Demi memahami keunikan pesantren, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pernah memberikan alternatif pengantar dengan melihat pesantren sebagai subkultur (1974).
Ketika Gus Dur menuliskan gagasan tersebut, ia mengeluhkan bahwa tidak banyak akademisi atau peneliti yang mengangkat tema pesantren padahal institusi tradisi ini adalah sebuah entitas kultural yang memiliki "ruhnya sendiri" (spirit de corps) yang bertahan melampaui perubahan zaman.
Berpuluh tahun berlalu, pesantren tidak lagi sepi dari pandangan ia bahkan membanjiri jagat media sosial kita. Tentu saja berbagai pandangan muncul namun yang paling sering mengemuka di hari-hari terakhir ini alah praktik feodalisme dan perbudakan di pesantren.
Jika kita merunut sejarah panjang feodalisme, maka setidak-tidaknya ia merupakan rangkuman dari taut-kelindan empat faktor; raja, tuan tanah (lord), ksatria (vassal), dan budak (serf). Keempat golongan ini menjalin sebuah sistem sosial, politik, dan ekonomi yang hierarkis.
Sebagaimana namanya, secara etimologi, hubungan sistem ini didasarkan pada feodum (tanah). Raja membagikan tanah dan kekuasannya pada para bangsawan (lord) atas kesetian (homage) yang diberikan, terutama bantuan paramiliter (vassal).
Jadi sejak awal, agaknya, tudingan feodalisme pada praktik cium tangan (atau bahkan membungkuk) pada kiai harus kita pertimbangkan ulang. Dalam tradisi pesantren tidak ada feodum (atau semacamnya) yang dibagikan atau digarap sebagai syarat kesetiaan. Pun demikian dengan kehadiran ksatria/vassal yang menjaga loyalitas mutlak.
Sebaliknya, loyalitas (yang dimaknai sebagai khidmah di kalangan santri) diberikan secara sukarela. Khidmah adalah sebuah konsep pengabdian yang berakar dari adagium pesantren: "Al-ilmu bi at-ta'allum, wal barakah bi al-khidmah" (Ilmu diperoleh dengan belajar, dan keberkahan diperoleh dengan pengabdian).
Jikapun harus digali lebih dalam, alasan mendasar penghormatan santri pada kiai, tiada lain selain alasan ilmu semata (epistemologi spiritual). Karena sebagian besar ilmu pengetahuan yang diajarkan di pesantren bersifat ukhrowi (bermuatan agama) maka penghormatan kerap diekspresikan segenap hati sebagai taâdhim (pemuliaan agung) terhadap ilmu itu sendiri, bukan kepada pribadi kiai sebagai individu berkuasa.
Kendati demikian, kesetiaan atau loyalitas ini tidaklah bersifat mutlak. Santri selalu memiliki opsi untuk keluar dari pesantren jika merasa tidak betah. Berbeda dengan budak yang tidak diberikan kebebasan keluar dari sistem; santri memiliki kehendak penuh untuk hidup dalam nilai-nilai kepesantrenannya atau keluar dari lembaganya.
Bahkan di pesantren santri justru dipaksa keluar jika tidak mematuhi nilai-nilai yang dimiliki pesantren. Semua tindak-tanduk di pesantren kerap bernilai sakral. Nyaris tak ada yang bermakna profan belaka. Jika ada, maka sungguh minim. Hal ini bisa dilihat dari keseharian santri dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Aktivitas santri nyaris hanya bertautan dengan ilmu pengetahuan (pengajian). Sebab inilah yang menguatkan loyalitas santri atas pesantren dan kiai.

Memang, Clifford Geertz (1960) pernah membandingkan posisi kiai dengan bangsawan feodal dalam masyarakat Jawa. Namun, Geertz sendiri melihat kiai sebagai ulil amriâpemimpinâyang otoritasnya berjangkar pada ilmu (al-'ilm) dan kekuatan spiritual (al-quwwat), sebagaimana hikayat kepemimpinan dalam Quran (QS Al-Baqarah: 247).
Otoritas kiai tidak sama dengan raja yang melegitimasi kekuasaan melalui hak tanah, kiai membangun pesantren melalui ijazah keilmuan yang dibuktikan dengan kesahihan sanad. Kepatuhan santri adalah manifestasi dari prinsip tawadhu (rendah hati) yang luhur di depan ilmu pengetahuan, bukan ketakutan buta.
Jika hanya melihat relasi kiai-santri dari kacamata feodalisme, kita bukan hanya terkungkung oleh pemaksaan pandangan egaliter, tapi juga keluar dari kritisisme yang sehat dan tersekap oleh pandangan monolitik yang dangkal. Feodalisme, dalam pengertiannya yang kuno, mensyaratkan pelanggengan kekuasaan berdasarkan darah dan status bangsawan. Padahal, pesantren seringkali mempraktikkan meritokrasi berbasis ilmu dan adab.
Melihat pesantren yang amat banyak dan beragam, nampaknya akan lebih bijak jika memandang pesantren sebagai gradasi. Tafsir kita atas keberagaman pesantren akan lebih utuh jika melihatnya sebagai keberagaman dalam analogous colors (roda warna). Melihat pesantren memiliki gradasi warna yang berbeda dalam satu monokromatik yang sama. Meski memiliki nilai universal namun pesantren tak selalu seragam. Menggeneralisir satu fenomena negatif untuk menilai semua pesantren bukan hanya salah namun merupakan kekeliruan berjamaah.
Perbedaan feodalisme Eropa (terutama Eropa Barat) dengan institusi pesantren adalah pada muara dari nilai-nilai yang menghidupinya.
Jika feodalisme berfondasi pada kepemilikan tanah yang bersifat materil maka pesantren hanya berorientasi pada nilai-nilai reiligius dan spiritual sebagai ujungnya. Hanya keridhoan Allah (mardhotillah) muara dari segenap aktivitas pesantren. Meski tentu kita menemukan pengecualian untuk sikap-sikap amoral yang memanfaatkan diri sebagai "aparatus" pesantren. Tetap ada oknum-oknum yang memanfaatkan tata-nilai pesantren untuk memuluskan relasi kuasanya.
Untuk kasus ini tentu pesantren harus terus terbuka dan berbenah diri. Bahwa hanya legitimasi keilmuan yang patut mendapat penghormatan.
Memperingati Hari Santri (22 Oktober) mestinya membuat semua pihak lebih mawas diri bahwa melihat pesantren tidak pernah bisa sesederhana melihat sekolah formal di setiap daerah. Meski tidak sepenuhnya ditolak, tapi pandangan masyarakat modernis "kritis" yang mempertanyakan praktik-praktik di pesantren yang dianggap feodal (cium tangan dan membungkuk) juga mesti dipertanyakan balik.
Seperti yang dikemukakan Ismail Fajrie Alatas (2025), sudahkah kalangan modernis/liberal memahami betul kerumitan dan kompleksitas kehidupan dalam sebuah tradisi (pesantren)? Mengapa sebuah pemikiran merasa bebas dari bias dan berhak menghakimi dan mengkritisi tardisi-tradisi lain? Mengapa kita "sebagai tradisi timur" selalu menjadi "pelayan" bagi semua standar aturan, nilai, dan moralitas barat? Apakah karena mereka "tercerahkan" sehingga berhak menjadikan semua yang lain sebagai objek? Siapakah lantas yang berhak menentukan sebagai "tercerahkan" dan "tidak tercerahkan" sehingga memiliki otoritas untuk menjadikan yang lain sebagai objek dari standar nilai dan moralitas yang dibawa? Mengapa yang satu berhak memaksakan kehendaknya kepada yang lain? (*)