SMK Farmasi adalah sekolah yang ditunjukkan kepada mereka ingin memiliki keterampilan khusus untuk menghadapi dunia kerja.
Selain itu, SMK Farmasi sendiri memiliki peran penting dalam mempersiapkan dan membentuk tenaga kerja yang memiliki keterampilan di bidang kefarmasian untuk terjun langsung ke fasilitas pelayanan kefarmasian seperti apotek, puskesmas, rumah sakit dan sarana lain yang serupa.
Sejarah SMK Farmasi sendiri sudah ada dari tahun 1957. Ditandai dengan berdirinya SMK Farmasi Nasional di Surakarta.
Sementara untuk di Bandung diprakarsai oleh SMK Farmasi YPF Bandung pada tahun 1960. Lulusan farmasi di zaman itu bisa memiliki pekerjaan yang cukup stabil untuk kebutuhan hidup.
Selain masih belum banyak pesaing, saat itu juga pelayanan kefarmasian masih punya regulasi peraturan yang belum seketat hari ini.
Seperti yang kita tau lulusan Smk Farmasi tentu memiliki keahlian khusus yang bisa menjadi ciri di dunia kerja. Selain teori, lulusan farmasi juga diajarkan praktikum minimal tiga kali dalam seminggu. Praktek ini sendiri berkaitan dengan praktikum kimia/ fisika dan meracik obat.
Dunia farmasi yang syarat dengan nilai hafalan dan analisis yang tajam, tentu bukan perkara mudah bagi mereka yang sudah terlanjur masuk ke dalamnya. Perlu rasa sabar, ketelitian, pantang menyerah dan kedisiplinan yang kuat. Membuat jurnal berlembar-lembar dengan tulis tangan hingga bergadang untuk menyiapkan tugas keesokan harinya.
Selain harus melewati Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, calon lulusan farmasi juga perlu melewati Ujian Kompetensi demi mendapatkan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK).
Surat ini bisa dianalogikan sebagai SIM dalam mengemudi. Jadi STRTTK menjadi sebuah bukti bahwa lulusan farmasi dianggap kredibel dan memiliki skill yang sudah diakui melalui ujian kompetensi dalam melakukan pelayanan kefarmasian.
Ujian ini mengharuskan setiap siswa untuk mengerjakan 4 resep beserta sediaan produk farmasi dalam waktu 2 jam. Kegiatan ini seringkali menjadi momok bagi siswa, selain manajemen waktu, mentalitas pun diuji karena yang menjadi pengawas merupakan guru dari SMK lain atau dari dinas kesehatan terkait.
Terbitnya kebijakan baru melalui Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 membawa perubahan yang signifikan dalam regulasi tenaga kesehatan termasuk tenaga kefarmasian khususnya lulusan SMK. Peraturan ini menyatakan bahwa lulusan SMK Farmasi tidak lagi mendapatkan STRTTK sebagai syarat masuk ke dunia kerja.
UU NO.17 ini sebetulnya hanya memperbolehkan lulusan D3 yang bisa bekerja di pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit, klinik atau fasilitas kesehatan lainnya.

Bahkan Sarjana Farmasi (S1) pun yang dulunya sempat mendapat STR pun, kini harus terasingkan dan terombang-ambing oleh peraturan ini. Sarjana dituntut segera melanjutkan Profesi Apoteker untuk mendapatkan STRA.
Lagi dan lagi kebijakan ini memiliki kesenjangan bagi lulusannya. Sarjana diminta segera melanjutkan profesi namun biaya pendidikannya tiap tahun terus menaik.
Dalam satu tahun sekolah, mahasiswa harus menyiapkan uang kisaran 50 juta jika beruntung masuk perguruan tinggi. Namun bagi mereka yang tidak lulus maka harus mencari perguruan swasta yang harganya beragam mulai dari 70-150 juta untuk satu tahun.
Lagi dan lagi tidak semua masyarakat mampu menyediakan jumlah uang tersebut hanya dalam kurun waktu yang singkat. Fakta dan kesenjangan ini tentu menghadirkan masalah baru yaitu mereka menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis penulis, hadirnya kebijakan tersebut menjadi alasan bagi pemerintah dan dinas terkait untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di lapangan melalui upgrade skill dengan pendidikan. Namun regulasi yang belum berjalan dengan baik menghasilkan pelanggaran yang terkadang di normalisasikan.
Beberapa apotek yang taat dengan peraturan tentu akan menggunakan jasa D3 dalam operasionalnya. Mungkin bagi apotek besar hal ini bukan menjadi hal yang berarti tapi bagi apotek kecil justru sebaliknya.
Apotek yang memiliki penghasilan kecil tentu harus membuat pilihan. Pertama menyewa STRTTK lulusan D3 dengan biaya di bawah 500 ribu, namun tetap memperkerjakan lulusan SMK di pelayanan yang masih bisa dibayar murah sesuai tingkat pendidikan.
Pilihan kedua kadang pemilik benar-benar hanya memperkerjakan anak SMK untuk menekan angka operasional apotek. Tentu tujuan UU yang dibuat justru menimbulkan ketimpangan dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Baca Juga: Tren Preloved: Gaya Baru, Masalah Lama
Dinamika yang terjadi di dunia farmasi ini membuat lulusannya terkadang bekerja di luar bidang kemampuannya. Beberapa lulusan farmasi yang menyebar ke bidang lain ini menjadi tambahan kandidat pesaing bagi lulusan smk diluar farmasi. Banyak pekerjaan untuk lulusan smk yang tidak meminta persyaratan khusus, misalnya penjaga toko, kasir supermarket, waiters, barista dan lain-lain. Fenomena inilah yang membuat permasalahan baru di dunia pekerjaan tidak hanya bagi lulusan SMK tapi juga bagi para sarjana.
Sebetulnya UU ini perlu menjadi bahan diskusi kembali dengan melihat beberapa fakta di lingkungan. Disisi lain pemerintah dan dinas terkait menginginkan pelayanan kesehatan yang terorganisir dengan baik. Namun kenyataannya di lapangan seringkali pelanggaran yang diberikan menjadi sistem tebang pilih.
Instansi yang kedapatan melanggar tapi dia sanggup memberikan ‘ongkos jalan’ akan dengan mudah lolos dan mendapat peringatan untuk memperbaiki. Sementara bagi mereka yang melakukan kesalahan yang sama namun tidak mampu memberikan uang jalan, ancamannya bisnis akan ditutup bahkan bisa dipidanakan.
Memang tidak adil tapi itulah fakta yang terjadi di dunia kesehatan. Semoga para lulusan SMK Farmasi dan Sarjana Farmasi bisa mendapat keadilan yang serupa dengan lulusan D3.
Baca Juga: Kini 10 Netizen Terpilih Dapat Total Hadiah Rp1,5 Juta dari Ayobandung.id setiap Bulan
Jadi masihkah relevan untuk menyekolahkan anak ke SMK Farmasi ? Menurut penulis ada baiknya untuk mempertimbangkan kembali. Pertimbangan ini pun bisa disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak.
Apabila anak memiliki pilihan untuk melanjutkan di bidang pendidikan kedokteran dan farmasi, sebaiknya masuk ke SMA saja karena fakultas kedokteran tidak menerima lulusan selain dari SMA. Namun bagi yang orientasinya bekerja bisa saja masuk SMK Farmasi sebagai stimulasi yang kemudian bisa dilanjutkan ke jenjang D3 untuk bisa bekerja di pelayanan kefarmasian. (*)