AYOBANDUNG.ID -- Di sebuah rumah sederhana di Gardujati, Bandung, lebih dari enam dekade lalu, sepasang suami istri memulai perjalanan kecil yang kelak menjadi besar. Handoko Subali dan Elizabeth Halim tak pernah membayangkan bahwa usaha tas tangan rumahan mereka akan tumbuh menjadi salah satu brand fesyen lokal paling dikenal di Indonesia, yakni Elizabeth.
Berawal dari sebuah mesin jahit, sepeda kumbang, dan semangat pantang menyerah, brand Elizabeth lahir bukan hanya dari kebutuhan, tapi dari mimpi. Mimpi untuk menghadirkan produk lokal berkualitas yang bisa bersaing dengan merek luar negeri. Dari satu tas ke ribuan, dari satu toko ke puluhan cabang, Elizabeth tumbuh bersama waktu.
Kini, di bawah kepemimpinan Lisa Subali, sang direktur sekaligus generasi penerus keluarga, Elizabeth memasuki babak baru. Lisa tak hanya mewarisi bisnis keluarga, tapi juga tanggung jawab untuk menjaga relevansi brand di tengah perubahan gaya hidup dan selera konsumen yang semakin dinamis.
Ia menyadari bahwa tantangan terbesar bukan hanya soal ekspansi, tetapi bagaimana tetap diterima oleh generasi milenial dan Gen Z yang memiliki selera dan ekspektasi berbeda. "Elizabeth memang brand yang sudah melegenda di Indonesia. Tapi saya ingin generasi milenial dan Gen Z juga merasa bahwa produk kami cocok untuk mereka," ujar Lisa.
Lisa menyadari bahwa generasi muda memiliki karakter unik di antaranya cepat bosan, kritis terhadap harga, dan sangat peduli pada tren. "Fase milenial hingga Gen Z yang dipertahankan tentu kualitas, harga, dan inovasi. Kita nggak boleh buat tas yang terlalu mahal. Saya harus menyesuaikan juga dengan mereka," ungkapnya.
Dalam satu dekade terakhir, minat generasi milenial dan Gen Z terhadap brand lokal mengalami peningkatan signifikan. Menurut laporan dari WGSN dan Katadata, lebih dari 52 persen penduduk Indonesia merupakan bagian dari dua generasi ini, dan mereka semakin menyadari bahwa produk lokal memiliki daya saing yang tinggi, baik dari segi kualitas maupun desain.
Generasi muda ini tidak lagi gengsi memakai brand lokal. Mereka justru mencari produk yang memiliki cerita di balik brand (brand storytelling), mengangkat nilai lokal dan keberlanjutan, terjangkau namun tetap stylish dan berkualitas, hingga diperkuat oleh kehadiran di media sosial dan kolaborasi dengan influencer.
Lisa pun menangkap tren ini dengan cermat. Ia menyadari bahwa Elizabeth, sebagai brand legendaris, memiliki modal kuat berupa sejarah panjang dan kualitas produk yang konsisten. Namun, agar tetap relevan, Elizabeth harus hadir dengan pendekatan yang lebih segar dan komunikatif.
"Anak muda sekarang suka brand yang punya cerita. Elizabeth punya itu. Tapi saya harus bisa menyampaikannya dengan cara yang mereka pahami, lewat media sosial, lewat event, lewat kolaborasi," tutur Lisa.
Tren ini juga didorong oleh kekuatan media sosial. Generasi Z dan milenial sangat terhubung dengan konten digital, dan mereka cenderung membentuk emotional brand attachment terhadap merek yang mencerminkan identitas dan aspirasi mereka.

Elizabeth memanfaatkan ini dengan menghadirkan konten yang relatable, seperti tips styling, behind-the-scenes produksi, hingga kampanye “Elizabeth Close to You”. "Sudah bukan zamannya brand hanya bicara soal produk. Kami ingin bicara soal gaya hidup, soal nilai, soal ekspresi diri. Itulah yang kami bawa dalam setiap koleksi dan kampanye," tambah Lisa.
Dengan sejarah lebih dari 60 tahun, Elizabeth bukan hanya brand fesyen, tapi juga simbol warisan yang terus beradaptasi. Generasi muda kini justru tertarik pada brand yang punya akar kuat namun tetap relevan. Mereka mencari keseimbangan antara nostalgia dan inovasi.
"Jadi tidak lagi ada perkataan 'Elizabeth zamannya mama saya', tapi sekarang 'saya juga pakai produk Elizabeth'. Sekarang saya harus berani main di aksesorisnya, tapi tetap simple karena generasi sekarang maunya yang simple tapi trendy,” kata Lisa.
Roadshow “Elizabeth Close to You” pun menjadi salah satu ruang interaktif antara brand dan konsumen muda. Di sana, influencer, fashion enthusiast, dan masyarakat umum diajak berdiskusi, berbagi ilmu, dan menikmati koleksi terbaru Elizabeth.
Di balik setiap sesinya, terselip cerita dan filosofi desain yang ingin disampaikan. Diskusi seputar fashion dan kecantikan menjadi jembatan antara brand dan audiens muda yang haus akan inspirasi dan edukasi. "Kami berharap dapat menjadi tempat untuk berbagi ilmu dan pengalaman baru yang menyenangkan, untuk konsumen Elizabeth sendiri," tutur Lisa.
Dalam setiap pertemuan, Lisa juga kerap membagikan kiat-kiat bertahan di industri fesyen yang dinamis. Ia menekankan pentingnya konsistensi, inovasi, dan keberanian untuk bereksperimen. "Kami tidak pernah berhenti belajar. Bahkan setelah puluhan tahun, kami tetap mencari tahu apa yang disukai pasar, terutama anak muda," ujarnya.
Elizabeth juga aktif di media sosial, menghadirkan konten yang segar dan relatable. Mulai dari tips styling, behind-the-scenes produksi, hingga kolaborasi dengan kreator lokal. Semua dilakukan untuk membangun koneksi yang lebih personal dengan konsumen.
"Langkah ini adalah sarana memperkenalkan kembali Elizabeth ke generasi muda. Kami ingin mereka merasa bahwa Elizabeth bukan hanya brand lama, tapi brand yang tumbuh bersama mereka," jelas Lisa.
Dengan semangat yang tak pernah padam, Elizabeth terus melangkah. Jenama lokal ini bukan hanya bertahan, tapi berkembang. Dari generasi ke generasi, dari satu gaya ke gaya lainnya, Elizabeth tetap menjadi bagian dari cerita fesyen Indonesia.
"Fashion adalah ekspresi diri. Kami berharap orang-orang dapat memanfaatkan kreativitas mereka dalam fashion yang mencerminkan siapa mereka, layaknya Elizabeth yang terus berevolusi," pungkas Lisa.
Informasi brand lokal Elizabeth
Instagram: https://www.instagram.com/elizabeth_ez
Link pembelian produk brand lokal Elizabeth: