AYOBANDUNG.ID - Sumedang bukan hanya dikenal karena tahu dan udaranya yang sejuk. Di balik sejarah panjang kabupaten ini, hidup pula seni tradisional yang berkembang melalui jalan dakwah dan hiburan: Bangreng. Kesenian ini bukan sekadar tontonan. Ia adalah warisan, perpaduan antara suara rebana besar yang disebut terebang dan gerak luwes para penari ronggengâsimbol persilangan antara nilai religius dan hiburan rakyat.
Jejak awal kesenian Bangreng dapat dilacak ke Kecamatan Tanjungkerta, sebelum meluas ke wilayah Cimalaka, Paseh, hingga Situraja. Namun, seperti seni tradisi lainnya, Bangreng tak lahir dalam sekali jadi. Ia hasil dari rentetan evolusi panjang kesenian di tanah Sunda. Dimulai dari terebang, berlanjut ke gembyung, dan baru kemudian menjadi Bangreng seperti yang dikenal sekarang.
Dari Terebang ke Gembyung, Lalu Jadi Bangreng
Risalah Nilai Budaya dalam Balutan Kesenian Bangreng karya Ria Intani dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, akar seni Bangreng dapat ditarik jauh ke tahun 1550-an, era kemunculan kesenian Terebang. Pada masa itu, Terebang dipakai dalam kegiatan keagamaan dan upacara adat. Alat utamanya berupa rebana besar dari kayu, yang jumlahnya lima buah. Angka lima bukan kebetulan; ia menyimbolkan salat lima waktu dalam Islam.
Ria mencatat, pada mulanya Terebang dianggap kurang menghibur. Maka muncullah Gembyung pada sekitar 1956, yang menawarkan pertunjukan lebih dinamis dengan tambahan waditra seperti gendang, goong, kulanter, kecrek, hingga tarompet.
Perubahan itu disambut baik oleh masyarakat, namun nasib Gembyung pun tidak bertahan lama. Tahun 1968, datanglah babak baru: lahirnya Bangreng. Dalam transformasi ini, Gembyung dipoles dengan lagu-lagu tambahan, gaya pertunjukan yang lebih komunikatif, serta kehadiran penari wanita, ronggeng, yang menjadikan Bangreng lebih meriah dan atraktif.
Bangreng sendiri adalah akronim dari âBangâ (terebang) dan âRengâ (ronggeng). Kombinasi dua unsur ini membentuk formula khas Bangreng: bunyi yang kuat dari rebana besar, dan gerakan gemulai penari yang menghidupkan suasana.
Berdasarkan wawancara dengan Abah Mamanâsalah satu sesepuh seni Bangreng dari TanjungkertaâRia menyebut kata terebang bukan sekadar nama alat musik. Ia menyimpan makna simbolik yang dalam. Terdiri atas tujuh huruf, kata terebang diyakini merepresentasikan tujuh hari dalam sepekanâSenin hingga Mingguâdan menjadi pengingat untuk melaksanakan salat lima waktu setiap hari. Tak hanya itu, tiap hurufnya pun mengandung filosofi.
Baca Juga: Hikayat Dinasti Sunarya, Keluarga Dalang Wayang Golek Legendaris dari Jelekong
Huruf T dimaknai sebagai simbol Gusti Allah yang Maha Esa, fondasi utama dari ajaran Islam yang menjadi roh dalam kesenian ini. Huruf E melambangkan etika dalam berkesenian, bahwa dalam setiap gerak dan bunyi harus ada kesadaran akan adab. Huruf R merujuk pada rebana yang digunakan untuk mengiringi pembacaan shalawat Nabi Muhammad, menandakan kedekatan seni ini dengan aktivitas religius.
Sementara itu, huruf B merujuk pada bangkitan pusaka leluhur, bahwa Bangreng bukan seni yang tiba-tiba hadir, tapi hasil warisan turun-temurun. Huruf A melambangkan agama, inti dari seluruh makna pertunjukan. Huruf N diartikan sebagai nadhom, yaitu puji-pujian kepada Tuhan dan Nabi. Terakhir, huruf G adalah gending, atau alat tetabuh yang menjadi denyut nadi dari pertunjukan Bangreng itu sendiri.
Irisan Dakwah Sunan Gunung Jati hingga ke Panggung Hiburan
Lahir dan tumbuh di tengah masyarakat Islam, Bangreng sejak awal tak hanya jadi hiburan semata. Ia juga jadi sarana dakwah. Dalam risalah lain, Ria Intani menyebutkan bahwa Terebang dipakai oleh Sunan Gunung Jati dan para utusannya dalam menyebarkan Islam di Sumedang. Salah satunya adalah Eyang Wangsakusmah, yang menggunakan sisa kayu pembangunan masjid untuk membuat alat musik terbang.
Pada abad ke-15, pertunjukan seni terbang belum melibatkan kendang. Empat buah rebana besar digunakan, disesuaikan dengan jumlah utusan Sunan Gunung Jati. Masuk ke abad 17, pertunjukan terebang mulai dipentaskan dalam acara keagamaan seperti mauludan, rajaban, dan hari raya Islam, sebelum kemudian menyebar ke upacara sosial seperti sunatan dan kenduri.
Perubahan menuju Gembyung menandai pergeseran dari ranah religius ke ranah hiburan. Penambahan alat musik dan lagu bebas dari ketuk tilu memperkaya suasana pertunjukan. Perubahan ini turut berdampak pada gaya ronggeng yang tampil lebih ekspresif.
Bangreng hadir sebagai bentuk kompromi: hiburan yang tetap bernuansa religius. Pertunjukan biasanya dibuka dengan shalawatan, dilanjut dengan pertunjukan tari dan musik, lalu ditutup lagi dengan shalawatan. Bahkan ketika dipentaskan untuk khitanan atau pernikahan, nuansa ritual tetap dijaga.
Sebagian kelompok kesenian masih mempertahankan tradisi pra-pertunjukan berupa ritual dan sesajen. âSesajen untuk hiburan lebih kurang âhanyaâ dua puluh macam,â kata Abah Maman. Isinya antara lain bubur beureum bodas, surabi, klepon, kupat, kembang, bakakak hayam, hingga gula merah.
Baca Juga: Tapak Sejarah Reak, Seni Kesurupan yang Selalu Bikin Riweuh di Bandung Timur
Belakangan, seni ini mulai kalah saing dengan beragam format pertunjukan modern. Meski begitu, Bangreng tidak punah. Ia tetap dipanggil di acara pernikahan, sunatan, dan peringatan kemerdekaan. Sebagai sarana hiburan, ritual, dan pertunjukan, seni Bangreng telah membuktikan ketahanannya.
Pada tahun 2020, Bangreng ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Gelar itu menegaskan peran Bangreng sebagai ikon budaya Sumedang.
Tapi seperti semua warisan, hidup-matinya bergantung pada generasi muda. Jika tak diwariskan, Bangreng bisa jadi hanya nama dalam dokumen, bukan lagi suara yang hidup di hajatan, bukan gerakan ronggeng yang menari di tanah lapang, bukan shalawat yang menggema di malam panjang.