersebut yakni, korban tanah bergerak di Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga. Total 48 kepala keluarga (KK) atau 192 jiwa. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjanjikan relokasi selesai 2 sampai 6 bulan.
Korban bencana banjir di Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), bencana banjir akibat luapan sungai Cimeta mengakibatkan 25 rumah rusak dan 139 jiwa warga di Desa Nyalindung mengungsi. Warga terdampak dijanjikan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi untuk dipindahkan dari bantaran sungai.
Korban banjir bandang dan longsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berjanji relokasi 30 rumah dalam waktu sepekan.
Korban bencana tanah bergerak di Kampung Patrol Bahubang, Desa Situwangi, Kecamatan Cihampelas. Berdasarkan data BPBD, ada 30 rumah milik warga rusak.
Korban terdampak bencana longsor di Kampung Ciburial RT 02 RW 04, Desa Cibogo, Kecamatan Lembang. Opsi relokasi diambil untuk mencegah longsor susulan sehingga mengancam keselamatan warga penghuni rumah di sekitar lokasi bencana. Total ada lima kepala keluarga (KK) dengan 19 jiwa yang harus direlokasi untuk menghindari risiko yang lebih besar mengingat rumah korban terdampak sangat tidak aman ditempati.
Wakil Bupati Bandung Barat Asep Ismail mengatakan tersendatnya proses relokasi sejumlah korban bencana akibat kesulitan soal lahan.
Pihaknya berjanji, proses pemindahan rumah warga bakal dipercepat. "Memang kendalanya lahan, kita terus berproses untuk mencari lahan," papar Asep beberapa waktu lalu.
Sementara itu, rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk merelokasi rumah warga korban banjir di bantaran sungai Cimeta, Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) molor dari target. Pemindahan warga yang semula direncanakan setelah Hari Raya Idulfitri, mundur ke Juli 2025.
Kepala Bidang Perumahan pada Disperkim Provinsi Jawa Barat Achmad Haidar mengatakan relokasi rumah terdampak banjir di Bandung Barat mesti melalui tahapan kajian tim akademik dari Institut Teknologi Bandung atau ITB.
"Jadi kan itu relokasi posisi masih asli, jadi harus diukur dulu tidak bisa langsung dibangunkan. Akan dihitung berapa kebutuhan biayanya baru setelah itu akan dieksekusi. Harapannya Juli sudah mulai," ujarnya saat dikonfirmasi.
Menurutnya, konsep bangunan rumah nantinya akan mengusung rumah panggung adat masyarakat Sunda. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah mengintruksikan Disperkim mengadopsi rumah di Kampung Naga, Tasikmalaya. Namun tentunya akan disesuaikan dengan kondisi warga Desa Nyalindung yang menjadi korban terdampak banjir.
"Memang arahan Gubernur mengambil contoh rumah adat di Kampung Naga. Paling nanti ada sedikit penyesuaian dengan teknologi yang sekarang dan masyarakatnya. Kan bukan masyarakat (kampung) adat, jadi akan disesuaikan," jelas dia. (*)