Blokir WhatsApp (Ritual Digital dalam Relasi Sosial)

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Kamis 02 Okt 2025, 12:08 WIB
Blokir WhatsApp. Satu klik sederhana, dan seluruh akses komunikasi pun ditutup. (Sumber: Pexels/Image Hunter)

Blokir WhatsApp. Satu klik sederhana, dan seluruh akses komunikasi pun ditutup. (Sumber: Pexels/Image Hunter)

Kita semua pernah marah. Entah pada teman, pasangan, bahkan keluarga. Dalam kondisi seperti itu, tidak semua orang memilih berteriak atau adu argumen. Ada yang justru memilih diam. Diam ini bukan tanpa makna, ia adalah bentuk komunikasi nonverbal yang menyampaikan pesan penolakan tanpa perlu kata-kata.

Dalam komunikasi tatap muka, sikap ini dikenal dengan istilah silent treatment. Diam menjadi strategi untuk menghindar, menegur, bahkan menghukum lawan bicara tanpa kata-kata. Pesan yang disampaikan sederhana “Aku tidak ingin bicara denganmu sekarang.” Psikolog komunikasi menjelaskan bahwa silent treatment adalah strategi kontrol emosional dalam relasi interpersonal (Guerrero, Andersen, & Afifi, 2017).

Namun, di era digital, silent treatment bergeser bentuk. Misalnya di WhatsApp, tidak cukup diam, atau berhenti membalas pesan, karena jejak digital kita tetap terbaca, seperti last seen, status “online,” centang biru, foto profil, hingga unggahan status WhatsApp. Jika hanya diam bisa saja disalahartikan, bisa dianggap sibuk, sengaja mengabaikan, atau bahkan masih peduli tapi belum sempat membalas. Maka muncul solusi ekstrem, yaitu blokir WhatsApp. Satu klik sederhana, dan seluruh akses komunikasi pun ditutup.

Fenomena memblokir teman atau kenalan di WhatsApp jelas bukan sekadar soal teknis aplikasi. Ia adalah bentuk komunikasi baru yang sarat makna sosial. Blokir adalah silent treatment digital, bukan hanya menghentikan percakapan, tetapi benar-benar menghapus kehadiran seseorang dari ruang komunikasi pribadi.

Menariknya, tindakan ini bukan hanya soal psikologi antarindividu, melainkan juga bagian dari budaya digital dan logika masyarakat jejaring yang kini kita hidupi.

Silent Treatment: Dari Tatap Muka ke Digital

Silent treatment dalam konteks komunikasi tatap muka sudah lama dikenal sebagai bentuk pasif-agresif. Ia sering dipakai untuk menghindari konflik terbuka, memberi jeda, atau bahkan menghukum lawan bicara. Penelitian komunikasi interpersonal menunjukkan bahwa diam bisa berfungsi sebagai strategi kuasa, meski di sisi lain sering memperburuk konflik (Guerrero et al., 2017).

Di era digital, bentuk silent treatment mengalami transformasi. Diam di ruang percakapan saja tidak lagi efektif, sebab teknologi terus menampilkan “jejak kehadiran” kita. Bahkan sekadar membuka aplikasi tanpa membalas pesan bisa dianggap sinyal tertentu, misalnya acuh, sibuk, atau sengaja menghindar. Dengan kata lain, media digital mempersulit praktik diam karena keterlihatan (visibility) menjadi bagian dari ekosistem komunikasi (Baym, 2015).

Di sinilah blokir muncul sebagai bentuk silent treatment paling tegas. Tidak ada lagi ruang tafsir ganda. Pesan tak terkirim, foto profil hilang, status tak bisa dilihat. Diam berubah menjadi pemutusan total. Jika dalam komunikasi tatap muka orang masih bisa membaca ekspresi wajah atau bahasa tubuh, dalam komunikasi digital yang tersisa hanya ruang kosong. Dalam konteks ini, teknologi memperkeras bentuk diam, membuatnya mutlak, seseorang ada, atau sepenuhnya tiada.

Blokir sebagai Ritual Media

Untuk memahami fenomena ini lebih jauh, kita bisa memakai perspektif budaya. Nick Couldry (2003) memperkenalkan konsep ritual media, gagasan bahwa aktivitas kita berinteraksi dengan media bukan sekadar teknis, melainkan sarat makna simbolik. Menonton berita di televisi, mengecek Instagram setiap pagi, atau menonton YouTube menjelang tidur bisa dibaca sebagai ritual yang membentuk rasa keterhubungan sosial.

Blokir WhatsApp pun bisa dipahami dengan kacamata yang sama. Ia bukan sekadar fitur aplikasi, tetapi juga tindakan simbolik yang mengandung pesan sosial. Ketika seseorang memblokir, ia sebenarnya sedang menjalankan ritual pemisahan, menegaskan batas, menjaga privasi, atau mengirim sinyal penolakan yang tegas.

Bagi sebagian orang, blokir bisa menjadi ritual self-care digital. Dengan memblokir, mereka menciptakan ruang tenang di tengah banjir pesan atau konflik yang menguras energi. Namun bagi yang diblokir, ritual ini bisa terasa sebagai pengusiran simbolik dari ruang kedekatan digital. Artinya, blokir bukan hanya keputusan personal, melainkan juga praktik budaya yang memberi makna pada relasi sosial di era digital.

Blokir dalam Masyarakat Jejaring

Literasi digital membantu mereka memahami cara kerja media sosial. (Sumber: Pexels/Akhil Antony)
Literasi digital membantu mereka memahami cara kerja media sosial. (Sumber: Pexels/Akhil Antony)

Sosiolog Manuel Castells (2000) menjelaskan bahwa kita hidup di dalam network society, masyarakat jejaring. Dalam masyarakat ini, relasi sosial, ekonomi, dan politik diatur oleh jaringan informasi. Kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh kepemilikan fisik, tetapi oleh kemampuan mengontrol arus komunikasi.

Dalam kerangka ini, tindakan memblokir WhatsApp bisa dilihat sebagai praktik kecil dari kuasa dalam jaringan. Dengan satu klik, seseorang bisa mengendalikan akses orang lain pada informasi dirinya. Yang diblokir kehilangan pintu masuk, tidak bisa lagi melihat status, foto, atau aktivitas online. Dalam istilah Castells, ini adalah bentuk exclusion, dimana seseorang dikeluarkan dari node jaringan personal.

Blokir juga mencerminkan logika asimetris dalam relasi digital. Orang yang memblokir memegang kontrol penuh, ia bisa membuka blokir kapan saja. Sementara yang diblokir berada pada posisi pasif, kehilangan akses tanpa bisa berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bagaimana jaringan digital tidak selalu egaliter, tetapi penuh relasi kuasa mikro yang sehari-hari kita jalankan tanpa sadar.

Paradoks Budaya Digital: Antara Terhubung dan Terputus

Fenomena blokir juga menyingkap paradoks budaya digital. Di satu sisi, kita hidup dalam era hiper-koneksi, di mana semua orang bisa dihubungi kapan saja. Namun di sisi lain, justru karena terlalu terhubung, kita sering merasa kewalahan. Blokir lalu menjadi jalan pintas untuk menyeimbangkan hidup, sebuah cara mengatur ulang intensitas komunikasi.

Sherry Turkle (2011) menyebut fenomena ini sebagai alone together. Kita selalu terkoneksi dengan banyak orang, tetapi sering merasa kesepian atau terjebak. Blokir bisa dipahami sebagai upaya merebut kembali ruang personal, sebuah cara untuk menciptakan jarak di dunia yang terus memaksa kedekatan.

Di titik ini, blokir bukan sekadar fungsi teknis, tetapi juga bahasa sosial baru. Jika dulu diam atau menjauh dianggap cukup untuk menunjukkan ketidaksetujuan, kini tidak melakukan blokir bisa ditafsir sebagai tanda masih ada ruang komunikasi. Dengan kata lain, blokir sudah menjadi norma dalam etika digital, cara tegas untuk menyampaikan sikap tanpa kata-kata.

Refleksi: Apa Makna Sebenarnya?

Pertanyaannya kemudian, apa yang sebenarnya kita cari ketika menekan tombol blokir? Apakah ini benar-benar menyelesaikan konflik, atau hanya menunda percakapan yang sulit?

Bagi sebagian orang, blokir adalah bentuk pertahanan diri. Ia memberi jeda, ruang aman, atau ketenangan batin. Tapi bagi sebagian lain, blokir bisa terasa sebagai bentuk penolakan total yang menyakitkan. Artinya, blokir menyimpan ambivalensi, di satu sisi ia melindungi, di sisi lain ia melukai.

Dari perspektif budaya, blokir menunjukkan bagaimana teknologi mengubah cara kita memahami relasi. Persahabatan, pertengkaran, hingga perpisahan kini bisa terjadi lewat satu klik. Tindakan yang tampak sederhana ternyata menyimpan konsekuensi sosial yang dalam.

Fenomena blokir WhatsApp memperlihatkan bahwa diam tidak lagi sekadar strategi personal, melainkan bagian dari budaya digital yang membentuk cara kita mengelola konflik. Ia adalah tanda bahwa di tengah derasnya arus pesan dan percakapan, tetap berhak menentukan batas. (*)

Referensi

  • Baym, N. K. (2015). Personal connections in the digital age (2nd ed.). Polity Press.
  • Castells, M. (2000). The rise of the network society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
  • Couldry, N. (2003). Media rituals: A critical approach. Routledge.
  • Guerrero, L. K., Andersen, P. A., & Afifi, W. A. (2017). Close encounters: Communication in relationships (5th ed.). SAGE.
  • Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Mencari Tuhan di Layar Ponsel

Mayantara 20 Jul 2025, 11:57 WIB
Mencari Tuhan di Layar Ponsel

News Update

Ayo Netizen 21 Nov 2025, 17:02 WIB

Mewujudkan Kota Bandung yang Ramah bagi Wisata Pedestrian

Trotoar-trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pedestrian beralih fungsi menjadi tempat parkir kendaraan, khususnya roda dua.
Pengerjaan revitalisasi trotoar di sepanjang Jalan Lombok Kota Bandung pada Jumat, 26 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 16:43 WIB

Sanghyang Kenit: Surga Wisata Alam Bandung Barat, Tawarkan Banyak Wahana dalam Satu Destinasi

Salah satu destinasi yang semakin populer adalah Sanghyang Kenit, sebuah kawasan wisata alam yang terletak di Cisameng, Kecamatan Cipatat.
tebing batu unik di Sanghyang Kenit yang dialiri arus sungai deras, menciptakan pemandangan alam yang khas dan menarik perhatian pengunjung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Nada Ratu Nazzala)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 16:13 WIB

Bukan Sekadar Gaya Hidup, Work From Cafe jadi Penunjang Produktivitas Kalangan Muda

Work from Café (WFC) menawarkan suasana baru untuk mengatasi kejenuhan dalam bekerja.
Salah satu mahasiswa sedang mengerjakan tugas di salah satu Café di Kota Bandung (30/10/2025) (Foto: Syifa Givani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 16:04 WIB

Kisah Jajanan Sore 'Anget Sari' yang Dekat dengan Mahasiswa

Kisah Anget Sari, lapak gorengan di Sukapura yang dikenal karena mendoan hangat, bahan segar, dan pelayanan ramah.
Suasana hangat di lapak Anget Sari saat pemilik menyajikan gorengan untuk pelanggan, di Kampung Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Bandung, Selasa (28/10/2025) (Sumber: Nailah Qurratul Aini | Foto: Nailah Qurratul Aini)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:41 WIB

UMKM Tahura Bandung Tumbuh Bersama di Tengah Perubahan Kawasan Wisata

Mengkisahkan tentang seorang pedagang pentol kuah yang ikut tumbuh bersama dengan berkembangnya kawasan wisata alam Tahura
Seorang pedagang sedang menjaga warungnya di Kawasan wisata tahura, (25/10/25) (Foto: M. Hafidz Al Hakim)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:21 WIB

Fenomena Turisme Bandung: Pesona Edukatif dan Konservatif di Lembang Park & Zoo

Lembang Park & Zoo menghadirkan wisata edukatif dan konservatif di Bandung.
Siap berpetualang di Lembang Park & Zoo! Dari kampung satwa sampai istana reptil, semua seru buat dikunjungi bareng keluarga (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Adil Rafsanjani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:10 WIB

Pengalaman Rasa yang Tidak Sesuai dengan Ekspektasi

Hunting kuliner memang tidak selalu berbuah dengan rasa yang lezat, beberapa di antaranya rasa yang tidak sesuai dengan review dan harga yang sangat fantastis.
Hunting kuliner memang tidak selalu berbuah dengan rasa yang lezat, beberapa di antaranya rasa yang tidak sesuai dengan review dan harga yang sangat fantastis (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 14:49 WIB

Scroll Boleh, Meniru Jangan, Waspada Memetic Violence!

Saatnya cerdas dan bijak bermedsos, karena satu unggahan kita hari ini bisa membawa pengaruh besar bagi seseorang di luar sana.
Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 13:02 WIB

Hangatnya Perpaduan Kopi dan Roti dari Kedai Tri Tangtu

Roti Macan dimulai dari ruang yang jauh lebih kecil dan jauh lebih sunyi, yaitu kedai kopi.
Kedai kecil itu menciptakan suasana hangat dari aroma Roti Macan pada hari Selasa (04/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Wafda Rindhiany)
Ayo Jelajah 21 Nov 2025, 11:17 WIB

Sejarah Soreang dari Tapak Pengelana hingga jadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung

Sejarah Soreang dari tempat persinggahan para pengelana hingga menjelma pusat pemerintahan modern Kabupaten Bandung.
Menara Sabilulunga, salah satu ikon baru Soreang. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Jelajah 21 Nov 2025, 11:16 WIB

Sejarah Black Death, Wabah Kematian Perusak Tatanan Eropa Lama

Sejarah wabah Black Death yang menghancurkan Eropa pada awal abad ke-14, menewaskan sepertiga penduduk, dan memicu lahirnya tatanan baru.
Lukisan The Triumph of Death dari Pieter Bruegel (1562) yang terinspirasi dari Black Death. (Sumber: Wikipedia)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 10:17 WIB

History Cake Bermula dari Kos Kecil hingga Jadi Bagian 'Sejarah Manis' di Bandung

History Cake dimulai dari kos kecil pada 2016 dan berkembang lewat Instagram.
Tampilan area display dan kasir History Cake yang menampilkan beragam Korean cake dan dessert estetik di Jalan Cibadak, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. (30/10/2025) (Sumber: Naila Husna Ramadhani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 09:29 WIB

Dari Tiktok ke Trotoar, ‘Iseng’ Ngumpulin Orang Sekota untuk Lari Bareng

Artikel ini menjelaskan sebuah komunitas lari yang tumbuh hanya iseng dari Tiktok.
Pelari berkumpul untuk melakukan persiapan di Jl. Cilaki No.61, Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, pada Sabtu pagi 15 November 2025 sebelum memulai sesi lari bersama. (Sumber: Rafid Afrizal Pamungkas | Foto: Rafid Afrizal Pamungkas)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 08:06 WIB

Giri Purwa Seni Hadirkan Kecapi Suling sebagai Pelestarian Kesenian Tradisional Sunda

Giri Purwa Seni di Cigereleng menjaga warisan kecapi suling melalui produksi, pelatihan, dan pertunjukan.
Pengrajin Giri Purwa Seni menampilkan seperangkat alat musik tradisional berwarna keemasan di ruang pamer Giri Purwa Seni, Jl. Soekarno Hatta No. 425, Desa Cigereleng, Astana Anyar, Karasak, pada Senin, 10 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Biz 20 Nov 2025, 21:19 WIB

Desa Wisata Jawa Barat Menumbuhkan Ekonomi Kreatif dengan Komitmen dan Kolaborasi

Desa wisata di Jawa Barat bukan sekadar destinasi yang indah, namun juga ruang ekonomi kreatif yang menuntut ketekunan, komitmen, dan keberanian untuk terus berinovasi.
Upacara Tutup Tahun Kampung Cireundeu, Merawat Tradisi dan Syukur Kepada Ibu Bumi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 20:18 WIB

Ngaruat Gunung Manglayang, Tradisi Sakral Menjaga Harmoni Alam dan Manusia

Ngaruat Gunung Manglayang adalah tradisi tahunan untuk menghormati alam.
Warga adat melakukan ritual ruatan di kaki Gunung Manglayang sebagai bentuk ungkapan syukur dan doa keselamatan bagi alam serta masyarakat sekitar.di Gunung Manglayang, Cibiru, Bandung 20 Maret 2025 (Foto: Oscar Yasunari)
Ayo Biz 20 Nov 2025, 18:23 WIB

Desa Wisata, Ekonomi Kreatif yang Bertumbuh dari Akar Desa

Desa wisata, yang dulu dianggap sekadar pelengkap pariwisata, kini menjelma sebagai motor ekonomi kreatif berbasis komunitas.
Wajah baru ekonomi Jawa Barat kini tumbuh dari desa. Desa wisata, yang dulu dianggap sekadar pelengkap pariwisata, kini menjelma sebagai motor ekonomi kreatif berbasis komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 17:21 WIB

Lenggak-lenggok Jaipong di Tengah Riuh Bandung dan Pesona Tradisi

Tari Jaipong tampil memukau di West Java Festival 2025. Gerak enerjik dan musik riuh membuat penonton antusias.
Penampilan tari Jaipong menghiasi panggung West Java Festival 2025 dengan gerakan energik yang memukau penonton, Minggu (9/11/2025). (Sumber: Selly Alifa | Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 17:07 WIB

Curug Pelangi Punya Keindahan Ikonik seperti di Luar Negeri

Wisata alam Bandung memiliki banyak keunikan, Curug Pelangi punya ikon baru dengan pemandangan pelangi alami.
Pelangi asli terlihat jelas di wisata air terjun Curug Pelangi, Kabupaten Bandung Barat (2/11/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Tazkiya Hasna Putri S)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 16:55 WIB

Wayang Golek Sindu Parwata Gaungkan Pelestarian Budaya Sunda di Manjahlega

Pagelaran Wayang Golek Sindu Parwata di Manjahlega gaungkan pelestarian budaya Sunda dan dorong generasi muda untuk mencintai budaya lokal sunda.
Suasana pagelaran Wayang Golek di Kelurahan Manjahlega, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, Jumat (5/9/2025), di halaman Karang Taruna Caturdasa RW 14. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Ayu Amanda Gabriela)