AYOBANDUNG.ID - Di Bandung bagian selatan, tepatnya di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astanaanyar, suara batuk panjang seperti jadi latar belakang keseharian. Batuk yang tak kunjung sembuh. Kadang pelan, kadang disertai dahak yang menyesakkan dada. Dari 500 rumah di kawasan itu, 62 penghuninya telah terkonfirmasi mengidap tuberkulosis (TBC). Sementara 200-an lainnya masih masuk kategori suspek dan dalam pantauan petugas kesehatan.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyebut kondisi ini “khas Bandung.” Kawasan padat, rumah berimpitan, dan drainase yang macet oleh sampah rumah tangga. Udara lembap tanpa sinar matahari yang cukup. “Kami menemukan 62 kasus TBC aktif, dan ada sekitar 200-an suspek yang sedang dipantau,” kata Farhan, dalam kunjungannya, Senin, 13 Oktober 2025.
Ia tak sedang berlebihan. Di Pelindung Hewan, tiap rumah rata-rata dihuni lima orang. Sebagian besar rumah sempit disulap jadi kos-kosan. Dari 500 unit bangunan, 180 di antaranya rumah sewa dan tempat indekos. Dinding antarbangunan nyaris bersentuhan, ventilasi seadanya, udara nyaris tak pernah berganti. “Ini tantangan berat, karena padatnya rumah dan sanitasi yang belum ideal membuat risiko penularan makin besar,” ucap Farhan.
Baca Juga: Keracunan MBG di Bandung Barat, Kronik Tragedi Hidangan Basi di Balik Santapan Bergizi
Di gang-gang kecil yang hanya muat dua orang berjalan berdampingan, udara seolah mengendap. Bila satu orang batuk tanpa menutup mulut, partikel halus dari paru-paru yang mengandung Mycobacterium tuberculosis akan mengambang di udara. Bakteri yang tak kasatmata itu bisa bertahan beberapa jam, menunggu paru-paru baru untuk disinggahi.
Bakteri yang lahir dari napas orang sakit itu seperti tidak mengenal batas. Ia masuk ke paru-paru balita, singgah di tubuh ibu hamil, menempel di dada kakek-kakek yang mengisap rokok kretek di teras rumah. Farhan menyebut, penularan di kawasan ini menjangkiti semua kelompok usia—dari anak-anak hingga lansia. “Tantangannya berat, karena sanitasi yang belum ideal membuat risiko penularan makin besar,” katanya.
Bandung bukan kota yang asing dengan penyakit menular. Tapi TBC seolah tak pernah benar-benar pergi. Dinas Kesehatan Kota Bandung mencatat ada penurunan dari sekitar 18.000 kasus pada 2024 menjadi 6.941 hingga pertengahan 2025. Kepala Dinkes Kota Bandung, Anhar Hadian, ingin kasus TBC ini lenyap total. “Walau cuma satu kasusnya, ya, tetap tinggi. Masa di Kota Bandung masih ada TBC,” katanya.
TBC, penyakit yang dulu dikenal sebagai penyakit miskin, kini tak lagi mengenal kelas sosial. Tapi tetap saja, di permukiman padat seperti Pelindung Hewan, bakteri ini punya panggung sempurna.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis menular lewat udara. Saat penderitanya batuk atau bersin tanpa menutup mulut, ribuan droplet yang mengandung kuman beterbangan. Dalam ruang yang sempit, dengan ventilasi minim, droplet itu bisa melayang-layang lama, lalu dihirup oleh orang lain. Di paru-paru baru, bakteri itu bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Kementerian Kesehatan mencatat, per 27 September 2025, ada lebih dari 600.000 orang di Indonesia yang telah terdeteksi TBC aktif, baru 55% dari target 1,09 juta kasus yang ingin ditemukan tahun ini. Indonesia masih menempati posisi kedua dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak setelah India. Dari angka itu, 14% diderita anak-anak.
Baca Juga: Sampai ke Bandung, Sejarah Virus Hanta Bermula dari Perang Dunia 1
“Untuk pengobatan terapeutik, kita sudah mampu melakukan pengobatan di 90% temuan. Tapi 10% ini lost contact. Mereka tidak kembali untuk mendapatkan pengobatan,” kata Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Murti Utami.
Di Bandung, sebagian penderita bahkan baru tahu dirinya terinfeksi setelah ikut pemeriksaan gratis. “Masih banyak yang belum sadar dirinya TBC. Ketika dironsen, baru ketahuan ada indikasi,” kata Anhar. Ia menambahkan, penemuan kasus yang banyak justru bukan kabar buruk. “Ketika daerah angka TBC-nya tinggi artinya screening bagus. Penemuan bagus. Jadi apabila temuan TBC rendah bisa jadi screening-nya tidak bagus,” ucap Anhar.
Warga yang positif akan langsung diawasi dan diobati oleh tenaga kesehatan setempat. Proses pengobatan TBC memang panjang, bisa enam hingga sembilan bulan, dan harus dijalani tanpa putus. Sekali saja pasien berhenti minum obat, bakteri akan kebal dan menjadi TBC resisten obat, yang jauh lebih sulit disembuhkan.

Di Tengah Padatnya Hidup dan Lambatnya Udara
Di Pelindung Hewan, ruang hidup memang sempit. Gang-gang kecil penuh kabel listrik yang melintang, pipa air menganga di pinggir jalan, dan sumur-sumur dangkal yang berbagi dengan selokan. Sebagian warga menggantung pakaian di jendela, sebagian lainnya menjemur kasur di atap seng. Udara panas bercampur aroma dapur, sabun cuci, dan sesekali bau got.
Lingkungan seperti ini adalah surga bagi TBC. Rumah-rumah yang rapat membuat sinar matahari sulit masuk, padahal sinar ultraviolet bisa membunuh bakteri penyebab TBC di udara. Dalam kondisi lembap, bakteri bisa bertahan lebih lama. Di dalam rumah, anak-anak bermain di lantai yang sama tempat ibunya batuk semalaman.
Korban paling rentannya adalah anak-anak. Tubuh mereka kecil, paru-paru belum matang, sistem kekebalan belum kuat. Ketika mereka tertular, gejalanya sering samar: demam ringan, berat badan stagnan, batuk lama yang tak disadari. Kadang baru diketahui setelah dua bulan ketika tubuh mulai lemah dan benjolan muncul di leher atau ketiak.
Baca Juga: Hadiah Bandung untuk Dunia, Riwayat Kina yang Kini Terlupa
Di puskesmas, petugas kesehatan berjuang melacak rantai penularan. Mereka memeriksa dahak, mengirim sampel ke laboratorium dengan Tes Cepat Molekuler (TCM), dan memberikan obat yang harus diminum enam hingga sembilan bulan tanpa jeda. Satu hari lupa minum obat, bakteri bisa kebal. Saat itu terjadi, yang muncul adalah TBC resisten obat—jenis yang lebih keras kepala, lebih mematikan, dan butuh biaya lebih mahal.
“Target pengobatan TBC resisten obat itu 95%, tapi saat ini baru 75%,” kata Murti Utami. “Sisanya belum bisa diobati karena banyak faktor, mulai dari efek samping obat sampai pasien yang berhenti di tengah jalan.”
TBC bukan hanya penyakit paru-paru. Ia penyakit sosial. Ia lahir dari kemiskinan, tumbuh di ruang sempit, dan menular lewat ketidaktahuan. Ia menyebar karena orang-orang harus tinggal berdesakan, bekerja keras, dan tak punya pilihan lain.
Bandung sendiri menjadi salah satu lokasi uji coba vaksin TBC baru yang dikembangkan perusahaan milik Bill Gates bekerja sama dengan Bio Farma. Namun belum ada kabar anyar dari hasil perkembangan uji coba itu.
Ketika Farhan meninjau Pelindung Hewan, ia juga memerintahkan dinas terkait membersihkan saluran air yang tersumbat di depan kantor kelurahan. Air yang menggenang menjadi simbol lain dari penyakit kota: kotoran yang menumpuk, masalah yang dibiarkan, hingga akhirnya mengendap jadi wabah. “Kita ingin setiap kunjungan bukan cuma memotret masalah, tapi menyelesaikannya di tempat,” ujarnya.
Tapi TBC tak bisa dibereskan dengan sekop dan karung sampah. Ia memerlukan napas panjang: perbaikan sanitasi, ventilasi, pemetaan ulang tata ruang, dan kesadaran warga untuk berobat sampai tuntas.
Di Bandung, udara masih bisa terasa sejuk bila pagi datang. Tapi di gang-gang padat seperti Pelindung Hewan, setiap hembusan napas bisa mengandung ancaman. Wabah ini tak menampakkan wujudnya secara dramatis. Ia hadir diam-diam, dari batuk kecil yang diabaikan, dari kamar lembap yang tak pernah dijemur, dari ruang sempit yang penuh kehidupan.
Baca Juga: Drama Pelarian Macan Tutul Lembang, dari Desa di Kuningan ke Hotel Sukasari
TBC memang tak lagi menjadi epidemi global yang menewaskan jutaan seperti dulu. Tapi di kota yang penuh sesak, di rumah-rumah yang berhimpitan, ia masih hidup, masih menunggu paru-paru baru. Dan selama udara di gang-gang sempit itu tak benar-benar bersih, Bandung masih harus belajar bernapas panjang.