Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai 2029 merupakan keputusan monumental yang tidak bisa dibaca sekadar sebagai perubahan teknis tahapan pemilu.
Lebih dari itu, putusan ini adalah titik balik yang menuntut kita semua untuk menata ulang relasi antara negara dan warganya, terutama di tingkat lokal, dalam bingkai demokrasi.
Pemilu serentak lima kotak yang selama ini dipraktikkan memang menyatukan efisiensi logistik dan beban kerja administratif, namun di balik itu menyisakan kompleksitas yang justru menggerus kualitas dan partisipasi pemilu, khususnya dalam konteks daerah.
Jika kita ingin membangun demokrasi lokal yang sehat dan berakar, maka jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal yang dihasilkan dari putusan ini harus dibaca sebagai peluang.
Momentum ini sepatutnya dimanfaatkan bukan hanya untuk merapikan jadwal, tetapi untuk mengoreksi secara mendasar praktik demokrasi lokal yang selama ini cenderung formalistik dan terpusat.
Gejala Kemunduran Partisipasi Politik Lokal
Kita bisa berkaca pada data dari Provinsi Jawa Barat—provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia. Dalam Pilkada terakhir, tingkat partisipasi pemilih menurun dari 74% menjadi 68,06%. Penurunan hampir 6% ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari beragam persoalan struktural dan kultural.
Studi Bakesbangpol Jawa Barat bahkan menegaskan bahwa penurunan ini erat kaitannya dengan meningkatnya apatisme, lemahnya kepercayaan pada elite politik lokal, serta minimnya literasi politik warga.
Masalahnya kian pelik karena lebih dari 50% pemilih di Jabar berasal dari generasi muda, yakni Generasi Z dan milenial. Mereka yang seharusnya menjadi pilar masa depan demokrasi, justru menunjukkan gejala kejenuhan dan keterasingan terhadap proses politik.
Politik dianggap tidak menyentuh kehidupan sehari-hari, sementara pemilu hanya dilihat sebagai rutinitas lima tahunan yang tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman panjang di mana elite lokal gagal membangun kedekatan emosional dan programatik dengan warganya. Banyak kandidat kepala daerah yang tidak dikenal secara substansial oleh pemilihnya.
Kampanye politik masih didominasi oleh baliho, janji populis, dan praktik transaksional. Semua ini membuat rakyat merasa jauh, bahkan terasing, dari proses politik yang mestinya menjadi milik mereka.
Demokrasi Lokal Tanpa Evaluasi

Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal memang bisa dipahami secara teknokratik: untuk mengurangi beban logistik dan kompleksitas administrasi. Namun, ketika keputusan ini menghasilkan dampak berupa perpanjangan masa jabatan kepala daerah, maka pertanyaan mendasarnya adalah: siapa yang memberi mandat perpanjangan itu?
Dalam prinsip demokrasi, kekuasaan itu berasal dari rakyat dan dibatasi oleh waktu dan evaluasi periodik melalui pemilu. Ketika masa jabatan diperpanjang tanpa proses pemilihan, maka ada yang hilang dari prinsip akuntabilitas itu.
Rakyat kehilangan momentum untuk mengevaluasi kepemimpinan, sementara elite lokal memiliki ruang kekuasaan yang lebih panjang tanpa perlu mempertanggungjawabkan kinerjanya secara langsung.
Lebih berbahaya lagi jika perpanjangan ini menjadi preseden. Situasi darurat bisa menjadi dalih untuk melemahkan demokrasi prosedural. Kita tentu tidak ingin praktik demokrasi kita berubah menjadi demokrasi administratif, di mana pergantian kekuasaan hanya ditentukan oleh penyesuaian sistem, bukan kehendak rakyat.
Pendidikan Politik dan Literasi Kritis
Untuk membangun demokrasi lokal yang sehat, maka aspek substansi harus menjadi perhatian utama. Salah satu cara yang paling strategis adalah melalui pendidikan politik yang membumi dan relevan. Pendidikan politik bukan sekadar menjelaskan proses pemilu, tetapi menyentuh aspek nilai, kesadaran kritis, dan etika partisipatif.
Dalam konteks Jawa Barat, pendekatan pendidikan politik berbasis nilai budaya lokal menjadi jalan tengah yang potensial. Budaya Sunda yang menjunjung tinggi musyawarah, kolektivitas, dan sopan santun bisa dijadikan pintu masuk untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi deliberatif.
Pendekatan ini menghindari jargon-jargon demokrasi Barat yang mungkin terasa asing dan menggantinya dengan narasi yang akrab dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya ini tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan sinergi antara Bakesbangpol, Dinas Pendidikan, organisasi masyarakat, kampus, hingga komunitas-komunitas pemuda. Generasi muda, terutama Gen Z, tidak bisa didekati dengan cara-cara lama. Mereka lahir dalam dunia digital dan terbiasa dengan komunikasi visual, cepat, dan personal.
Oleh karena itu, media sosial, konten kreatif, dan festival demokrasi harus menjadi bagian dari strategi besar pendidikan politik ke depan.
Menyiapkan Regenerasi
Salah satu tantangan terbesar demokrasi lokal saat ini adalah kemandekan regenerasi politik. Putusan MK yang memperpanjang masa jabatan kepala daerah justru berisiko mempersempit ruang tumbuhnya pemimpin baru. Tanpa pemilu, tanpa kompetisi, tanpa ruang untuk tampil, anak-anak muda akan kesulitan masuk dalam orbit politik daerah.
Kita perlu menciptakan ruang regenerasi yang sehat dan terbuka. Partai politik daerah harus dibenahi agar menjadi tempat kaderisasi, bukan sekadar kendaraan elektoral.
Pemuda harus didorong masuk dalam forum-forum partisipatif, seperti Musrenbang, forum anak muda desa, hingga keterlibatan dalam penyusunan kebijakan publik daerah. Proses ini bukan hanya soal mencetak pemimpin, tetapi membangun warga yang sadar hak dan tanggung jawabnya dalam kehidupan berbangsa.
Sementara itu, pemerintah daerah bisa memanfaatkan masa perpanjangan ini untuk memperkuat tata kelola partisipatif. Pelibatan publik dalam evaluasi program, transparansi anggaran, serta pelayanan berbasis aspirasi warga bisa menjadi jalan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah lokal. Jika tidak, maka masa perpanjangan ini akan terasa seperti masa kekuasaan tanpa rakyat.
Antisipasi Kelemahan

Putusan MK harus menjadi pemantik perbaikan sistemik. Keputusan ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa perencanaan lanjutan. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama untuk menyusun peta jalan demokrasi lokal yang baru. Jangan sampai pemilu lokal hanya dipindah waktunya, tapi penyakit lamanya tetap dibawa.
Kelemahan dalam sistem pemutakhiran data pemilih, minimnya edukasi menjelang pemilu, rendahnya kualitas kampanye, dan tidak berjalannya forum demokrasi lokal seperti DPRD, semua harus ditangani secara bersamaan. Momentum jeda antara 2024 hingga 2029 harus dimanfaatkan untuk membenahi ekosistem demokrasi lokal secara menyeluruh.
Apalagi jika melihat potensi partisipasi pemilih muda yang terus tumbuh, maka inilah saatnya membangun infrastruktur demokrasi yang responsif terhadap kebutuhan mereka. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara substansial. Demokrasi harus hadir di sekolah, di komunitas, di dunia digital, dan dalam budaya keseharian warga.
Titik Tolak
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan pemilu harus menjadi titik tolak reformasi demokrasi lokal. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan teknis atau efisiensi administratif. Demokrasi sejati bukan sekadar prosedur, tetapi relasi yang sehat antara negara dan rakyatnya.
Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan kepala daerah bukan sekadar soal waktu. Ia adalah pertaruhan besar bagi legitimasi pemerintahan daerah. Jika selama masa perpanjangan ini tidak ada upaya serius untuk membangun partisipasi, literasi, dan regenerasi politik, maka yang kita hasilkan hanyalah kekuasaan yang kosong.
Kita membutuhkan demokrasi lokal yang hidup: yang berakar pada nilai, yang tumbuh dari bawah, dan yang menjawab kebutuhan zaman. Putusan MK bisa menjadi awal dari perubahan itu—asal kita tidak menjadikannya akhir dari akuntabilitas rakyat. (*)