AYOBANDUNG.ID - Pagi 20 Mei 1883, laut di Selat Sunda tenang seperti kaca. Kapten kapal perang Jerman Elisabeth melayangkan pandangan ke arah barat laut dan melihat sesuatu yang tidak biasa: dari pulau kecil bernama Krakatau, di antara Jawa dan Sumatra, sebuah kolom asap tebal menjulur ke langit. Asap itu menembus awan, mencapai ketinggian sekitar sebelas kilometer. Dalam kesunyian pagi, gumpalan abu itu seperti tanda kecil dari kekuatan besar yang sedang bersiap di bawah tanah.
Belum ada yang tahu, pengamatan sederhana itu adalah pembuka dari salah satu bencana alam paling menakutkan dalam sejarah manusia, letusan yang suaranya terdengar hingga ribuan kilometer, menewaskan puluhan ribu jiwa, dan mengubah warna langit dunia.
Krakatau, atau Krakatoa dalam ejaan yang lebih dikenal dunia Barat, adalah bagian dari rangkaian gunung berapi yang terbentuk akibat pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Ia berada tepat di garis patahan aktif yang membentang dari Sumatra hingga ke Maluku, sebuah sabuk api tempat bumi seperti sedang terus-menerus menegosiasikan tekanan di dalam perutnya.
Baca Juga: Hikayat Tragedi Bom Bali 2002, Teror Terbesar dalam Sejarah Indonesia
Pulau itu sendiri tak besar, hanya sekitar sembilan kilometer panjangnya, dihuni tiga kerucut vulkanik bernama Perboewatan, Danan, dan Rakata. Penduduk di pesisir Anyer dan Lampung Selatan mengenalnya hanya sebagai siluet biru samar di cakrawala, tak banyak yang peduli, sebab gunung itu telah tidur panjang berabad-abad.
Tapi sejarah mencatat, Krakatau bukan pendiam sejati. Ia pernah meledak jauh sebelum 1883, kemungkinan pada tahun 416 atau 535 Masehi, letusan yang disebut-sebut mengubah iklim global dan menurunkan suhu bumi. Tapi dalam ingatan manusia abad ke-19, Krakatau hanyalah gunung sunyi di tengah laut, diselimuti mitos, jarang disebut, dan nyaris dilupakan.
Letusan pertama tercatat pada 20 Mei 1883, tapi gejolak di perut gunung mungkin sudah dimulai jauh sebelumnya. Perboewatan, kerucut di utara, menjadi pusat aktivitas awal. Ledakan-ledakan kecil terdengar hingga Batavia, sekitar 160 kilometer jauhnya. Jendela-jendela rumah kolonial bergetar, dan di langit malam, abu vulkanik yang berkilau samar jatuh seperti salju abu-abu. Anak-anak di pantai Anyer menatap ke arah barat, kagum melihat langit berwarna merah api di atas laut.
Para pelaut yang lewat melaporkan pemandangan yang menakutkan tapi memesona: awan hitam tebal seperti jamur raksasa menjulang dari laut, sementara kilatan petir muncul dari dalamnya. Tidak ada yang tahu bahwa semua itu hanyalah prolog dari kiamat kecil.
Baca Juga: Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo
Jelang akhir Juni, dua dari tiga puncak Krakatau, Perboewatan dan Danan, telah menunjukkan gejala melemah secara struktural. Letusan demi letusan membuat sebagian besar tubuhnya runtuh. Setiap dentuman mengirimkan gelombang tekanan udara ke segala arah. Pada 24 Juni, seorang perwira Belanda mencatat air laut di sekitar Anyer beriak aneh tanpa angin. Tak lama kemudian, batu apung sebesar kepala manusia mulai mengapung di laut, terbawa arus hingga ke Samudra Hindia.
Pada bulan Juli, Krakatau tampak seperti neraka yang menyembur ke langit. Siang hari, kolom asapnya terlihat dari Batavia, menutupi matahari. Malam hari, kilatan api dari kawahnya menerangi cakrawala. Letusan terjadi hampir setiap jam. Namun puncaknya baru datang pada 26 hingga 27 Agustus 1883, dua hari yang kemudian dikenal dunia sebagai hari ketika bumi berteriak.
26 Agustus, sekitar pukul satu siang, langit di atas Krakatau memerah. Asap tebal menjulang setinggi 27 kilometer. Ledakan demi ledakan terdengar tanpa henti, dan laut di sekitarnya mulai bergejolak. Menjelang malam, ombak setinggi satu meter mulai menghantam pesisir barat Jawa dan timur Sumatra. Warga belum panik; mereka belum tahu bahwa di bawah laut, sesuatu yang lebih besar sedang terbentuk.
Lalu datanglah pagi 27 Agustus. Sekitar pukul 5.30, ledakan pertama mengguncang Krakatau. Dentumannya menggema ke seluruh Selat Sunda. Ledakan kedua, ketiga, hingga keempat menyusul, dan pada pukul 10.02 pagi, bumi seperti terbelah. Ledakan terbesar itu menciptakan suara yang disebut sebagai yang paling keras dalam sejarah modern. Suaranya terdengar hingga Perth, Australia, dan pulau Rodrigues di Samudra Hindia, sekitar 4.800 kilometer jauhnya. Di sana, orang-orang mengira sedang terjadi tembakan meriam. Gelombang tekanan dari ledakan itu tercatat mengelilingi bumi sebanyak tiga kali.
Baca Juga: Yang Dilakukan Ratu Belanda Saat KAA Dihelat di Bandung
Energi yang dilepaskan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT, empat kali kekuatan Tsar Bomba, bom nuklir paling dahsyat yang pernah diledakkan manusia. Abu vulkanik terlontar hingga setinggi 80 kilometer, menembus stratosfer. Volume material yang dikeluarkan mencapai 25 kilometer kubik. Satu wilayah seluas 800.000 kilometer persegi, dari Banten hingga Sumatra Selatan, tenggelam dalam kegelapan. Siang berubah menjadi malam, dan udara dipenuhi bau belerang yang menyengat.
Tapi malapetaka sesungguhnya bukan pada suara atau abu, melainkan pada air laut yang bergerak. Sekitar dua pertiga tubuh Krakatau runtuh ke laut, menciptakan kaldera raksasa. Air yang terisap ke dalam kawah itu terpental balik dengan kekuatan maha dahsyat, menghasilkan tsunami raksasa. Ombak setinggi 42 meter menyapu pantai Merak. Desa-desa di pesisir hilang tanpa jejak. Di Lampung, air laut masuk sejauh dua kilometer ke daratan.
Sebuah desa bernama Teluk Betung lenyap seketika. Di Pulau Sebesi, yang hanya berjarak 12 kilometer dari Krakatau, seluruh 3.000 penduduknya musnah. Tidak ada yang tersisa, bahkan bangkai kapal pun tak ditemukan. Beberapa jam kemudian, ombak besar kedua menghantam Anyer dan Tanjung Lesung. Menara mercusuar Willem’s Toren, yang berdiri megah sejak 1855, roboh seperti mainan. Ada kesaksian dari pesisir Jawa yang menyebut laut naik seperti dinding raksasa.
Baca Juga: Batavia jadi Sarang Penyakit, Bandung Ibu Kota Pilihan Hindia Belanda
Gelombang pasang itu terus melaju ke segala arah. Di Samudra Hindia, ia terdeteksi hingga ke pantai Afrika Timur. Di pelabuhan Sri Lanka, ombaknya masih tercatat setinggi dua meter. Di Selandia Baru, alat pengukur pasang surut mencatat osilasi air laut selama lebih dari 24 jam. Bahkan di Prancis dan Antilles, sensor air laut mencatat gangguan kecil. Dunia benar-benar mendengar Krakatau menjerit.
Di sekitar Ketimbang (sekarang Kalianda, Lampung), sekitar tengah hari, abu panas yang bercampur gas dan batuan cair meluncur di atas permukaan laut. Awan itu bergerak cepat seperti badai api, membakar setiap yang dilaluinya. Dalam waktu beberapa menit, sekitar seribu orang tewas. Wilayah yang sebelumnya hijau berubah menjadi lautan abu.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menghitung setidaknya 165 kota dan desa musnah total, 132 lainnya rusak berat. Korban jiwa resmi tercatat 36.417 orang, tetapi banyak sejarawan memperkirakan angka sesungguhnya mendekati 100.000. Sekitar 90% di antaranya tewas akibat tsunami, sisanya karena awan panas dan debu vulkanik. Komunikasi yang terputus membuat laporan korban simpang siur selama berminggu-minggu.

Senja Jingga di Eropa, Bulan Kebiruan di Dunia
Bubuhan abu Krakatau menembus batas Indonesia dan menari di langit dunia. Dalam beberapa hari, atmosfer bumi berubah. Langit malam di Eropa berwarna jingga dan merah, sementara di London, senja tampak seperti kobaran api. Di New York, matahari terbenam berwarna ungu keemasan. Abu vulkanik dan gas sulfur dioksida yang terlempar ke stratosfer menyebar ke seluruh planet, menurunkan suhu global rata-rata hingga setengah derajat Celsius.
Selama dua tahun setelahnya, dunia mengalami musim dingin yang lebih panjang dari biasanya. Fenomena bulan biru muncul, bulan tampak kebiruan akibat pembiasan cahaya oleh partikel halus di udara. Dari fenomena inilah, sebagian ahli percaya bahwa lukisan The Scream karya Edvard Munch, yang menampilkan langit oranye kemerahan, mungkin terinspirasi oleh efek atmosfer pasca-Krakatau.
Beberapa bulan kemudian, laut masih membawa pesan dari bencana itu. Di pesisir Afrika Timur, sekelompok anak menemukan rakit besar dari batu apung hitam. Di atasnya, tulang-belulang manusia, monyet, dan bahkan dua harimau. Mereka telah terapung selama sembilan bulan, menyeberangi Samudra Hindia sejauh 7.000 kilometer. Dunia seolah mengirimkan cermin dari kedahsyatan peristiwa itu, bahwa tidak ada tempat yang terlalu jauh dari Krakatau.
Letusan Krakatau 1883 menjadi salah satu peristiwa pertama yang terekam dengan teknologi modern. Jaringan telegraf global yang baru beroperasi memungkinkan berita menyebar dengan cepat. Hanya beberapa jam setelah letusan besar, laporan telah sampai ke Singapura, India, lalu Eropa. Untuk pertama kalinya, dunia menyaksikan bencana alam secara langsung melalui kabel berita.
The Royal Society di London membentuk Komite Krakatau, dipimpin oleh ahli meteorologi George Symons, untuk mengumpulkan laporan dari seluruh dunia. Surat, kartu pos, bahkan catatan pelaut dikumpulkan, sebuah bentuk awal dari riset ilmiah global.
Baca Juga: Sejarah Gelap KAA Bandung, Konspirasi CIA Bunuh Zhou Enlai via Bom Kashmir Princess
Setahun kemudian, tim ilmuwan dikirim untuk memeriksa pulau yang tersisa. Dari tiga puncak Krakatau, hanya bagian selatan Rakata yang masih berdiri. Dua pertiganya lenyap, tenggelam di bawah laut. Ketika mereka tiba, tak ada tanda kehidupan, hanya batu panas dan abu.
Satu-satunya makhluk yang ditemukan hanyalah seekor laba-laba kecil di sisi selatan Rakata, bertahan di celah batu yang masih hangat. Tapi alam punya cara untuk bangkit. Dalam waktu setahun, tunas rumput mulai tumbuh di celah-celah abu. Lima tahun kemudian, burung-burung mulai kembali.
Tak semua dampak Krakatau bersifat alamiah. Di Banten, tak lama setelah letusan, rumor beredar bahwa bencana itu adalah hukuman Tuhan bagi penjajah Belanda. Ketegangan sosial meningkat. Lima minggu setelah letusan, seorang serdadu Belanda tewas ditikam di pasar Serang oleh seorang lelaki berjubah putih. Peristiwa itu, yang dianggap sebagai tanda kebangkitan kefanatikan agama, menjadi latar belakang bagi Pemberontakan Petani Banten pada 1888. Dengan kata lain, letusan Krakatau tidak hanya mengguncang bumi, tapi juga politik kolonial Hindia.
Empat puluh tujuh tahun kemudian, pada Agustus 1930, laut di lokasi kaldera Krakatau kembali bergolak. Dari dasar laut, muncul pulau baru, Anak Krakatau. Seperti pewaris yang lahir dari rahim bencana, ia tumbuh perlahan, mengingatkan bahwa bumi tidak pernah berhenti menulis ulang sejarahnya. Anak Krakatau terus tumbuh sepanjang abad ke-20, hingga letusan pada 2018 kembali melahirkan tsunami yang menewaskan lebih dari empat ratus orang. Gunung itu kehilangan dua pertiga volumenya, tapi terus hidup, seperti luka yang menolak sembuh.
Letusan Krakatau 1883 adalah simfoni kehancuran yang mengguncang peradaban. Ia bukan hanya cerita tentang gunung yang meledak, melainkan tentang dunia yang untuk pertama kalinya merasa betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam. Suaranya yang melintasi samudra, abunya yang menggelapkan langit global, dan gelombang air laut yang melintasi benua menjadikannya lebih dari sekadar letusan. Ia adalah kisah tentang planet yang bernafas, tentang bumi yang sesekali mengingatkan bahwa di bawah ketenangannya, ada tenaga purba yang menunggu saatnya untuk berbicara lagi.
