Pengarusutamaan gender di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Berdasarkan Global Gender Index (GGI) versi World Economic Forum, indeks kesetaraan gender Indonesia menempati peringkat ke-92 dari 146 negara dengan skor 0,697. Dalam aspek pendidikan perempuan, Indonesia berada pada peringkat ke-102. Dan berdasarkan Gender Inequality Index (GII), Indonesia dalam dimensi ketidaksetaraan gender menduduki urutan ke-110 dari 191 negara, posisi yang masih tertinggal dari rata-rata negara berkembang.
Fenomena ini berakar sejak lama dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki berhenti melihat perempuan sebagai mitra, hubungan berubah menjadi hierarki, antara yang memimpin dan yang mengikuti. Padahal, manusia diciptakan untuk saling melengkapi, bukan saling menaklukkan.
Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering dinilai dengan ukuran laki-laki. Akibatnya, perjuangan kesetaraan terlihat seperti upaya “meniru” laki-laki, bukan memulihkan keseimbangan. Kesetaraan berakar pada pengakuan terhadap perbedaan, menjaga martabat yang sama tinggi, hak yang sama kuat, dan kesempatan yang sama luas untuk berkembang. Seperti peribahasa, “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
Antara Patriarki dan Matriarki
Dalam perjalanan membangun kesetaraan, kita berhadapan dengan dua warisan budaya besar: patriarki dan matriarki. Jika keduanya menemui bentuk ekstrem, patriarki menciptakan dominasi laki-laki, sementara matriarki disalahartikan sebagai pembalikan kekuasaan.
Dalam budaya Nusantara, sebenarnya sudah ada nilai-nilai penyeimbang antara ketegasan dan kelembutan. Misal, pepatah Sunda mengenal “bobot pangayom timbang taraju” yang menggambarkan keseimbangan yang melekat pada manusia, bukan pada jenis kelamin. Begitu pula dalam sistem matrilineal Minangkabau, perempuan memegang peran penting dalam pewarisan nilai dan harta, tetapi tidak meniadakan peran laki-laki sebagai penopang sosial dan spiritual.
Dalam memahami kesetaraan, kita perlu mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda secara genetik, biologis, dan psikologis. Namun perbedaan itu bukan alasan untuk menciptakan hierarki, melainkan pijakan untuk membangun keseimbangan. Keduanya sejajar dalam kemampuan berpikir, berkreasi, dan berkontribusi pada kehidupan.
Dunia yang setara adalah dunia yang menghargai keunikan. Hakikinya perempuan tidak ingin menjadi laki-laki, hanya ingin menjadi manusia yang diakui penuh dengan pikiran, perasaan, dan potensinya. Sikap tidak menerima perbedaan, sama saja ingkar terhadap kuasa-Nya.
Kesetaraan tidak berarti Kesamaan. Kesetaraan adalah tentang Keberanian untuk Saling Melihat dari Sisi yang Sejajar melewati kehidupan.

Ruang Kesetaraan Dimulai dari Keluarga dan Pendidikan
Kesetaraan tidak tumbuh di ruang seminar atau forum, tetapi dari keluarga. Dari cara ayah memandang ibu, dan bagaimana anak belajar mencintai dengan adil. Ketika peran ayah dan ibu dihargai meski berbeda bentuknya, makna patnerships mulai tumbuh.
Masalah muncul saat peran diukur secara hierarkis, siapa yang mencari nafkah dianggap lebih tinggi dan yang mengurus rumah dianggap pelengkap. Keluarga adalah tanggung jawab bersama, bukan beban satu pihak. Anak belajar cinta dan tanggung jawab dari keseimbangan peran ayah dan ibu, membentuk generasi yang memahami kemitraan sejak dini. Bangsa yang setara lahir dari keluarga yang adil, dari dua manusia yang saling menghargai dalam mendidik kehidupan.
Kesetaraan juga perlu ditanamkan di sekolah. Dunia pendidikan berperan penting membangun kesadaran kesetaraan gender, melalui kebijakan kurikulum, buku, dan praktik belajar yang bebas dari bias peran gender. Belajar dilakukan dengen pendekatan yang adil, reflektif, dan kontekstual, sehingga siswa bisa memahami relasi sosial yang setara, menghormati perbedaan, dan menolak diskriminasi. Di samping itu, guru harus menjadi teladan, tidak hanya pengajar. Guru perlu dibekali dengan kesadaran gender sehingga mampu membangun budaya belajar inklusif. Kesetaraan tumbuh bukan dari debat, tapi dari kebiasaan sehari-hari.
Baca Juga: Mengapa Kita Boleh Mengkritik Pemerintah, tapi Tidak dengan Tokoh Agama?
Setelah keluarga dan pendidikan, ranah ekonomi menjadi ruang nyata bagi perempuan untuk membuktikan ketangguhan sekaligus menghadapi bocor halus ketimpangan kesetaraan gender. Dalam dunia kerja, perempuan menghadapi tantangan ganda, yakni bagaimana menyeimbangkan karier dan peran dalam keluarga. Perempuan bekerja tidak melulu soal nafkah, tapi tentang menjaga makna hidup, bahwa keluarga dan aktualisasi diri adalah dua hal yang saling melengkapi. Mereka dituntut tangguh di ruang publik tanpa kehilangan kelembutan di rumah.
Dalam perspektif ekonomi. Banyak perempuan bekerja terutama di sektor informal dan domestik, namun tidak tercatat dalam ukuran produktivitas. Padahal, pekerjaan itu menopang kehidupan keluarga dan masyarakat. Studi dari McKinsey menunjukkan jika perempuan dapat berkontribusi secara penuh dalam perekonomian, potensi tambahan nilai ekonomi global bisa mencapai USD 12 triliun pada tahun 2025. Khusus di kawasan Jawa Barat. Data BPS menunjukkan kontribusi pendapatan perempuan di Kota Bandung pada 2024 mencapai 35,57%, menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Ciamis (39,14 %),
Masalah terbesar pengarusutamaan gender terletak pada cara pandang budaya yang menempatkan perempuan pada urusan domestik yang dianggap peran “alami”. Kerja perempuan di rumah, di pasar tradisional, atau dalam kegiatan sosial di lingkungan seringkali dianggap “bukan pekerjaan”. Padahal, tanpa energi, waktu, dan dedikasi perempuan dalam ruang-ruang tak terlihat itu, akan banyak roda kehidupan tidak akan berputar. Inilah bentuk yang paling halus dari ketimpangan dan ketidakadilan dalam mengakui nilai kerja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) meluncurkan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Perawatan. Sebuah kerangka kebijakan transformatif yang digadang-gadang mampu memberikan nilai ekonomi dari pekerjaan perawatan, baik berbayar maupun tidak berbayar. Sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi inklusif. Langkah ini diarahkan untuk mengenali, mengurangi, dan mendistribusikan pekerjaan perawatan secara adil, sehingga perempuan yang selama ini bergulat dalam sektor ini mendapatkan pengakuan dan nilai ekonomi yang layak.
Kebijakan kesetaraan gender sering kali mandek pada level administratif, berupa kuota, program, atau pelatihan tanpa menyentuh akar kultural. KemenPPPA punya peran penting untuk memastikan kebijakan tak berhenti di dokumen, memandu dan mengawal arah kebijakan pengarusutamaan gender di Indonesia.
KemenPPPA dengan semua perangkatnya, secara teknokratis, maupun advokatif harus mendorong integrasi perspektif gender dan ekonomi perawatan ke dalam setiap kebijakan pembangunan. Kesetaraan ekonomi sejatinya dimulai dari keberanian untuk menghitung ulang nilai kerja, bukan sekadar menghitung hasil.
Kesetaraan bukan tujuan akhir, melainkan cara kita menata kehidupan yang lebih baik, dimulai dari rumah, ditumbuhkan di sekolah, dan ditegakkan dalam kebijakan.
