Ketika gagasan dan imajinasi harus kalah oleh kapital dan populeritas, arah pembangunan pun kehilangan kedalaman. Kota tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup bersama, melainkan sebagai panggung ekonomi politik yang bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki sumber daya besar.
Proyek-proyek pembangunan kemudian lebih banyak diarahkan untuk memperkuat citra dan jaringan kepentingan, bukan untuk menjawab kebutuhan ekologis dan sosial warga.
Keberlanjutan sejatinya bukan sekadar penghijauan atau efisiensi energi. Ia adalah cara berpikir dan hidup bersama, yang menempatkan warga sebagai subjek utama pembangunan. Tanpa kesadaran kritis masyarakatnya, kota hanya menjadi proyek fisik tanpa jiwa. Keberlanjutan harus lahir dari dialog, partisipasi, dan kemampuan warga membaca arah masa depan kotanya.
Baca Juga: Menyoal Gagalnya Bandung Raya dalam Indeks Kota Hijau
Bandung memiliki modal sosial yang luar biasa. Di berbagai sudut kota, muncul komunitas seni, kelompok literasi, hingga pegiat lingkungan yang bekerja dengan semangat otonom. Mereka menanam pohon, menjaga taman, membuka ruang baca, menginisiasi daur ulang sampah, atau sekadar menanamkan kesadaran ekologis di lingkungan masing-masing.
Namun, energi sosial yang besar itu sering berjalan tanpa dukungan struktural. Pemerintah kota kerap menjadikan “partisipasi” sebagai jargon, bukan mekanisme nyata dalam perumusan kebijakan.
Ruang partisipatif sering hanya hadir dalam bentuk forum seremonial, bukan proses deliberatif yang memberi ruang bagi warga menentukan arah pembangunan. Akibatnya, potensi besar dari gerakan warga—yang seharusnya menjadi fondasi keberlanjutan—justru tidak pernah benar-benar diintegrasikan ke dalam kebijakan kota.
Padahal, bila dikelola dengan serius, gerakan warga ini bisa menjadi sumber daya moral dan intelektual bagi Bandung. Mereka menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar urusan teknis, melainkan urusan kesadaran. Kota berkelanjutan tidak lahir dari proyek infrastruktur, melainkan dari cara masyarakatnya memaknai ruang hidup bersama.
Demokrasi yang Kehilangan Imajinasi

Sayangnya, keberlanjutan kota tak mungkin terwujud bila demokrasi lokal terus kehilangan daya imajinasinya. Dalam banyak pilkada, termasuk di Bandung, kita menyaksikan bagaimana demokrasi berubah menjadi kontestasi popularitas dan kekuatan modal. Ruang gagasan dan visi kota tergantikan oleh pencitraan, sementara politik dijalankan layaknya panggung kompetisi hiburan.
Akar persoalannya terletak pada sistem kepartaian yang tidak sehat dan cenderung koruptif. Partai politik, yang semestinya menjadi “rumah gagasan” dan sekolah kepemimpinan publik, justru berubah menjadi mesin transaksional. Tiket pencalonan dijual mahal, kesetiaan diukur dengan kontribusi finansial, dan loyalitas pada rakyat digantikan oleh kalkulasi elektoral jangka pendek.
Dalam atmosfer politik seperti ini, gagasan menjadi barang mewah, dan imajinasi sosial kehilangan nilai. Mereka yang memiliki integritas dan visi pembaruan sering tersingkir karena tak punya modal atau jaringan elite. Maka lahirlah pemimpin yang miskin gagasan dan miskin imajinasi—mereka yang lebih sibuk menata citra ketimbang membangun kesadaran, lebih pandai membuat slogan daripada mengubah sistem.
Bandung, kota dengan sejarah panjang intelektualitas dan perlawanan kultural, kini kerap terjebak dalam logika ini. Para pemimpinnya gemar berbicara tentang kreativitas, tetapi jarang menyinggung soal keadilan ekologis, perencanaan ruang yang manusiawi, atau krisis air yang kian mengancam. Ruang publik didesain indah untuk swafoto, tetapi tak lagi menjadi tempat bertemu dan berpikir bersama. Dalam situasi seperti ini, kota kehilangan arah moralnya: ia tampak hidup di permukaan, tapi rapuh di dalam.
Lebih jauh, dampak dari sistem politik koruptif ini meluas hingga ke akar budaya kota. Ia menumpulkan kesadaran publik, melemahkan daya kritis warga, dan menumbuhkan sikap apatis. Demokrasi menjadi ritual lima tahunan yang memenangi mereka yang paling populer, bukan mereka yang paling berpikir. Ketika politik kehilangan gagasan, maka pembangunan pun kehilangan arah.
Padahal, keberlanjutan sejati hanya bisa tumbuh dari demokrasi yang berpihak pada gagasan dan imajinasi kolektif. Demokrasi yang membuka ruang bagi warga untuk berdebat, berimajinasi, dan merancang masa depan bersama. Tanpa ruang itu, kota hanya akan terus berputar dalam lingkaran pencitraan dan proyek jangka pendek.
Baca Juga: Bandung, Pandawara, dan Kesadaran Masyarakat yang Harus Bersinergi
Kota berkelanjutan bukan hanya tentang taman rapi, transportasi ramah lingkungan, atau energi terbarukan. Ia adalah ruang belajar kebudayaan, tempat warga mengasah kesadaran dan berpikir kritis. Di sanalah politik dan kebudayaan saling bertemu untuk menegaskan makna hidup bersama di tengah modernitas yang kian bising.
Bandung membutuhkan pemimpin yang tidak hanya fasih berjanji, tetapi berani menata ulang relasi antara pemerintah, warga, dan komunitas. Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator dialog, bukan sekadar pelaksana proyek. Komunitas perlu diakui sebagai mitra strategis, bukan ornamen partisipasi. Dan warga, sebagai pemilik kota, harus kembali menumbuhkan keberanian berpikir dan bersuara.
Keberlanjutan tidak akan tumbuh di bawah kepemimpinan yang miskin gagasan dan dibentuk oleh sistem politik koruptif. Ia hanya akan lahir ketika kota membuka ruang bagi imajinasi dan kesadaran warga untuk bekerja bersama. Bandung, dengan sejarah intelektual dan semangat sosialnya, memiliki peluang besar untuk memulihkan makna keberlanjutan itu—asal ia berani kembali berpikir, berdebat, dan bermimpi sebagai kota yang hidup dari gagasan, bukan dari citra.
Sebab pada akhirnya, keberlanjutan bukan tentang siapa yang menang penghargaan, melainkan tentang sejauh mana pikiran kritis warga menjadi energi moral dan kultural yang menyalakan masa depan kota. (*)