Pragmatisme Merdeka dalam Kegelisahan Panjang

Vito Prasetyo
Ditulis oleh Vito Prasetyo diterbitkan Senin 21 Jul 2025, 09:05 WIB
Apakah kemerdekaan hanya sebatas bebas dari kolonialisme fisik? (Sumber: Pexels/ahmad syahrir)

Apakah kemerdekaan hanya sebatas bebas dari kolonialisme fisik? (Sumber: Pexels/ahmad syahrir)

Setiap tahun, kita merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, lagu-lagu perjuangan dikumandangkan, dan pidato heroik dilantunkan. 

Namun di tengah kemeriahan itu, ada kegelisahan yang menggumpal. Entah, apakah ada yang keliru dalam perjalanan sejarah, atau makna merdeka itu sendiri terlalu sempit untuk dimengerti.

Kita telah sepakat bahwa merdeka berarti bebas dari penjajahan. Tapi apakah kemerdekaan hanya sebatas bebas dari kolonialisme fisik? 

Bagaimana dengan penjajahan struktural, digital, dan mental yang justru makin mengakar dalam kehidupan kita? 

Kemerdekaan yang kita warisi hari ini tampak lebih sebagai narasi simbolik ketimbang praksis hidup sehari-hari. Ketika masyarakat kecil sulit mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan hukum, kita dipaksa untuk bertanya ulang: sudahkah kita benar-benar merdeka?

Laporan Oxfam Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional. Ketimpangan ekonomi ini menciptakan jurang sosial yang tidak kalah kejam dari penjajahan kolonial. Kemerdekaan yang seharusnya membebaskan justru terasa memenjarakan sebagian besar rakyat dalam siklus kemiskinan.

Di sisi lain, WALHI mencatat semakin banyak ruang hidup masyarakat adat yang dirampas atas nama pembangunan. Ketika tanah, air, dan hutan diambil alih untuk investasi, apakah itu bukan bentuk baru dari kolonialisme, hanya saja kini berwajah legal? 

Kebebasan yang dibelenggu!

Demokrasi menjanjikan kebebasan berpendapat, tapi kenyataan berkata lain. Menurut Amnesty International, pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Aktivis, jurnalis, bahkan mahasiswa kerap dibungkam melalui UU ITE dan tekanan sosial-politik. Kita mungkin merdeka secara formal, tapi belum tentu bebas untuk bersuara.

Di ruang digital, keterbatasan akses teknologi dan literasi informasi menciptakan bentuk penjajahan baru.

Masyarakat pinggiran masih berjuang untuk sekadar ā€œterhubungā€, sementara kota-kota besar sudah bicara soal kecerdasan buatan dan revolusi industri 5.0. Apakah ini adil?

Prof. Yudi Latif pernah berkata bahwa kemerdekaan tanpa keadilan sosial hanya akan menghasilkan kekecewaan kolektif. Dalam pandangannya, makna merdeka harus dikaitkan dengan kemampuan bangsa ini untuk menciptakan kesejahteraan dan martabat bagi seluruh rakyatnya.

Filsuf Franz Magnis-Suseno bahkan lebih lugas:

ā€œBangsa tidak bisa disebut merdeka bila rakyatnya hidup dalam ketakutan, kemiskinan, dan tanpa suara.ā€

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan soal masa lalu—melainkan soal masa kini dan masa depan. Ini adalah pekerjaan rumah yang belum selesai. 

Noam Chomsky, meski berbicara dalam konteks global, menyentuh esensi kegelisahan ini:

ā€œKebebasan tanpa keadilan sosial adalah kebebasan yang hanya dinikmati oleh mereka yang sudah berkuasa.ā€

Kegelisahan terhadap makna merdeka muncul karena adanya kesenjangan antara idealisme dan realitas. Kita belum selesai mengisi kemerdekaan—bahkan bisa dibilang, kita belum benar-benar memaknainya.

Maka, pertanyaannya kini bukan lagi ā€œapakah kita sudah merdeka?ā€, melainkan: kemerdekaan seperti apa yang kita perjuangkan hari ini?

Apakah kita ingin sekadar bebas dari kolonialisme klasik, atau ingin benar-benar merdeka sebagai manusia—yang bebas berpikir, berpendapat, hidup layak, dan punya akses terhadap masa depan

Kemerdekaan yang perlu diinstal ulang! 

Laporan Oxfam Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional. (Sumber: Pexels/Vincent Tan)
Laporan Oxfam Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional. (Sumber: Pexels/Vincent Tan)

Di tengah peradaban modern yang serba cepat, ada kebutuhan untuk ā€œmenginstal ulangā€ pemahaman kita tentang merdeka. Merdeka seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan kesadaran kolektif untuk hidup bermartabat. Ia menuntut partisipasi aktif dalam membongkar ketidakadilan dan memperjuangkan ruang hidup yang setara. 

Maka, saat kita memperingati hari kemerdekaan, mari kita bertanya: Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Atau kita hanya terbiasa hidup dalam ilusi kemerdekaan?

Menurut Pramoedya Ananta Toer yang merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang paling vokal dan konsisten membela kebebasan berekspresi, meski ia sendiri menjadi korban pelanggaran terhadap hak itu. Pandangannya tentang kebebasan berbicara, menulis, dan berpikir sangat tajam dan relevan, terutama dalam konteks negara pascakolonial yang masih kerap membungkam suara berbeda.

Berikut adalah beberapa inti pandangan Pramoedya tentang kebebasan berekspresi:

  1. Menulis adalah tindakan perlawanan: 

Bagi Pramoedya, menulis bukan sekadar kegiatan sastra, tetapi tindakan politik dan moral. Ia pernah berkata:

ā€œOrang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.ā€ 

Pernyataan ini mencerminkan keyakinannya bahwa menulis adalah cara untuk merekam kebenaran, menolak lupa, dan melawan penindasan. 

  1. Bisu adalah bentuk penjajahan: 

Pramoedya mengalami pembungkaman secara langsung. Ia dipenjara tanpa pengadilan selama 14 tahun di Pulau Buru, dan selama itu, ia tetap menulis—dalam kondisi penuh pembatasan.

Dalam pengantar Tetralogi Buru, ia menyampaikan bahwa dalam kondisi tanpa kebebasan pun, ā€œorang masih bisa menulis dalam hati.ā€ Ini menunjukkan bahwa bagi Pramoedya, kebebasan berekspresi tidak bisa sepenuhnya dibungkam, bahkan oleh negara. 

  1. Negara semestinya tidak menjadi alat pembungkam: 

Ia secara terang-terangan mengkritik bagaimana negara menggunakan hukum, militer, dan birokrasi untuk mengekang ekspresi rakyat. Dalam wawancara maupun tulisan-tulisannya, Pramoedya sering menyuarakan bahwa kebebasan berpikir dan menyuarakan kebenaran adalah hak dasar manusia, bukan sesuatu yang boleh dikontrol oleh kekuasaan. 

ā€œDalam masyarakat yang belum dewasa, kebebasan berpikir dianggap dosa.ā€

  1. Sastra sebagai ruang kemerdekaan: 

Karya-karya Pramoedya, seperti Bumi Manusia atau Jejak Langkah, adalah refleksi mendalam tentang perjuangan melawan kebodohan sistemik dan represi. Ia menggunakan sastra sebagai medium untuk menyuarakan kebenaran sejarah dan menyalakan kesadaran kritis.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Pramoedya Ananta Toer percaya bahwa kebebasan berekspresi adalah esensi dari kemerdekaan manusia. Tanpa itu, kita hanya hidup dalam penjara yang tak kasat mata—dibungkam oleh ketakutan, dibatasi oleh sistem, dan dilupakan oleh sejarah.

Pandangan Pram ini sangat relevan ketika kita membicarakan skeptisisme terhadap makna merdeka. Sebab, selama ekspresi dibatasi, kritik dibungkam, dan suara minoritas dimatikan, kemerdekaan yang kita rayakan tidak lebih dari sekadar seremoni. 

Pragmatisme ini bukanlah sebuah gerakan perlawanan terhadap situasi yang sedang kita hadapi, tetapi lebih kepada refleksi kita akan kecintaan kepada bangsa dan negara.

Sekaligus sebagai gerakan sadar dalam berdemokrasi  Ibarat embun pagi yang tidak henti-hentinya mendinginkan kegerahan malam, kata-kata menjadi frasa terindah untuk tetap meletakkan harapan. 

Bulan depan, bulan Agustus adalah sejarah terbesar bagi negeri ini. Bukan hanya sekadar sebuah ritual tradisi dan seremonial.

Tetapi kita berharap, nilai-nilai kemerdekaan itu bisa menjadi tonggak dan pilar sejarah dalam dada anak-anak negeri. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Vito Prasetyo
Tentang Vito Prasetyo
Malang
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Jelajah 10 Sep 2025, 00:22 WIB

Sejarah Stroberi Ciwidey, Pernah jadi Sentra Produksi Terbesar dari Bandung Selatan

Stroberi Ciwidey lahir dari eksperimen petani, tumbuh jadi ikon agrowisata sekaligus sentra stroberi terbesar Indonesia.
Ilustrasi panen stroberi Ciwidey.
Ayo Netizen 09 Sep 2025, 20:15 WIB

Pengalaman Naik Angkot dari Leuwipanjang (Kopo) ke Soreang

Tentang pengalaman naik angkot jalur Soreang-Kopo ini, saya pun pernah menulis tema yang sama meski dalam media berbeda.
Ilustrasi angkot Soreang-Leuwipanjang. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 18:15 WIB

Berkenalan dengan Veslin, Komunitas Vespa Matic yang Satukan Hobi, Silaturahmi, dan Inovasi Bisnis

Dari percakapan spontan Veslin alias Vespa Ulin lahir, sebuah komunitas vespa matic yang mengusung semangat kebersamaan dan kesenangan tanpa beban.
Veslin alias Vespa Ulin lahir, sebuah komunitas vespa matic yang mengusung semangat kebersamaan dan kesenangan tanpa beban. (Sumber: instagram.com/veslin.id)
Ayo Netizen 09 Sep 2025, 17:14 WIB

Bandung, Kota Pendidikan, dan Tantangan Masa Depan

Menyoroti Kota Bandung sebagai magnet mahasiswa Indonesia, di balik ragam budaya dan hiruk pikuk kehidupan modern.
Daya tarik Bandung sebagai kota pendidikan sekaligus ekosistem pendidikan, terletak pada reputasi perguruan tinggi ternama. (Sumber: Pexels/Muhamad Firdaus)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 16:54 WIB

Ketika Bisnis Menjadi Jalan Kebaikan, Perjalanan Bisnis dari Okta Wirawan dan Abuya Grup

Okta membangun Abuya Grup sebagai kendaraan untuk mewujudkan mimpi memberi makan 100 ribu orang setiap hari hingga tentang infaq Rp2 miliar per hari.
CEO dan Founder Abuya Grup, Okta Wirawan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 09 Sep 2025, 16:01 WIB

Linguistik dan Kesusastraan

Bahasa merupakan alat komunikasi yang tujuannya untuk menjamin aktivitas sosial masyarakat.
Perpustakaan Nasional RI dalam memperingati 100 Tahun Chairil Anwar (Foto: Kawan-kawan dari TB, Ariqal Literasi SSB)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 15:50 WIB

Dari Dunia Perbankan ke Brownies Bebas Gluten: Transformasi Wulan Bersama Battenberg3

Battenberg3 lahir dari dapur rumah sebagai gagasan untuk menciptakan produk yang tidak hanya lezat, tapi juga aman bagi yang memiliki alergi atau kebutuhan khusus.
Founder Battenberg Tiga Indonesia atau Battenberg3, Nuraini Wulandari. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 09 Sep 2025, 15:19 WIB

Bandung Teknopolis di Gedebage, Proyek Gagal yang Tinggal Sejarah

Proyek Bandung Teknopolis pernah digadang jadi Silicon Valley versi lokal di zaman Ridwan Kamil, tapi kini hanya tinggal cerita banjir dan gimmick politik usang.
Blueprint peta Bandung Teknopolis di Gedebage yang gagal dibangun.
Ayo Netizen 09 Sep 2025, 14:02 WIB

Saya Tak Punya Walikota Bandung

Hidup di kota Bandung, banyak ragam budaya, tapi budaya sastra tak pernah hidup.
Muhammad Farhan, Walikota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 12:01 WIB

Percantik, Bukan Hanya Sekedar Produk Cantik dari Limbah Kain

Kisah inspiratif datang dari Nining Idaningsih, pemilik brand Percantik. Berawal dari kegemaran menjahit gamis berbahan katun Jepang pada tahun 2018, Nining kini mengembangkan usaha kreatif berbasis
Produk tas Percantik dari kain jeans bekas. (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 10:56 WIB

Cara Memperkuat Kemampuan Motorik Halus Anak dengan Mainan yang Tepat

Mainan anak dapat mengasah kemampuan motorik halus dan motorik kasar. Untuk melatih motorik halus, anak bisa menggunakan mainan seperti balok susun atau Lego yang membantu koordinasi mata dan fokus
Ilustrasi foto LEGO sebagai permainan yang memperkuat motorik anak. (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 09 Sep 2025, 09:00 WIB

Kuliner Legendaris: Ada Bubur Ayam Murah Meriah di Jantung Kota Bandung

Bandung dikenal dengan ragam kulinernya yang unik. Namun, ada satu sajian sederhana yang tetap jadi favorit warga, yaitu bubur ayam.
Ilustrasi bubur ayam dengan toping melimpah di Bandung. (Sumber: Youtube/Evan Media)
Ayo Netizen 09 Sep 2025, 08:33 WIB

Bandung, ABCD

Membacakan cerita ternyata bukan hanya tentang menghibur, melainkan ikhtiar menanamkan benih pengetahuan.
Gerakan Ayah Bacain Cerita Dong (ABCD) (Sumber: YouTube Topi Amali | Foto: Hasil tangkapan layar)
Ayo Jelajah 08 Sep 2025, 23:14 WIB

Sejarah Pemekaran Cimahi, Kota Tentara yang Lepas dari Bayangan Bandung

Cimahi resmi jadi kotip pada 1975, lalu lepas dari Bandung tahun 2001. Perjalanannya unik, dari kota tentara hingga kota penyangga industri.
Logo Kota Cimahi.
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 20:48 WIB

Betapa Menyebalkan Pungutan Liar Wisata di Jawa Barat

Jawa Barat adalah salah satu destinasi yang tak hanya memikat pagi para wisatawan dari luar tapi sumber pemasukan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Situs Bersejarah Stadion Malabar Gunung Puntang (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 17:53 WIB

Encuy ā€˜Preman Pensiun’: Sosok Aktor Pekerja Keras yang Mau Belajar

Encuy (Nandi Juliawan) Preman Pensiun berpulang pada Sabtu, 7 September 2025.
Encuy (Nandi Juliawan)-- berpulang pada Sabtu, 7 September 2025. (Sumber: Instagram/abenk_marco)
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 16:14 WIB

'Agama Rakyat' di Kota Bandung, Cuma Kita yang Enggak Ngeh

Membicarakan 'agama rakyat' memang tidak seperti membicarakan 'agama formal'.
Membicarakan 'agama rakyat' memang tidak seperti membicarakan 'agama formal'. (Sumber: Pexels/Ismail saja)
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 15:15 WIB

Dampak Kemarau Basah pada Potensi Produksi Pangan

Fenomena kemarau basah akan berpengaruh pada potensi produksi pangan sebagai upaya mencapai program kemandirian atau swasembada pangan di Indonesia
Ilustrasi kemarau di masa panen. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 08 Sep 2025, 13:02 WIB

Hanya Buka di Malam Hari, Pelanggan Nasi Kuning Pungkur Ngantre Sampai Subuh

Jika biasanya nasi kuning identik dengan sarapan pagi, lain halnya dengan warung kaki lima yang satu ini. Warung Nasi Kuning Pungkur, yang berlokasi di Jalan Pungkur No. 216, Kota Bandung, justru baru
Nasi Kuning Pungkur (Foto: GMAPS)
Ayo Jelajah 08 Sep 2025, 12:22 WIB

Sejarah Stadion GBLA, Panggung Kontroversi yang Hampir Dinamai Gelora Dada Rosada

Stadion Gelora Bandung Lautan Api lahir dengan ambisi besar untuk menjadi kandang Persib, namun sejak awal pembangunannya sudah penuh polemik, dari kasus korupsi, kerusakan, hingga tragedi suporter.
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Gedebage yang diproyeksikan jadi kandang Persib.