Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 07 Agu 2025, 11:20 WIB
Proses Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dalam Perang Dunia II di atas kapal USS Missouri. (Sumber: U.S. National Archives)

Proses Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dalam Perang Dunia II di atas kapal USS Missouri. (Sumber: U.S. National Archives)

AYOBANDUNG.ID - Di pagi yang lembap akhir Agustus 1945, Don Jude berdiri di geladak kapal rumah sakit H.M.H.S. Tjitjalengka, menatap daratan Jepang untuk pertama kalinya. Kapal berbendera Belanda yang dicat putih bersih dengan garis hijau dan bendera Palang Merah itu bukan kapal perang, tapi menjadi saksi salah satu peristiwa paling menentukan abad ke-20: penyerahan tanpa syarat Kekaisaran Jepang yang menandai berakhirnya Perang Dunia II.

Don Jude, petugas medis Angkatan Laut Inggris, merekam kenangan itu dalam memoarnya yang ditulis enam dekade kemudian. Suaranya tak mengguntur seperti jenderal, tapi getir dan tenang, seperti seseorang yang tahu bahwa ia hadir dalam babak sejarah yang tak akan kembali.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa melihat daratan, Tjitjalengka akhirnya merapat di Teluk Sagami, di selatan Teluk Tokyo. Tak lama kemudian, armada gabungan Amerika dan Inggris menyusul. Don Jude mencatat:

“Kami tahu soal bom atom dari koran harian kapal, yang dibuat oleh operator radio dari siaran gelombang udara dan desas-desus. Kami tahu perang akan segera usai.”

Tanggal 30 Agustus, armada sekutu resmi memasuki Teluk Tokyo. Pagi itu laut tenang, tapi suasana terasa tegang. “Kapal-kapal berlabuh, satu per satu, dalam formasi nyaris seremonial. Semua seperti tahu bahwa sejarah sedang menunggu ditulis,” kata Jude.

Dua hari setelah itu, pada 2 September 1945, semua keraguan tentang akhir perang pupus. Di atas dek kapal perang U.S.S. Missouri, Jepang menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat. Jude dan rekan-rekannya menyaksikan dari kejauhan. Ia menuliskan:

“Kami menyaksikan langsung penandatanganan penyerahan diri Jepang di atas U.S.S. Missouri pada 2 September—tepat lima tahun setelah perang dimulai pada 3 September 1939.”

Di geladak Tjitjalengka, para awak berdiri dalam getar, menyaksikan bendera kekaisaran runtuh. Meski mereka bukan pasukan garis depan, mereka tahu apa arti momen itu: detik-detik berakhirnya dunia lama.

Baca Juga: Kapal Laut Garut jadi Korban Torpedo Jerman di Perang Dunia II

Catatan dari Naval History and Heritage Command mengonfirmasi bahwa kapal Tjitjalengka hadir di Teluk Tokyo saat upacara penyerahan Jepang pada 2 September 1945, berdampingan dengan kapal-kapal besar Sekutu.

Peristiwa menyerahnya Jepangtanpa syarat kepada Sekutu seudah diantisipasi jauh-jauh hari. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan kepada rakyat Jepang bahwa negaranya menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pidato yang disiarkan lewat radio itu dikenal sebagai Gyokuon-hƍsƍ, dan menjadi peristiwa langka karena untuk pertama kalinya rakyat mendengar langsung suara Kaisar. Ia menyatakan bahwa perang harus diakhiri agar “kerajaan Jepang tidak dihancurkan seluruhnya” dan rakyat tidak mengalami penderitaan lebih lanjut. Pernyataan itu sekaligus menandai akhir Perang Dunia II di Asia Timur.

Penyerahan diri Jepang tidak terjadi dalam ruang hampa. Sebelumnya, pada 6 dan 9 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Serangan ini, menurut laporan resmi Sekutu, menewaskan lebih dari 100.000 jiwa dalam sekejap, belum termasuk dampak jangka panjang dari radiasi. Di sisi lain, pada 8 Agustus, Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria, wilayah kekuasaan Jepang di Tiongkok.

Tapi, militer Jepang—terutama angkatan darat—bersikeras untuk bertempur sampai akhir. Bahkan setelah bom Hiroshima, beberapa jenderal menganggap itu belum cukup alasan untuk menyerah. Barulah setelah bom kedua di Nagasaki dan masuknya Uni Soviet dalam perang, kubu moderat di pemerintahan berhasil meyakinkan Kaisar Hirohito untuk mengakhiri perang.

Pada 2 September 1945, Jepang secara resmi menandatangani dokumen penyerahan diri di atas kapal USS Missouri di Teluk Tokyo. Upacara ini menandai akhir resmi Perang Dunia II.

Sebelumnya, Nazi Jerman menyerah tanpa syarat kepada Sekutu di Reims, Prancis, pada 7 Mei 1945. Penyerahan ini kembali ditegaskan sehari kemudian dalam upacara di Berlin pada 8 Mei 1945. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Victory in Europe Day (V-E Day), yang menandai berakhirnya perang di Eropa.

Jerman sendiri sudah mengalami kekalahan militer secara bertahap sejak tahun 1943, ketika kekuatan Sekutu mulai membalikkan keadaan di berbagai front. Di Timur, Tentara Merah Soviet berhasil memukul mundur pasukan Jerman dalam Pertempuran Stalingrad, yang menjadi titik balik penting di Front Timur. Sementara itu, di Barat, Sekutu Barat mendarat di Normandia, Prancis, pada 6 Juni 1944 (D-Day), dan secara perlahan mendorong mundur pasukan Jerman ke wilayah inti di Eropa Tengah. Kota-kota besar seperti Berlin menjadi sasaran serangan udara dan pertempuran darat yang intens.

Jelang awal 1945, posisi Jerman sudah nyaris tanpa harapan. Di timur, pasukan Soviet mengepung Berlin, sementara di barat, pasukan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis terus mendesak melalui wilayah Jerman. Adolf Hitler, yang menolak menyerah, memilih bunuh diri pada 30 April 1945 di bunker bawah tanahnya di Berlin. Setelah itu, kepemimpinan Jerman beralih ke Presiden Karl Dönitz, yang akhirnya menyadari bahwa perang tidak bisa dilanjutkan dan mulai mengupayakan penyerahan.

Perang Dunia II meninggalkan jejak kehancuran yang luar biasa besar dan brutal dalam sejarah manusia. Selama enam tahun konflik, lebih dari 70 juta orang tewas—sebagian besar adalah warga sipil yang menjadi korban pemboman, kelaparan, penyakit, dan genosida. Di Eropa, kota-kota seperti Warsaw, Berlin, dan Stalingrad hancur menjadi puing-puing. Di Asia, Nanjing dan Manila mengalami pembantaian massal dan pertempuran urban yang memusnahkan infrastruktur dan populasi sipil. Kamp-kamp konsentrasi Nazi menelan jutaan nyawa dalam Holocaust, sementara di Asia Timur, kekejaman militer Jepang merenggut jutaan korban sipil, terutama di Tiongkok dan Korea.

Skala kerusakan akibat perang ini sungguh luar biadab: perekonomian dunia lumpuh, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan wilayah-wilayah luas berubah menjadi tanah mati. Teknologi perang digunakan tanpa batas moral—termasuk senjata kimia, pemboman strategis terhadap warga sipil, hingga penggunaan bom atom di Jepang. Di Eropa Timur dan Asia, puluhan juta orang mengungsi, membentuk krisis kemanusiaan terbesar abad ke-20. Trauma kolektif dari perang ini menjadi warisan pahit bagi generasi setelahnya, sekaligus mengubah peta politik dunia secara permanen.

Baca Juga: Dari Gurun Pasir ke Kamp Konsentrasi, Kisah Tragis Keluarga Berretty Pemilik Vila Isola Bandung

Kapal Cicalengka: Dari Kapal Dagang jadi Rumah Sakit Darurat

Tjitjalengka, yang dalam ejaan kiwari dibaca Cicalengka, sejatinya merupakan kapal penumpang dan kargo milik Java-China-Japan Line (JCJL). Sebelum menyandang status H.M.H.S. atau Her Majesty's Hospital Ship, ia berstatus Steamship atau S.S. (kapal uap) biasa. Kapal dagang ini diluncurkan dari galangan Netherlands Shipbuilding Company di Amsterdam pada 16 Agustus 1938.

The Royal Navy Research Archive mencatat pelayaran perdana Cicalengka dimulai pada pertengahan Mei 1939, dengan rute ekspres dari Batavia ke kota-kota pelabuhan besar Asia Timur seperti Hong Kong, Amoy, dan Shanghai. Dalam perjalanannya, kapal ini juga singgah di Manila, Cebu, Makassar, dan Bali. Posisi strategis dan kecepatannya menjadikannya tulang punggung pengangkutan orang dan barang lintas Asia Tenggara.

Tapi, meletusnya Perang Dunia II mengubah arah nasib Cicalengka. Ketika ketegangan meningkat akibat ekspansi militer Jepang, pemerintah kolonial Belanda memerintahkan seluruh armada sipil di Pasifik untuk berlindung di pelabuhan netral. Pada 1941, Cicalengka yang sedang berlayar antara Manila dan Hong Kong, diperintahkan kembali ke Manila. Sejak saat itu, karier komersialnya terhenti dan perannya bergeser drastis.

Setelah periode ketidakpastian, Cicalengka direkuisisi oleh pihak Inggris dan dipindahkan ke Eropa. Pada pertengahan 1942, ia tiba di Liverpool untuk menjalani konversi menjadi kapal rumah sakit dengan kapasitas awal 500 pasien yang bisa ditingkatkan hingga 1.008. Warna tubuhnya diubah total—cat putih mendominasi seluruh badan kapal, dihiasi garis hijau di sisi lambung dan lambang Palang Merah besar di bagian tengah serta cerobong kapal.

Kapal Tjitjalengka (Cicalengka) setelah dirombak menjadi rumah sakit darurat. (Sumber: Australian War Memorial)
Kapal Tjitjalengka (Cicalengka) setelah dirombak menjadi rumah sakit darurat. (Sumber: Australian War Memorial)

Cicalengka lantas dijuluki sebagai Hospital Ship No. 9, Tjitjalengka tetap dipimpin oleh kapten dan awak asal Belanda, dengan kru pelayaran dari Tiongkok dan Indonesia. Sementara itu, tim medisnya terdiri dari dokter dan perawat militer Inggris.

Ketibaannya di Liverpool bertepatan dengan masa-masa tergelap kota itu: Liverpool Blitz. Dalam rentetan serangan udara sistematis oleh Luftwaffe—angkatan udara Nazi Jerman—sekitar 4.000 orang tewas di kawasan Merseyside, termasuk Liverpool dan sekitarnya. Liverpool pun tercatat sebagai kota kedua yang paling banyak dibom setelah London selama Perang Dunia II.

Sebagai Hospital Ship No. 9, Cicalengka mulai aktif mengangkut tentara yang terluka dari berbagai belahan dunia: Kanada, Afrika, India, hingga Ceylon. Meskipun kapal ini dibangun untuk iklim tropis, ia harus bertahan dalam cuaca dingin Nova Scotia dan kondisi laut ganas Samudra Hindia. Keberadaannya sebagai rumah sakit terapung sangat krusial, terutama di wilayah-wilayah yang kekurangan fasilitas medis darurat.

Tugas terberat datang pada 1945 ketika Cicalengka ditugaskan mendukung Armada Pasifik Inggris (British Pacific Fleet) dalam operasi serangan terhadap Jepang. Dalam beberapa kesempatan, ia menerima langsung korban serangan Kamikaze dari kapal induk yang rusak di tengah laut. Proses evakuasi dilakukan dengan risiko tinggi: pasien dipindahkan dari kapal ke kapal di tengah laut, dalam kondisi medan operasi yang sangat berbahaya.

Setelah Jepang menyerah, Cicalengka mendapat peran baru yang tak kalah penting: menjadi tempat transit dan perawatan ribuan tawanan perang Sekutu yang dibebaskan dari kamp-kamp interniran Jepang. Ia menjadi salah satu kapal pertama yang bersandar di Yokohama setelah penyerahan Jepang, dan turut mengangkut eks tawanan perang asal Selandia Baru, Australia, dan Inggris kembali ke tanah air mereka. Banyak dari mereka dalam kondisi fisik sangat buruk akibat perlakuan di kamp, dan membutuhkan perawatan intensif selama pelayaran pulang.

Setelah menyelesaikan misi kemanusiaan besar ini, Cicalengka melanjutkan pelayaran panjang ke berbagai pelabuhan Asia — dari Shanghai hingga Singapura — untuk mengangkut diplomat, warga sipil, dan eks tawanan lainnya. Ia kemudian menempuh perjalanan pulang ke Eropa melalui rute panjang melewati Madras, Kolombo, Durban, Freetown, dan Madeira. Pada awal Februari 1946, Cicalengka akhirnya tiba kembali di Liverpool.

Baca Juga: Jejak Kapal Cicalengka di Front Eropa Perang Dunia II

Setelah peralatan medis dilepas dan fungsinya sebagai rumah sakit terapung resmi diakhiri, Cicalengka kembali ke pangkuan pemilik awalnya, JCJL. Ia kembali menjalani pelayaran komersial, kali ini dengan wajah yang berbeda — bukan lagi simbol kebanggaan kolonial, melainkan kapal veteran perang yang sarat sejarah.

Karier panjangnya akhirnya mencapai titik akhir pada tahun 1968, saat dijual untuk dibongkar di Hong Kong. Pada 11 Mei 1968, Cicalengka tiba di pelabuhan terakhirnya. Proses pembongkaran tuntas pada November tahun yang sama, menandai akhir kisah sebuah kapal yang telah melintasi zaman, dari masa kejayaan kolonial, kengerian perang dunia, hingga pemulihan pascaperang.

Cicalengka bukan sekadar nama kapal, melainkan saksi hidup sejarah abad ke-20. Ia pernah menjadi kendaraan dagang, tempat berteduh pasukan, rumah sakit terapung, dan penyambut kembali para korban perang. Sejarahnya adalah bagian kecil namun berarti dari kisah besar perang dan perdamaian dunia.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 21 Sep 2025, 19:16 WIB

Sky Tree dan Fenomena Kafe Estetik di Bandung: Lebih dari Sekadar Tempat Ngopi

Bandung terus melahirkan destinasi baru yang memanjakan mata dan lidah, terutama lewat tren kafe estetik yang kini menjamur di berbagai sudut kota.
Sky Tree Coffee & Eatery. (Sumber: instagram.com/skytreecoffee.bdg)
Ayo Netizen 21 Sep 2025, 19:09 WIB

'Berfoto bersama Idola', Tren Penggunaan Generative AI yang Melanggar Batas Privasi

Tren berfoto bersama idola bukan lagi fantasi fans tapi sudah masuk dalam kategori kekerasan gender berbasis online (KGBO).
Trend Menggunakan Generative AI dengan Idola. (Sumber: Kolase Instagram)
Ayo Biz 21 Sep 2025, 17:16 WIB

Kecantikan Berkelanjutan: Mengapa Skin Quality Kini Jadi Prioritas Utama

Kini masyarakat mulai memahami bahwa mempertahankan kualitas kulit yang sehat dan alami jauh lebih penting untuk jangka panjang.
dr. Marlina, owner Emglow Aesthetic Centre Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 21 Sep 2025, 16:35 WIB

Bandung dan Jazz: Sepuluh Tahun Menjaga Napas Musik yang Merangkul

Di Bandung, musik jazz bukan sekadar genre, namun juga napas yang mengalir di antara lorong-lorong kota, tumbuh bersama komunitas, dan terus berevolusi sebagai bagian dari identitas budaya.
Di tengah arus musik populer dan digitalisasi industri hiburan, komunitas jazz Bandung tetap eksis dan adaptif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 21 Sep 2025, 16:07 WIB

Jejak Sejarah Kelahiran Partai Faisis Indonesia di Bandung, Supremasi ala Pribumi yang Bikin Heboh Wangsa Kolonial

Bandung pernah jadi tempat lahir partai yang menyebut diri fasis. Tapi lebih cepat bubar daripada sempat bikin rapat akbar. Bagaimana ceritanya?
Kongres kedua Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berhaluan fasis di Bandung tahun 1939. (Sumber: KITLV)
Beranda 21 Sep 2025, 15:32 WIB

Pengalaman Pemuda Asal Cimahi, dari Telur Rebus di Kawah Tangkubanparahu Hingga Menjejakkan Kaki di Puncak Everest

Pendaki asal Cimahi ini berhasil menorehkan namanya dalam sejarah pendakian Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh orang yang menaklukkan 7 Summits.
Sofyan Arif Fesa dan ketiga temannya di Camp III Gunung Everest di ketinggian 7.300 meter di atas permukaan laut. (Sumber: Dokumen pribadi Sofyan Arif Fesa.)
Ayo Netizen 21 Sep 2025, 12:04 WIB

Laboratorium Gunung Api Purba Nglanggeran

Proses terbentuknya Gunung Api Purba Nglanggeran dimulai dari gunung api dasar laut yang terangkat.
Gunungapi purba Nglanggeran dibentuk oleh endapan aglomerat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Beranda 21 Sep 2025, 10:58 WIB

Di Antara Macet dan Ongkos Mahal, Warga Kota Bandung Rindu Transportasi Umum yang Manusiawi

Di balik keluh kesah terjebak macet, ada harapan yang sama-sama disuarakan warga Kota Bandung: transportasi umum yang murah, nyaman, dan bisa diandalkan.
Kota Bandung disebut kota termacet se-Indonesia pada 2024 oleh lembaga riset internasional yang berkantor di Belanda, TomTom. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al- Faritsi)
Ayo Netizen 21 Sep 2025, 10:32 WIB

Ijazah, Penting atau Tidak Penting Tergantung dengan Konteksnya

Apabila engkau bukan anak raja atau putra ulama besar maka menulislah. Jika kamu tau ijazah tidak begitu penting di Indonesia maka menulislah juga.
Ijazah sebagai Legalisasi Mahasiswa Baik di Dunia Kerja atau Pendidikan (Sumber: pexels)
Ayo Netizen 21 Sep 2025, 08:06 WIB

Hompimpa, Endog-endogan, Punten Mangga

Semua itu menjadi tanda penting untuk mencegah salah paham, mempererat kekerabatan dan persaudaraan, serta iktiar merawat tradisi dan menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa mengikuti kegiatan permainan tradisional di SDN 164 Karangpawulang, Jalan Karawitan, Kota Bandung, Kamis 5 Desember 2024. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 20 Sep 2025, 20:11 WIB

Kiat Sukses Manfaatkan Platform Digital untuk Dongkrak Pendapatan UMKM

Pemanfaatan platform digital terbukti menjadi kunci kesuksesan bagi banyak pelaku UMKM di Bandung. Tiga brand lokal, yakni NVSR, ASNH, dan Hoops, menjadi contoh nyata bagaimana keberanian berinovasi
Staf NVSR sedang melakukan Live Streaming produk di platform digital. (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Biz 20 Sep 2025, 10:36 WIB

Risol Bandung, Cemilan Paling Hits dan Bikin Ketagihan

Bicara soal jajanan di Kota Kembang memang tak ada habisnya. Salah satu camilan yang selalu punya tempat di hati warganya adalah risol. Camilan berkulit tipis dengan tekstur renyah ini kini hadir deng
Ilustrasi Risol (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 20 Sep 2025, 09:22 WIB

Toko Jamu Babah Kuya, Warisan Obat Herbal Sejak Abad 19

Di balik kesibukan kawasan Pasar Baru, berdiri sebuah toko tua yang masih setia menjaga tradisi pengobatan herbal. Cat kuning di bangunannya menjadi penanda keberadaan Toko Jamu Babah Kuya, yang sudah
Toko Jamu Babah Kuya (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Biz 19 Sep 2025, 21:25 WIB

Budaya Overworked di Kalangan Milenial dan Gen Z: Fleksibilitas yang Menyamar Jadi Tekanan

Teknologi yang semestinya memudahkan menjadi sumber tekanan baru. Email, WhatsApp, dan platform kerja digital membuat batas antara jam kerja dan waktu pribadi menjadi kabur.
Fenomena overworked alias bekerja melebihi jam kerja normal kian marak, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang mendominasi industri kreatif dan digital. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 19 Sep 2025, 20:14 WIB

Duo Bandung Kembali ‘Mengguncang’ China

Fajar Alfian dan Muhammad Shohibul Fikri, diharapkan mampu menunjukkan aksi brilian lagi di China.
Fajar Alfian (depan) Muhammad Shohibul Fikri (belakang). (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Biz 19 Sep 2025, 19:57 WIB

Cashless dan Cita Rasa, Ketika UMKM Kuliner Menyatu dengan Teknologi

FKB menjadi panggung kolosal bagi ratusan UMKM kuliner sekaligus laboratorium hidup bagi transformasi digital yang semakin meresap ke sendi-sendi ekonomi lokal.
Fenomena cashless di FKB bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal inklusi. Banyak pelaku UMKM yang sebelumnya mengandalkan transaksi tunai kini mulai terbiasa dengan sistem digital.
Ayo Jelajah 19 Sep 2025, 19:17 WIB

Jejak sejarah Perlawanan Rakyat Bandung terhadap Kerja Paksa Koi Era Kolonial

VOC mengubah kopi jadi kewajiban paksa. Bagaimana rakyat Bandung dan Priangan menemukan cara cerdas hingga getir untuk melawan penindasan?
Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 19 Sep 2025, 19:06 WIB

Ledakan Klinik Estetik di Bandung: Antara Tren, Teknologi, dan Filosofi Cantik Bertanggung Jawab

Geliat klinik estetik di Bandung menunjukkan pertumbuhan signifikan, menjawab kebutuhan masyarakat urban yang semakin sadar akan pentingnya perawatan kulit.
Geliat klinik estetik di Bandung menunjukkan pertumbuhan signifikan, menjawab kebutuhan masyarakat urban yang semakin sadar akan pentingnya perawatan kulit. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 19 Sep 2025, 18:21 WIB

Menelusuri Keresahan Hati Seniman lewat Karya Selasar Sunaryo Art Space

Keresahan bisa dituangkan dalam bentuk apa pun, salah satunya adalah lukisan dan pahatan yang bertemu di Selasar Sunaryo Art Space.
Sejuta Mata Karya Sunaryo (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 19 Sep 2025, 16:25 WIB

3 Kunci Penting Jika Ingin Nyemplung ke Bisnis Fashion

Perjalanan sebuah usaha kecil menengah (UMKM) kerap diwarnai oleh cerita jatuh bangun. Dari keterbatasan modal, tekanan persaingan, hingga tantangan teknologi, semua menjadi bagian dari proses
Produk NVSR (Foto: Instagram NVSR)