Dalam suasana rumah yang terlihat tenang, tak jarang menyelinap luka yang tak tampak di permukaan.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan, bentakan, atau bahkan tamparan, kerap dipandang “bandel” alih-alih sebagai korban. Buku Parenting Education: Kekerasan pada Anak dan Dampaknya hadir sebagai refleksi tajam atas kondisi tersebut.
Ditulis oleh empat akademisi Universitas Pendidikan Indonesia, buku ini menjadi panduan menyeluruh untuk mengenali, memahami, dan mengakhiri berbagai bentuk kekerasan yang masih sering terjadi atas nama pengasuhan.
Kekerasan terhadap anak bukan hanya peristiwa ekstrem yang terpampang di berita kriminal. Ia bisa hadir dalam bentuk ucapan sinis, bentakan spontan, atau hukuman fisik yang kerap dilegitimasi sebagai metode mendidik.
Buku ini membuka dengan pengantar filosofis tentang pentingnya keluarga sebagai ruang aman dan anak sebagai subjek yang memiliki hak utuh, bukan sekadar objek dalam sistem nilai orang tua.
Dua jenis kekerasan yang paling banyak mendapat sorotan dalam buku ini adalah kekerasan fisik dan emosional.
Kekerasan fisik, misalnya, dipaparkan tidak hanya sebagai tindakan yang melukai tubuh, tetapi juga yang meninggalkan bekas ketakutan dan trauma jangka panjang.
Data yang dikutip cukup mengejutkan: jutaan anak mengalami kekerasan fisik setiap tahun di dunia, dan sebagian besar dari mereka bahkan belum menginjak usia sekolah. Yang menyedihkan, pelaku terbanyak justru adalah orang tua sendiri.
Bentuk kekerasan yang awalnya dimaksudkan sebagai ‘pelajaran’ justru meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
Sementara itu, kekerasan emosional menjadi bagian yang lebih sulit dikenali.
Buku ini menunjukkan bahwa ejekan, ancaman, pengabaian, dan komentar yang menjatuhkan bisa membentuk luka batin yang jauh lebih kompleks dibanding luka fisik.

Anak yang dibesarkan dalam suasana penuh intimidasi emosional cenderung tumbuh dengan harga diri rendah, sulit menjalin hubungan sehat, dan mengalami gangguan perilaku ketika dewasa.
Buku ini menegaskan bahwa kekerasan emosional seringkali terjadi dalam pola asuh yang dianggap “biasa” oleh masyarakat kita.
Yang membedakan buku ini dari publikasi lain di bidang serupa adalah tawarannya terhadap pendekatan pencegahan yang realistis dan menyeluruh.
Para penulis tidak sekadar mengkritik pola pengasuhan yang keliru, tetapi juga menawarkan cara membangun hubungan yang sehat dengan anak.
Misalnya, dengan mengedepankan komunikasi yang terbuka, peningkatan literasi emosi bagi orang tua, serta perlunya integrasi pendidikan pengasuhan dalam kurikulum pendidikan formal maupun pelatihan masyarakat.
Disusun secara sistematis dalam tujuh bab utama, buku ini mengajak pembaca memahami anatomi kekerasan dalam rumah tangga mulai dari akar budaya, struktur sosial, hingga kebijakan hukum yang belum maksimal melindungi anak.
Lima bab terakhir mengulas secara khusus bentuk kekerasan fisik, emosional, seksual, penelantaran, dan cara pencegahannya.
Setiap bab tidak hanya informatif tetapi juga menyentuh sisi personal, seolah penulis ingin berbicara langsung pada para pembaca sebagai orang tua, guru, atau siapa pun yang berinteraksi dengan anak.
Keunggulan utama buku ini adalah kemampuannya menyatukan data akademik dengan narasi empatik. Bahasa yang digunakan terasa dekat dan tidak menggurui.
Itulah sebabnya buku ini bisa dijadikan bahan bacaan tidak hanya oleh kalangan akademisi, tetapi juga oleh orang tua di rumah, guru di sekolah, serta pendamping sosial yang bekerja di lapangan.
Namun buku ini belum menyinggung secara mendalam aspek budaya lokal yang kerap melanggengkan kekerasan dalam pengasuhan, seperti pepatah “anak dipukul tanda sayang” atau “disiplin itu harus keras.”
Kritik terhadap konstruksi sosial yang melegalkan kekerasan perlu lebih diperluas agar pembaca mampu merespons isu ini dari akar nilai yang tertanam dalam masyarakat.
Pada akhirnya, buku ini adalah panggilan moral agar kita tidak lagi menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari pendidikan anak.
Sebab anak bukan properti yang bisa dibentuk sesuka hati, melainkan manusia utuh yang butuh dihargai, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.
Dari rumah yang aman, anak-anak akan belajar menjadi manusia yang sehat jiwa raganya. Dan dari pola asuh yang penuh empati, kita semua sedang merawat masa depan bangsa. (*)