Menakar Ulang Feodalisme Pesantren

Salehudin
Ditulis oleh Salehudin diterbitkan Rabu 22 Okt 2025, 10:10 WIB
Ilustrasi santri yang sedang belajar di pesantren. (Sumber: Pexels/Mufid Majnun)

Ilustrasi santri yang sedang belajar di pesantren. (Sumber: Pexels/Mufid Majnun)

Demi memahami keunikan pesantren, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pernah memberikan alternatif pengantar dengan melihat pesantren sebagai subkultur (1974).

Ketika Gus Dur menuliskan gagasan tersebut, ia mengeluhkan bahwa tidak banyak akademisi atau peneliti yang mengangkat tema pesantren padahal institusi tradisi ini adalah sebuah entitas kultural yang memiliki "ruhnya sendiri" (spirit de corps) yang bertahan melampaui perubahan zaman.

Berpuluh tahun berlalu, pesantren tidak lagi sepi dari pandangan ia bahkan membanjiri jagat media sosial kita. Tentu saja berbagai pandangan muncul namun yang paling sering mengemuka di  hari-hari terakhir ini alah praktik feodalisme dan perbudakan di pesantren.

Jika kita merunut sejarah panjang feodalisme, maka setidak-tidaknya ia merupakan rangkuman dari taut-kelindan empat faktor; raja, tuan tanah (lord), ksatria (vassal), dan budak (serf). Keempat golongan ini menjalin sebuah sistem sosial, politik, dan ekonomi yang hierarkis. 

Sebagaimana namanya, secara etimologi, hubungan sistem ini didasarkan pada feodum (tanah). Raja membagikan tanah dan kekuasannya pada para bangsawan (lord) atas kesetian (homage) yang diberikan, terutama bantuan paramiliter (vassal).

Jadi sejak awal, agaknya, tudingan feodalisme pada praktik cium tangan (atau bahkan membungkuk) pada kiai harus kita pertimbangkan ulang. Dalam tradisi pesantren tidak ada feodum (atau semacamnya) yang dibagikan atau digarap sebagai syarat kesetiaan. Pun demikian dengan kehadiran ksatria/vassal yang menjaga loyalitas mutlak. 

Sebaliknya, loyalitas (yang dimaknai sebagai khidmah di kalangan santri) diberikan secara sukarela. Khidmah adalah sebuah konsep pengabdian yang berakar dari adagium pesantren: "Al-ilmu bi at-ta'allum, wal barakah bi al-khidmah" (Ilmu diperoleh dengan belajar, dan keberkahan diperoleh dengan pengabdian).

Jikapun harus digali lebih dalam, alasan mendasar penghormatan santri pada kiai, tiada lain selain alasan ilmu semata (epistemologi spiritual). Karena sebagian besar ilmu pengetahuan yang diajarkan di pesantren bersifat ukhrowi (bermuatan agama) maka penghormatan kerap diekspresikan segenap hati sebagai ta’dhim (pemuliaan agung) terhadap ilmu itu sendiri, bukan kepada pribadi kiai sebagai individu berkuasa.

Kendati demikian, kesetiaan atau loyalitas ini tidaklah bersifat mutlak. Santri selalu memiliki opsi untuk keluar dari pesantren jika merasa tidak betah. Berbeda dengan budak yang tidak diberikan kebebasan keluar dari sistem; santri memiliki kehendak penuh untuk hidup dalam nilai-nilai kepesantrenannya atau keluar dari lembaganya.

Bahkan di pesantren santri justru dipaksa keluar jika tidak mematuhi nilai-nilai yang dimiliki pesantren. Semua tindak-tanduk di pesantren kerap bernilai sakral. Nyaris tak ada yang bermakna profan belaka. Jika ada, maka sungguh minim. Hal ini bisa dilihat dari keseharian santri dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Aktivitas santri nyaris hanya bertautan dengan ilmu pengetahuan (pengajian). Sebab inilah yang menguatkan loyalitas santri atas pesantren dan kiai. 

Kegiatan setoran hafalan Quran Santri Cianjur. (Sumber: Yayasan Huda Cendekia)
Kegiatan setoran hafalan Quran Santri Cianjur. (Sumber: Yayasan Huda Cendekia)

Memang, Clifford Geertz (1960) pernah membandingkan posisi kiai dengan bangsawan feodal dalam masyarakat Jawa. Namun, Geertz sendiri melihat kiai sebagai ulil amri—pemimpin—yang otoritasnya berjangkar pada ilmu (al-'ilm) dan kekuatan spiritual (al-quwwat), sebagaimana hikayat kepemimpinan dalam Quran (QS Al-Baqarah: 247).

Otoritas kiai tidak sama dengan raja yang melegitimasi kekuasaan melalui hak tanah, kiai membangun pesantren melalui ijazah keilmuan yang dibuktikan dengan kesahihan sanad. Kepatuhan santri adalah manifestasi dari prinsip tawadhu (rendah hati) yang luhur di depan ilmu pengetahuan, bukan ketakutan buta.

Jika hanya melihat relasi kiai-santri dari kacamata feodalisme, kita bukan hanya terkungkung oleh pemaksaan pandangan egaliter, tapi juga keluar dari kritisisme yang sehat dan tersekap oleh pandangan monolitik yang dangkal. Feodalisme, dalam pengertiannya yang kuno, mensyaratkan pelanggengan kekuasaan berdasarkan darah dan status bangsawan. Padahal, pesantren seringkali mempraktikkan meritokrasi berbasis ilmu dan adab.

Melihat pesantren yang amat banyak dan beragam, nampaknya akan lebih bijak jika memandang pesantren sebagai gradasi. Tafsir kita atas keberagaman pesantren akan lebih utuh jika melihatnya sebagai keberagaman dalam analogous colors (roda warna). Melihat pesantren memiliki gradasi warna yang berbeda dalam satu monokromatik yang sama. Meski memiliki nilai universal namun pesantren tak selalu seragam. Menggeneralisir satu fenomena negatif untuk menilai semua pesantren bukan hanya salah namun merupakan kekeliruan berjamaah.

Perbedaan feodalisme Eropa (terutama Eropa Barat) dengan institusi pesantren adalah pada muara dari nilai-nilai yang menghidupinya.

Jika feodalisme berfondasi pada kepemilikan tanah yang bersifat materil maka pesantren hanya berorientasi pada nilai-nilai reiligius dan spiritual sebagai ujungnya. Hanya keridhoan Allah (mardhotillah) muara dari segenap aktivitas pesantren. Meski tentu kita menemukan pengecualian untuk sikap-sikap amoral yang memanfaatkan diri sebagai "aparatus" pesantren. Tetap ada oknum-oknum yang memanfaatkan tata-nilai pesantren untuk memuluskan relasi kuasanya.

Untuk kasus ini tentu pesantren harus terus terbuka dan berbenah diri. Bahwa hanya legitimasi keilmuan yang patut mendapat penghormatan.

Memperingati Hari Santri (22 Oktober) mestinya membuat semua pihak lebih mawas diri bahwa melihat pesantren tidak pernah bisa sesederhana melihat sekolah formal di setiap daerah. Meski tidak sepenuhnya ditolak, tapi pandangan masyarakat modernis "kritis" yang mempertanyakan praktik-praktik di pesantren yang dianggap feodal (cium tangan dan membungkuk) juga mesti dipertanyakan balik.

Seperti yang dikemukakan Ismail Fajrie Alatas (2025), sudahkah  kalangan modernis/liberal memahami betul kerumitan dan kompleksitas kehidupan dalam sebuah tradisi (pesantren)? Mengapa sebuah pemikiran merasa bebas dari bias dan berhak menghakimi dan mengkritisi tardisi-tradisi lain? Mengapa kita "sebagai tradisi timur" selalu menjadi "pelayan" bagi semua standar aturan, nilai, dan moralitas barat? Apakah karena mereka "tercerahkan" sehingga berhak menjadikan semua yang lain sebagai objek? Siapakah lantas yang berhak menentukan sebagai "tercerahkan" dan "tidak tercerahkan" sehingga memiliki otoritas untuk menjadikan yang lain sebagai objek dari standar nilai dan moralitas yang dibawa? Mengapa yang satu berhak memaksakan kehendaknya kepada yang lain? (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Salehudin
Tentang Salehudin
Dosen ISBI Bandung, Peminat Bahasa dan Budaya
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 22 Okt 2025, 21:06 WIB

Setahun Pendidikan Bermakna, Menanam Peradaban Lewat Tindakan Nyata

Menyoroti langkah Kemendikdasmen dalam membangun peradaban melalui kebijakan yang berdampak nyata bagi generasi muda.
Foto mengajar di SD Tewang Kadamba, Kalteng. (Foto: Eka)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 20:30 WIB

Membangun Wisata yang Tak Merusak tapi Menghidupkan Alam dan Budaya Lokal

Di tengah tekanan kerja dan digitalisasi, banyak orang mencari pelarian ke alam. Tapi bukan sekadar alam liar, mereka menginginkan pula kenyamanan, estetika, dan pengalaman.
Di tengah gempuran wisata urban dan digital, LGE tetap mengusung semangat pelestarian budaya lokal Sunda, mulai dari nama tempat, makanan tradisional, hingga permainan rakyat. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB

Enam Akar Asal-usul Agama

Jauh sebelum berdiri gereja, kuil, atau masjid, manusia telah lebih dulu menatap langit, gunung, petir, dan kematian dengan perasaan yang campur aduk.
The Histomap of Religion: The Story of Man’s Search for Spiritual Unity (John B. Sparks, 1952) (Sumber: UsefulCharts, https://www.youtube.com/watch?v=5EBVuToAaFI) | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 19:17 WIB

Gastrokolonialisme: Pelajaran Pangan dari Hawaii untuk Indonesia

Tanpa kita sadari justru kita masih dijajah secara halus lewat orientasi pangan lokal yang semakin tergantikan dengan kampanye makanan olahan
Mengutip dari Sebumi, sebab pada akhirnya  perjuangan melawan kelaparan bukan sekedar mengisi perut, melainkan mengembalikan martabak di meja makan kita sendiri (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 18:44 WIB

Pasar Syariah Belum Kompetitif? Begini Tantangan dan Solusi Investasi Islam di Indonesia

Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar.
Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 17:04 WIB

Review Anime 'Chainsaw Man The Movie: Reze Arc', Romantisme dan Aksi dalam Visual Memukau

Film animasi produksi studio MAPPA yaitu "Chainsaw Man The Movie: Reze Arc" mengguncang layar lebar dengan cerita dan visual yang bagus.
Poster film Chainsaw Man The Movie: Reze Arc (Sumber: imdb.com)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 16:31 WIB

Gowes Bukan Gaya-gayaan: Sepeda Bisa Jadi Solusi Urban Sustainability di Bandung

Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata.
Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 15:31 WIB

Bandung dan Paradoks Kota Hijau: Potensi Besar yang Belum Tergarap

Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau.
Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau. (Sumber: Unsplash/Ikhsan Assidiqie)
Beranda 22 Okt 2025, 15:10 WIB

Insinerator Digencarkan, Tapi Bukan Solusi Tuntas Atasi Krisis Sampah di Kota Bandung

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, pun mengakui bahwa penggunaan insinerator tak bisa serampangan.
Salah satu insinerator di tempat pembuangan sampah di Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Jelajah 22 Okt 2025, 13:38 WIB

Saat Hacker Bjorka Bikin Polisi Kelimpungan Tiga Kali

Bjorka bikin polisi kelimpungan tiga kali. Dari Cirebon sampai Minahasa, negara sibuk memburu bayangan di layar komputer.
Ilustrasi hacker Bjorka.
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 12:48 WIB

Film Rangga & Cinta: Mengenang Kembali Kisah Romansa Masa Remaja

Film Rangga & Cinta dikemas dengan nuansa awal 2000-an yang autentik.
 Salah satu adegan film Rangga & Cinta (Sumber: X/@habisnontonfilm)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 11:51 WIB

Mengokohkan Sistem Manajemen Kinerja: Pilar Penggerak Profesionalitas ASN

Penguatan sistem manajemen kinerja ASN bukan sekadar urusan teknis, tetapi langkah strategis membangun birokrasi berdampak.
Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: Pemkot Magelang)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 10:10 WIB

Menakar Ulang Feodalisme Pesantren

Esai ini ditulis dalam rangka memperingati hari santri.
Ilustrasi santri yang sedang belajar di pesantren. (Sumber: Pexels/Mufid Majnun)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 09:12 WIB

Selusin 'Fun Fact' buat Kita yang Sering Salah Kaprah Menyama-nyamakan Setiap Agama

Masalahnya, cara pandang itu sering banget dipakai buat bikin dunia agama terlihat rapi dan gampang dipahami.
Buku Pengantar tentang Agama-Agama (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 05:21 WIB

Khalifah di Era Konsumerisme: Menemukan Keseimbangan dengan Menjaga Lingkungan

Modernitas telah membawa manusia hidup dalam era konsumerisme.
Tugas kita hari ini adalah menanam benih peradaban bumi yang hijau. Sekecil apapun itu karena menjaga bumi adalah bagian dari ibadah seorang Hamba kepada Pencipta-Nya. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 20:51 WIB

Menjaga Etika Jurnalistik

Trans7 telah mempertontonkan ketidaktahuannya akan sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan tanpa ada yang protes. 
media harus bekerja keras lagi mencari strategi untuk mendapat respons positif dari masyarakat. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 20:12 WIB

Angkat Tema ‘Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, AMSI Gelar Indonesia Digital Conference (IDC) 2025

IDC mengangkat tema “Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, yang menyoroti pentingnya kedaulatan dan kemandirian industri media dalam menghadapi gelombang transformasi digital berbasis AI.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) kembali menyelenggarakan ajang tahunan Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 di The Hub Epicentrum, Jakarta Selatan. (Sumber: AMSI)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 18:39 WIB

Industri Pariwisata Jawa Barat, Lokomotif Ekonomi yang Menanti Lompatan Strategis

Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran.
Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 17:19 WIB

Rebel Ridge dan Beratnya Mengungkap Penyimpangan Aparat Penegak Hukum

Rebel Ridge menyingkap sisi gelap aparat penegak hukum dan menggambarkan beratnya perjuangan rakyat sipil melawan ketidakadilan.
Poster Rebel Ridge (Sumber: Foto: Netflix Media Center/Poster Rebel Ridge (2024))
Ayo Biz 21 Okt 2025, 16:55 WIB

Menanam Cuan Tanpa Riba: Jalan Panjang Investasi Syariah di Tengah Dinamika Pasar Modern

Investasi telah menjadi strategi penting dalam mengelola pendapatan dan membangun masa depan finansial yang lebih stabil.
Investasi telah menjadi strategi penting dalam mengelola pendapatan dan membangun masa depan finansial yang lebih stabil. (Sumber: Freepik)