Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?
Pertama kali saya menyadari bahwa para pejabat kita tidak dekat dengan buku adalah ketika melihat wawancara yang dilakukan oleh Najwa Sihab kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam video tersebut Najwa bertanya perihal bagaimana budaya membaca buku diturunkan dari Jokowi dan Iriana selaku orangtua kepada anak-anaknya.
Hmm, susah yah kalau itu. Kalau saya sendiri sih jujur aja orangnya gak suka membaca buku. Hem paling saya ini sukanya baca komik. (dengan suara gemetar dengan pertanyaan Najwa Sihab)
Semenjak video tersebut viral di media sosial banyak konten kreator yang merekomendasikan sejumlah buku bacaan bagi Gibran yang bisa dipraktikan untuk memimpin negara ini.
Salah sartu konten kreator yang menyoroti isu ini adalah @alwijo, dalam video tersebut Alwi menanyakan kepada temannya beberapa rekomendasi buku yang wajib dibaca oleh Gibran diantaranya, pertama, Kronik Penculikan Aktivis 1998 karya Muhidin M.Dahlan agar Gibran tahu gambaran Prabowo itu seperti apa melalui kisah hidupnya. Kedua, Dari Dalam Kubur karya Soe Tjen Marching mengenai tragedi 1998 termasuk pemerkosaan masal supaya bisa debat dengan Fadli Zon. Ketiga, Animal Farm perihal kisah negara yang Gibran pimpin.
Selanjutnya dengan konten yang berbeda, teman Alwi juga merekomendasikan beberapa buku yang wajib dibaca oleh Gibran diantaranya, pertama Creative Writing karya A.S Laksana yang menceritakan segala hal aspek teknis tentang penulisan. Belajar menulis sama dengan belajar menata pikiran dan belajar mengutarakannya kepada orang lain. Kedua, Metode Jakarta karya Vincent Bevins tentang buku yang menjelaskan kearifan lokal yang merupakan soft power projection karena berhasil menembus pasar luar negeri. Ketiga, Politik Jatah Preman tentang bagaimana negara mengkaryakan para ormas salah satunya sebagai subkontraktor kekerasan.
Menjadi ironi ketika pejabat kita lebih gemar pamer kemewahan dibandingkan dengan pamer buku bacaan yang mengubah atau menginspirasi mereka. Bahkan saat kasus penjarahan terjadi hampir tidak ada satu buku pun ditemukan di rumah mewah para pejabat. Bahkan Ahmad Sahroni yang memiliki buku karya sendiri pun tak ditemukan buku bacaan milik orang lain dirumahnya. Padahal menulis itu biasanya terinspirasi dari banyak buku bacaan orang lain.
Menjadi ironi kembali, sebab dari aktivitas membacalah lahir sebuah gagasan yang besar untuk memimpin bangsa atau melahirkan sejumlah kebijakan yang baik dan benar. Bukan gagasan yang reaktif, dangkal dan jangka pendek.
Sebagian masyarakat yang giat mengkampanyekan literasi tanpa diminta pemerintah justru menjadi sebuah kelayakan jika kita bertanya "Jika membaca buku satu saja sulit lantas bagaimana pejabat kita bisa mengelola kompleksitas negara selama memimpin lima tahun masa jabatan? Tidak salah ketika sejumlah kebijakan yang lahir saat ini tidak pernah pro terhadap kondisi rakyat.
Dengan membaca buku maka pejabat kita bisa memiliki wawasan yang luas untuk memperbaiki kondisi negara ini. Buku dapat memberikan perspektif mendalam mengenai berbagai masalah sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dengan membaca buku maka pejabat kita bisa memahami akar masalah dan menemukan solusi yang mungkin saja belum terpikirkan sebelumnya.
Dengan membaca buku pejabat kita bisa meningkatkan daya nalar kritis. Dengan membaca buku bisa melatih otak untuk mengasah daya analisis, kemampuan memecahkan masalah dan memiliki daya kritis yang menjadi hal paling krusial dalam membuat keputusan dan kebijakan yang tepat.
Dengan membaca buku pejabat kita bisa memperkaya keterampilan komunikasi. Dengan membaca buku maka akan melahirkan keterampilan public speaking yang tidak bisa didapatkan tanpa wawasan yang kaya hasil dari membaca buku. Pejabat yang rajin untuk membaca buku maka akan memiliki keterampilan dalam menyusun argumen serta berkomunikasi dengan cara yang baik. Bukan seperti pejabat kita yang sering blunder dengan segala pernyataannya.
Dengan membaca buku pejabat kita bisa membangun kredibilitas dan empati. Membaca buku non-fiksi memang bisa memperkaya keilmuan dan wawasan yang luas. Tapi dengan membaca karya sastra akan meningkatkan kepekaan terhadap perasaan rakyat kecil, peka terhadap kondisi masyarakat sehingga sangat berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan atau kebijakan.
Dengan membaca pejabat kita bisa memimpin dengan cara mengikuti perkembangan zaman. Dengan membaca maka pejabat bisa tetap relevan dan beradaptasi dengan perkembangan zaman yang menjadi penting di tengah era globalisasi ketika semua negara bersaing untuk melahirkan kebijakan yang efektif.
Masihkan kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas, jika para pejabatnya saja jarang membaca buku ?
Mari sama-sama untuk terus mengingatkan pejabat kita untuk melakukan kebiasan-kebiasaan kecil demi Indonesia lebih baik di masa depan. Sambil kita sebagai rakyat terus ikut tumbuh dengan dunia literasi.
Mari terus tumbuh dengan kebiasaan membaca buku untuk kita yang harus tetap punya daya nalar kritis untuk menentang kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Mari terus tumbuh dengan kebiasaan membaca buku untuk kita yang harus tetap punya kebijaksanaan untuk melihat fenomena dalam berbagai sudut pandang. Mari terus tumbuh dengan kebiasaan membaca buku dan menulis untuk kita yang harus tetap tinggal meninggalkan jejak peradaban, meski alunan detak jantung kita tidak akan bertahan melawan waktu. (*)