AYOBANDUNG.ID - Semua berawal dari cinta yang berakhir dengan kematian. Tahun 1922, di Bandung yang masih berwajah kolonial, seorang gadis Sunda muda bernama Nyi Anah dituduh meracuni tuannya, Karel Grutterink, seorang pegawai Belanda di perkebunan Tjikembang. Tak ada saksi pasti, tak ada bukti kuat. Hanya segelas susu, secuil serbuk aneh, dan gosip yang tumbuh jadi histeria. Di ruang sidang kolonial itulah, nasib seorang nyai tiba-tiba berubah menjadi simbol perlawanan.
Semuanya bermula dengan berita kecil di De Preanger-bode, koran populer bagi kalangan Eropa: seorang pegawai perkebunan bernama Karel (K.) Grutterink meninggal dunia mendadak di rumahnya di Bandung. Narasi sederhana, bahkan terasa hambar: pegawai Eropa tewas, diduga diracun oleh bekas pelayan. Tapi seperti banyak hal di Hindia Belanda, yang tampak sederhana sering kali menyembunyikan ledakan sosial di dalamnya.
Karel Grutterink adalah contoh khas Europeaan in de tropen alias orang Belanda yang menikmati kenyamanan hidup di koloni. Ia tinggal di rumah besar dengan halaman luas, dilayani para pribumi, dan memiliki seorang nyai: perempuan lokal yang berperan ganda, sebagai pembantu sekaligus pasangan hidup tidak resmi.
Perempuan itu bernama Nyi Anah, atau kadang disebut Anna dalam laporan pers kolonial, sebuah nama Eropa yang diberikan seolah-olah untuk “menjinakkan” identitas aslinya. Ia gadis Sunda muda, berusia sekitar 17 atau 18 tahun. Tubuhnya kecil, tutur katanya lembut, dan ia dikenal rajin. Selama hampir sebelas bulan, ia hidup bersama Grutterink. Ia menerima 25 gulden sebulan, pakaian bagus, serta atap yang menjamin rasa aman, seluruhnya imbalan dari peran yang menggantung antara cinta dan subordinasi.
Baca Juga: Geger Bandung 1934, Pembunuhan Berdarah di Rumah Asep Berlian
Tapi keamanan di dunia kolonial selalu rapuh. Suatu hari, setelah pulang dari perjalanan bisnis ke perkebunan Tjikembang, Grutterink mendapati rumahnya kacau. Beberapa pelayan sedang berjudi, dan lebih buruk lagi, ia menemukan Nyi Anah sedang bersama seorang pria pribumi bernama Dana. Amarah pun meledak. Grutterink memecat Nyi Anah seketika, mengusirnya tanpa bekal. Dalam masyarakat kolonial, keputusan semacam itu bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, tapi berarti kehilangan status, perlindungan, bahkan harga diri.
Beberapa minggu kemudian, Grutterink jatuh sakit. Ia muntah-muntah, tubuhnya melemah, dan tak lama kemudian meninggal dunia. Rumor cepat beredar di lingkungan Eropa: ia diracun. Polisi kolonial segera bertindak, dan nama yang pertama kali disebut adalah bekas pelayannya, Nyi Anah.
Ia ditangkap bersama beberapa pelayan lain. Dalam interogasi, Nyi Anah mengaku pernah menyuruh salah satu pelayan mencampurkan sesuatu ke dalam susu Grutterink. Tapi ia menyangkal keras bahwa itu racun, melainkan serbuk kuku. Ia menambahkan bahwa benda itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk pelet.
Keyakinan ihwal kesaktian jampi-jampi dikenal luas di masyarakat Sunda dan Jawa kala itu. Dalam kepercayaan tradisional, dunia tak hanya diisi manusia dan logika, tapi juga kekuatan halus yang bisa memengaruhi perasaan. Dukun yang ditemui Nyi Anah memberi petunjuk: sembelih ayam hitam, kubur kepalanya di depan pintu, siram ranjang dengan minyak wangi, dan beri campuran khusus pada minuman sang kekasih. Semua dilakukan sambil membaca mantra.
Tapi, bagi aparat kolonial yang hidup dalam hukum rasional Eropa, semua itu terdengar seperti akal bulus belaka. Tubuh Grutterink pun digali kembali untuk diotopsi. Dokter kolonial mencari jejak arsenik. Walau hasilnya tidak pasti, jaksa tetap mendakwa Nyi Anah dengan pembunuhan berencana. Kasus itu lalu dibawa ke Landraad Bandung, pengadilan kolonial yang biasa memisahkan hukum bagi Eropa dan pribumi. Tapi kali ini, seluruh Hindia menatap ke arah yang sama: ruang sidang kecil di Bandung.
Persidangan dan Lahirnya Simbol Perlawanan
Sidang pertama digelar pada awal 1923. Saksi-saksi dipanggil dari mulai pelayan, tetangga, hingga sang dukun. Cerita mereka beragam, sebagian bertentangan. Tapi jaksa tak mau kalah. Mereka menegaskan bahwa hanya arsenik yang bisa menimbulkan gejala seperti yang dialami Grutterink. Meski tanpa bukti kimia yang jelas, pengadilan tetap menjatuhkan hukuman mati kepada Nyi Anah.
Baca Juga: Sabotase Kereta Rancaekek, Bumbu Jimat dan Konspirasi Kiri

Tapi tak lama setelah vonis, fakta mengejutkan muncul: Nyi Anah hamil. Dalam hukum kolonial, perempuan hamil tak boleh dihukum mati sampai melahirkan. Kabar ini mengguncang opini publik. Sarekat Islam dan berbagai tokoh pergerakan pribumi mulai bersuara. Surat kabar lokal menulis bahwa pengadilan kolonial telah menginjak rasa kemanusiaan.
Situasi politik saat itu memang genting. Sarekat Islam (SI) sedang bangkit, nasionalisme mulai berakar, dan media pribumi menantang hegemoni pers Belanda. Di tengah tekanan itu, pemerintah kolonial akhirnya memerintahkan ulang sidang. Landraad Bandung kembali penuh sesak pada pertengahan 1923.
Sidang berlangsung berbulan-bulan. Bayi Nyi Anah lahir di penjara, dan setiap kali ia dibawa ke pengadilan, para penonton menatap dengan campuran iba dan kagum. Jaksa tetap berpegang pada tuduhan arsenik, tapi saksi-saksi makin goyah. Beberapa pelayan menarik ucapannya. Dokter forensik pun tidak dapat menemukan sisa racun secara pasti.
Pada Maret 1924 akhirnya keputusan dibacakan. Hakim kolonial memutuskan: tuduhan pembunuhan tidak terbukti. Nyi Anah dibebaskan. Suasana ruang pun sidang pecah.
Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial
Setelahnya, Nyi Anah, perempuan muda yang dulu hanya dianggap bayangan di rumah Eropa, tiba-tiba menjelma simbol keteguhan melawan ketimpangan. Ia bukan aktivis, bukan politikus, tapi kisahnya menembus batas kelas dan warna kulit. Ia memperlihatkan bagaimana dunia kolonial bisa retak bukan karena peluru, tapi karena simpati manusia.
Setelah bebas, kisahnya hilang ditelan waktu. Tidak ada catatan pasti ke mana ia pergi bersama bayinya. Tapi jejaknya tetap hidup di arsip, di kolom-kolom berita tua, dan di ingatan kota Bandung yang sering melupakan tragedinya sendiri.