AYOBANDUNG.ID - Di tengah ritme Kota Bandung yang terus bergerak, coffee shop menjadi salah satu ruang singgah yang kian lekat dengan keseharian warga. Pada sore hari, sekitar pukul 15.00 hingga menjelang petang, suasana Fuelcoffee, di kawasa Dago Kota Bandung tampak belum terlalu ramai. Beberapa meja terisi, namun masih menyisakan ruang kosong. Aktivitas pengunjung berlangsung tenang, tanpa hiruk pikuk.
Di antara pengunjung yang datang, terlihat perbedaan aktivitas. Ada yang duduk sendiri dengan laptop terbuka, ada pula yang datang berdua dan berbincang pelan. Suasana yang cenderung santai menjadikan coffee shop sebagai tempat singgah bagi warga kota yang ingin beristirahat sejenak atau menyelesaikan pekerjaan.
Kondisi tersebut menjadi pemandangan sehari-hari bagi Jeremy Simon (20), barista di coffee shop tersebut. Ia mengatakan, pengunjung yang datang pada sore hari biasanya memiliki tujuan yang cukup jelas.
“Biasanya kelihatan dari cara datangnya. Kalau sendiri, kebanyakan langsung buka laptop dan fokus kerja atau ngerjain tugas. Kalau rame-rame, biasanya lebih ke ngobrol, tapi tetap santai, nggak berisik,” ujar Jeremy.
Menurutnya, meskipun jumlah pengunjung pada sore hari tidak terlalu banyak, durasi mereka berada di coffee shop cenderung lama. Banyak pelanggan memilih berlama-lama karena suasananya yang mendukung.

“Kalau sore itu orang-orang betah. Bisa sampai tiga jam atau lebih. Mungkin karena suasananya tenang, jadi mereka nyaman buat fokus atau sekadar duduk lama,” katanya.
Jeremy juga melihat perubahan fungsi coffee shop dalam beberapa waktu terakhir. Ruang ini tidak lagi semata menjadi tempat berkumpul, tetapi juga ruang personal bagi sebagian pengunjung.
“Sekarang banyak juga yang datang sendirian. Bukan karena nggak punya temen, tapi emang pengin fokus atau nikmatin waktu sendiri sambil ngopi,” ujarnya.
Pengalaman tersebut dirasakan oleh Jeremy Manuel (20), seorang mahasiswa yang hampir setiap hari datang ke coffee shop. Ia memilih datang pada sore hari karena suasananya lebih tenang dibandingkan malam hari.
“Kalau sore tuh lebih enak. Nggak terlalu ramai, jadi bisa lebih fokus ngerjain tugas. Kalau malam kadang terlalu berisik,” kata Jeremy Manuel.
Saat datang bersama teman, obrolan yang dibahas pun tidak jauh dari keseharian, mulai dari urusan kuliah hingga cerita ringan.
“Ngobrolnya ngalir aja. Kadang bahas tugas, kadang cerita hal-hal sepele. Nggak yang berat, tapi cukup buat refreshing,” ujarnya.
Dalam sepekan, ia bisa datang ke coffee shop hingga lima sampai tujuh kali. Untuk sekali kunjungan, ia mengaku menghabiskan sekitar Rp20 ribu. Bagi Jeremy, pengeluaran tersebut sebanding dengan kenyamanan yang ia dapatkan.
“Menurut gue masih wajar. Soalnya di sini bisa fokus, tapi juga nggak ngerasa sendirian banget,” katanya.
Meski pada jam sore pengunjung yang datang tidak banyak, aktivitas yang berlangsung membuat coffee shop tetap terasa hidup. Laptop-laptop yang menyala, obrolan pelan, dan secangkir kopi menjadi bagian dari denyut keseharian kota.
Fenomena ini menunjukkan bahwa coffee shop di Kota Bandung tidak selalu identik dengan keramaian malam hari. Pada jam-jam sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
