Beberapa waktu yang lalu "Tren Uang 10 Ribu di tangan Istri yang Tepat" kian menuai polemik bagi sejumlah warganet dan ibu-ibu di dunia nyata.
Beberapa konten kreator bahkan melakukan Stitch dan turut mengomentari pada akun tiktok bernama @merliana8.
Terlepas segala sesuatu yang viral di media sosial tidak selamanya bisa dianggap serius. Bisa saja konten yang bersangkutan hanya untuk mencari popularitas atau hanya sekedar ingin curhat dan berbagi pengalaman kepada orang lain atau justru "Just For Fun".
Terlepas dari niat yang ingin disampaikan, segala sesuatu yang di-posting melalui media sosial kerap harus berdasarkan pertimbangan. Segala hal yang terlanjur dibagikan ke dunia digital akan selalu memiliki rekam jejak meski selaku pemilik akun sudah menghapus postingan yang bersangkutan.
Begitu juga dengan akun @merliana8 yang sudah melakukan klarifikasi terkait postingannya yang sudah menyebabkan huru-hara di kalangan masyarakat dunia Maya. Namun tetap saja video yang bersangkutan sudah tersebar dan ter-download oleh orang lain.
Kekerasan Finansial dalam Keluarga
Narasi dalam video tersebut mengundang sejumlah kritik dari berbagai kalangan. Mulai dari menyayangkan masih bertahan dengan suami yang dianggap kurang bertanggung jawab. Suami yang egois, istri yang tidak beruntung hingga anjuran untuk berpisah.
Tren yang menuai kontra ini dianggap sudah menormalisasi keterbatasan ekonomi di tengah fakta "In this economy".
Dilansir dari kompas bisnis bahwa, menurut data yang sudah dihimpun dari BPS menyatakan garis kemiskinan pada Maret 2025 terdapat 609 ribu/ kapita atau per-kepala tiap bulan/20 ribu/hari.
Salah satu narasumber yang diwawancarai oleh Kompas TV bernama Mirza juga menganggap bahwa meminta istri untuk berhemat dengan uang ala kadarnya termasuk ke dalam kekerasan finansial.
Kalau istri dipaksa hemat itu salah satunya termasuk ke dalam kekerasan finansial sih. Karena sudah kewajiban suami untuk memenuhi semua kebutuhan dalam rumah tangga.
Menurut Prita Gozi selaku perencana keuangan sekaligus CEO PT. Zap Finance mengatakan secara definisi yang didapat dari WHO, bahwa kekerasan finansial adalah terjadinya pengendalian terhadap sumber daya ekonomi keluarga. Kondisi ini menyebabkan ada salah satu anggota atau korban yang kehilangan kemandirian finansial sehingga terpaksa bergantung kepada pelaku kekerasan finansial.
Masih menurut Prita , beberapa ciri-ciri financial abuse (kekerasan finansial) adalah ketika adanya salah satu pihak yang menguasai seluruh penghasilan pasangan dan tidak ada transparansi terhadap penggunaannya.

Selanjutnya melarang pasangan untuk mendapat penghasilan atau bekerja sehingga korban akan sangat bergantung finansialnya terhadap pelaku. Kemudian adanya pembatasan akses terhadap keuangan, misalnya pin kartu ATM yang tidak boleh diketahui pasangan dan dipegang hanya oleh satu orang.
Ciri-ciri lainnya adalah menyembunyikan informasi keuangan seperti tidak ada kejujuran terkait jumlah penghasilan, hutang atau adanya bantuan dari pihak luar. Kemudian membebani korban dengan tanggung jawab finansial yang tidak adil. Dan konteks tren 10 ribu/ hari termasuk ke dalam poin terakhir karena tidak ada kejelasan penggunaan keuangan. Apakah uang tersebut digunakan untuk makan 3 kali sehari, di kota mana yang terjadi demikian atau porsi makan itu untuk berapa kepala dalam keluarga.
Realitas Sosial yang Ada
Lewat tren ini membuat saya menerka-nerka, terlepas dari penggugah video yang menyatakan bahwa hal tersebut murni konten tapi apakah sebetulnya memang ada realitasnya yang terjadi di sebagian kalangan masyarakat.
Jika 10 ribu hanya digunakan untuk membeli kebutuhan pendamping nasi seperti tempe dan kangkung mungkin saja cukup. Sementara budgeting untuk membeli beras, minyak dan gas berbeda lagi. Kondisi seperti ini masih masuk akal.
Namun jika 10 Ribu hanya cukup untuk membeli pendamping makanan. Sementara kebutuhan lainnya seperti beras, minyak dan gas didapatkan dari pinjaman atau berhutang, kondisi ini masih terbilang masuk akal. Dan kasus ini yang sebetulnya menjadi realitas yang sudah ada sejak lama.
Bukan berarti menormalisasi berhutang tapi kenyataannya di lapangan seperti itu. Sudah berapa banyak warung-warung di sekitar masyarakat yang mengadakan kasbon untuk setiap pelanggannya. Hutang menandakan dua kondisi dalam keluarga, pertama bisa saja penghasilan yang didapat tidak seimbang dan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari atau yang kedua adanya pengaturan keuangan yang kurang baik sehingga kebutuhan dasar menjadi tidak terpenuhi.
Tren yang dianggap awalnya sebagai hiburan ternyata bisa dinormalisasi oleh beberapa masyarakat. Setelah konten tersebut viral ada seorang dokter yang menceritakan pasiennya mengurungkan niat untuk berobat karena menunggu uang jatah dari suaminya.
Dr. Mariska Haris dalam video yang diunggahnya di tiktok menyebutkan bahwa tren ini mampu mempengaruhi sikap seorang suami terhadap istrinya.
Menurut penuturannya ada anak yang mengalami kondisi sesak nafas sejak pagi tapi tidak kunjung untuk segera dibawa ke klinik pengobatan terdekat hanya karena menunggu uang dari suaminya yang sedang memancing.
Saya sudah tinggalin uang buat istri saya dok 200 ribu masa gak cukup. Kemudian istrinya menimpali kalau uang yang diberikan itu seminggu yang lalu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah itu kemudian suaminya berbicara, kamu memang bukan istri yang tepat, soalnya itu yang di medsos, yang di tiktok 10 ribu cukup buat semuanya.
Bagi sebagian orang konten yang beredar di media sosial sering kali di telan mentah-mentah dan berujung pada sikap normalisasi di kehidupan nyata.
Banyak dari masyarakat yang akhirnya hidup berdasarkan standar medsos khususnya di tiktok. Padahal segala konten yang tersebar di dunia Maya tak selamanya adalah realita yang terjadi pada pemilik akun yang bersangkutan. Bijak dalam ber medsos memang penting untuk diterapkan setiap pengguna.
Kejadian ini juga menjadi pembelajaran bagi konten kreator untuk membuat konten yang wajar saja. Jangan sampai hanya karena ingin viral segala hal dilakukan termasuk membuat konten yang kontroversial dan berujung dijadikan suatu hal yang dinormalisasi oleh masyarakat di dunia nyata. (*)