Tren Preloved: Gaya Baru, Masalah Lama

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Kamis 19 Jun 2025, 17:00 WIB
Preloved sudah menjadi pilihan sadar berbagai kalangan. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)

Preloved sudah menjadi pilihan sadar berbagai kalangan. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)

Di berbagai sudut Instagram, Tiktok, Shopee, hingga pasar daring lokal, fenomena preloved atau barang bekas pakai kini menjelma menjadi gaya hidup. Bukan lagi soal keterpaksaan ekonomi, preloved sudah menjadi pilihan sadar berbagai kalangan, dari artis dan influencer, sampai mahasiswa dan ibu rumah tangga.

Artis-artis ternama tak segan mengadakan garage sale besar-besaran. Sebagian bahkan membagikan kisah tentang alasan spiritual atau ekologis di balik kebiasaan menjual barang bekas.

Seorang artis, misalnya, mengaku mulai membersihkan lemari pakaian setelah merenungi konsep hisab dalam ajaran agama, bahwa setiap kepemilikan akan dimintai pertanggungjawaban. Ia merasa tidak tenang memiliki puluhan pasang sepatu dan tas mahal yang jarang terpakai, mereka menjual barang preloved sebagai bentuk pertobatan kecil dan usaha mengurangi beban hisab atas gaya hidup berlebihan.

Di sisi lain, ada influencer lingkungan yang rutin menggelar thrift sale daring sebagai bentuk kampanye melawan fast fashion. Baginya, setiap baju yang dijual ulang adalah satu langkah kecil untuk mengurangi jejak karbon dan limbah tekstil yang terus menggunung di bumi.

Kalangan muda turut mempopulerkan tren ini lewat thrifting haul, OOTD preloved, dan akun jual beli bekas yang estetik. Bahkan ada yang dengan bangga mengatakan, “Preloved is the new luxury”.

Namun di balik nuansa estetik dan narasi keberlanjutan, muncul pertanyaan penting: apakah preloved benar-benar sebuah bentuk konsumsi berkesadaran? Atau justru hanya wajah baru dari budaya konsumsi lama, yang dibungkus dalam semangat "peduli lingkungan"?

Baca Juga: Kini 10 Netizen Terpilih Dapat Total Hadiah Rp1,5 Juta dari Ayobandung.id setiap Bulan

Budaya Konsumsi: Dari Kebutuhan ke Simbol Sosial

Untuk memahami tren preloved, kita perlu melihat bagaimana konsumsi hari ini telah mengalami pergeseran. Dulu, orang membeli barang karena kebutuhan. Kini, konsumsi sering kali bersifat simbolik, kita memakai sesuatu bukan hanya karena fungsinya, tapi karena makna sosialnya.

Dalam kerangka Jean Baudrillard, konsumsi bukan lagi soal guna (use value), tapi soal tanda (sign value). Barang-barang yang kita pakai adalah bagian dari komunikasi sosial, penanda status, selera, bahkan kepribadian. Maka tak heran jika preloved branded seperti tas bekas Louis Vuitton atau sepatu bekas Nike Air Jordan tetap diburu, meski harganya tak jauh dari yang baru.

Di titik ini, preloved bisa menjadi tindakan ambigu, apakah kita membeli karena ingin berhemat dan peduli lingkungan, atau hanya mencari cara baru agar tetap tampil bergaya dalam batas anggaran?

Tak bisa dipungkiri, preloved menawarkan ruang resistensi terhadap dominasi fast fashion. Di tengah banjirnya tren-tren cepat dan produksi massal yang menyisakan limbah, memilih barang bekas bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan. Setidaknya, ia memperpanjang usia pakai barang, mengurangi permintaan terhadap produk baru, dan menghidupkan kembali nilai guna.

Namun, ketika gaya hidup alternatif ini masuk ke pasar digital dan menjadi tren massal, muncul risiko komodifikasi ulang. Barang bekas tidak lagi dinilai dari fungsinya, tapi dari seberapa vintage, langka, atau “Instagramable” tampilannya. Maka preloved tak lagi hanya soal keberlanjutan, tapi juga soal estetika, selera, dan bahkan gengsi baru.

Preloved dan Masalah Sampah Global

Apakah preloved benar-benar sebuah bentuk konsumsi berkesadaran? (Sumber: Pexels/Abderrahmane Habibi)
Apakah preloved benar-benar sebuah bentuk konsumsi berkesadaran? (Sumber: Pexels/Abderrahmane Habibi)

Salah satu sisi gelap fenomena preloved yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana tren ini justru membuka jalur baru bagi sampah dunia masuk ke Indonesia. Di banyak kota, terutama pelabuhan-pelabuhan besar seperti Surabaya dan Batam, masuk ribuan ton pakaian bekas dari luar negeri setiap tahunnya.

Banyak di antaranya dibawa secara ilegal, meskipun pemerintah telah melarang impor pakaian bekas sejak lama. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran perdagangan, melainkan bagian dari praktik yang lebih luas dan sistemik: global waste dumping, atau pembuangan sampah global yang sering dibungkus dalam kedok “donasi” atau “ekonomi preloved”.

Dalam konteks yang lebih kritis, sebagian akademisi menyebutnya sebagai bentuk waste colonialism (kolonialisme sampah), di mana negara-negara maju mengalihkan beban limbah industrinya ke negara-negara berkembang. Indonesia, seperti banyak negara Global South lainnya, akhirnya menjadi tempat pembuangan akhir bagi ekses konsumsi dunia Barat yang tak terkendali.

Tren preloved juga menimbulkan satu jenis ilusi baru: "konsumsi yang merasa diri beretika". Karena membeli barang bekas dianggap "lebih ramah lingkungan", orang merasa bebas untuk membeli lebih banyak, lebih sering, tanpa rasa bersalah.

Padahal, esensi dari keberlanjutan bukan hanya apa yang kita beli, tapi juga seberapa sering, untuk apa, dan apakah kita benar-benar membutuhkannya.

Dengan kata lain, preloved bisa menjadi topeng moral baru. Tanpa kesadaran yang utuh, membeli barang bekas bukanlah solusi, hanya variasi lain dari kebiasaan konsumsi yang sama konsumtifnya.

Baca Juga: Historisitas Rel Mati, Jejak Besi Bandoeng—Soemedang dalam Lintasan Waktu

Haruskah Kita Menolak Preloved?

Tentu tidak. Fenomena preloved tetap menyimpan potensi besar jika dikelola dengan kesadaran. Ia bisa menjadi alat untuk mendidik masyarakat tentang daur ulang, tentang pentingnya memperpanjang usia barang, dan tentang alternatif dari dominasi pasar global. Namun, tren ini harus dibarengi dengan perubahan cara pandang.

Yang perlu dibangun adalah mentalitas konsumsi baru: bukan sekadar konsumsi yang murah atau berbeda, tapi konsumsi yang sadar. Sadar akan asal-usul barang, dampaknya pada lingkungan, dan kontribusinya terhadap sistem produksi global.

Tren preloved telah mengubah cara banyak orang melihat pakaian, gaya, dan nilai barang. Tapi ia juga memperlihatkan bagaimana ide baik bisa kehilangan maknanya ketika masuk ke dalam logika pasar.

Jika kita ingin benar-benar “peduli lingkungan” atau “anti-konsumerisme”, maka preloved bukanlah tujuan akhir, melainkan titik tolak. Kita tetap harus bertanya: apakah kita membeli karena butuh, atau karena ingin tampil? Apakah kita memakai karena fungsi, atau karena simbol?

Sebab pada akhirnya, konsumsi bukan hanya soal pilihan barang, tapi soal bagaimana kita membentuk hubungan yang lebih sehat, dengan diri kita sendiri, dengan orang lain, dan dengan bumi yang kita tinggali.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi bukan lagi persoalan ekonomi semata, melainkan ekspresi identitas, gaya, bahkan moralitas. Tapi tanpa kesadaran yang menyeluruh, preloved bisa saja berubah dari harapan menjadi ironi, menjadi jalur baru bagi limbah dunia, dan tetap memelihara siklus konsumtif dalam bungkus yang lebih lembut.

Maka, tantangannya bukan pada tren itu sendiri, melainkan pada cara kita memaknainya, yang paling penting bukanlah apa yang kita pakai, melainkan bagaimana kita hidup dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 03 Nov 2025, 20:51 WIB

Tawas, Bahan Sederhana dengan Khasiat Luar Biasa untuk Atasi Bau Badan

Si bening sederhana bernama tawas punya manfaat luar biasa.
Sejak lama, tawas digunakan dalam berbagai keperluan. (Sumber: Wikimedia Commons/Maxim Bilovitskiy)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 19:47 WIB

Fesyen sebagai Cerminan Kepribadian: Lebih dari Sekadar Gaya

Fashion tidak hanya berbicara tentang pakaian yang indah atau tren terkini, tetapi juga menjadi cara seseorang mengekspresikan diri.
Setiap pilihan busana, warna, hingga aksesori yang dikenakan seseorang menyimpan cerita tentang siapa dirinya (Sumber: Pexels/PNW Production)
Ayo Biz 03 Nov 2025, 19:40 WIB

Tempo vs Menteri Pertanian, AJI Tegaskan Sengketa Pers Bukan Urusan Pengadilan

Sengketa pers antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan Tempo bermula dari aduan terhadap pemberitaan Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”.
Sengketa pers antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan Tempo bermula dari aduan terhadap pemberitaan Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang tayang di akun X dan Instagram Tempo. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 03 Nov 2025, 19:24 WIB

Pusat Perbelanjaan Bandung di Era Digital, Bertahan atau Bertransformasi?

Bandung, kota yang dikenal sebagai Paris van Java, tak hanya memikat lewat pesona alam dan kulinernya, tetapi juga lewat denyut bisnis ritelnya yang dinamis.
Bandung, kota yang dikenal sebagai Paris van Java, tak hanya memikat lewat pesona alam dan kulinernya, tetapi juga lewat denyut bisnis ritelnya yang dinamis. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Jelajah 03 Nov 2025, 18:54 WIB

Sejarah Flyover Pasupati Bandung, Gagasan Kolonial yang Dieksekusi Setelah Reformasi

Flyover Pasupati Bandung menyimpan sejarah panjang, dari ide Thomas Karsten di era kolonial hingga menjadi simbol kemajuan urban modern Jawa Barat.
Flyover Pasupati Bandung. (Sumber: Ayobandung)
Ayo Jelajah 03 Nov 2025, 18:39 WIB

Hikayat Tragedi Lumpur Lapindo, Bencana Besar yang Tenggelamkan Belasan Desa di Sidoarjo

Sejarah amukan lumpur Lapindo telan 16 desa dan 60 ribu jiwa, tapi yang tenggelam bukan cuma rumah, juga nurani dan keadilan negeri ini.
Lumpur Lapindo. (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 17:54 WIB

Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying), Siswa SMAN 25 Bandung Diajak Lebih Bijak di Dunia Digital

Mahasiswa Telkom University mengedukasi siswa SMAN 25 Bandung tentang bahaya cyberbullying melalui kegiatan sosialisasi dan diskusi interaktif.
Dokumentasi Pribadi, sosialisasi "Perundungan Dunia Maya (cyberbullying)" SMAN 25 Bandung, 27 oktober 2025.
Ayo Biz 03 Nov 2025, 16:56 WIB

Fesyen Sunda dan Anak Muda Bandung: Warisan atau Wawasan yang Tergerus?

Sejak satu dekade terakhir, anak-anak muda mulai tampil dengan pangsi hitam, iket Sunda, atau aksara kuno yang menghiasi kaus mereka, simbol dari pencarian identitas budaya yang lama terpinggirkan.
[ilustrasi]Sejak satu dekade terakhir, anak-anak muda mulai tampil dengan pangsi hitam, iket Sunda, atau aksara kuno yang menghiasi kaus mereka, simbol dari pencarian identitas budaya yang lama terpinggirkan. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 15:41 WIB

Bandung dan Krisis Nurani Ekologis

Pemerintah kota Bandung tampak lebih sibuk memoles citra daripada memelihara kehidupan.
Sungai Cikapundung Kampung Cibarani Kota Bandung (Foto: Dokumen River Clean up)
Ayo Biz 03 Nov 2025, 14:56 WIB

Milenial dan Generasi Z Tak Lagi Beli Barang, Mereka Beli Nilai

Di tangan generasi milenial dan Gen Z, konsep Keberlanjutan menjelma menjadi gaya hidup yang menuntut transparansi, nilai, dan tanggung jawab sosial.
Produk upcycle, yang mengolah limbah menjadi barang bernilai, kini menjadi simbol perubahan yang digerakkan oleh kesadaran kolektif. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 14:46 WIB

‘Galgah’, Antonim Baru dari ‘Haus’ yang Resmi Masuk KBBI

Kata baru “galgah” sedang jadi sorotan warganet!
Kata "galgah" menunjukkan seseorang sudah tidak lagi haus. (Sumber: Pexels/Karola G)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 14:10 WIB

Cahaya di Tengah Luka: Ketulusan Ibu Timothy Anugerah yang Mengampuni dan Merangkul

Kehilangan seorang anak adalah duka yang tak terbayangkan. Namun, Ibu dari almarhum Timothy Anugerah memilih jalan yang tak biasa.
Ketulusan hati ibu Timothy Anugerah (Sumber: https://share.google/StTZP2teeh7VKZtTl)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 13:15 WIB

Diskusi Buku 'Berani Tidak Disukai' bersama Salman Reading Corner

Membaca adalah cara kita untuk menyelami pemikiran orang lain. Sementara berdiskusi adalah cara kita mengetahui berbagai macam perspektif.
Diskusi Buku Bersama Salman Reading Corner, Sabtu, 01 November 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 11:32 WIB

Menyalakan Kembali Lentera Peradaban

Refleksi Milad ke-113 Muhammadiyah.
Lentera dengan karya seni Islam. (Sumber: Pexels/Ahmed Aqtai)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 10:01 WIB

Perutku, Makanan, dan Rasa Lapar yang Sia-sia

Perut adalah salah satu inti kehidupan manusia. Dari sanalah segalanya bermula, dan juga sering berakhir.
Para pengungsi. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)
Ayo Netizen 03 Nov 2025, 08:12 WIB

Mati Kelaparan di Negeri para Bedebah

Membunuh memang tidak selamanya melukai tubuh seseorang dengan senjata.
Ilustrasi Meninggal karena kelaparan (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 20:37 WIB

Mengapa Tidur Cukup Sangat Penting? Begini Cara Mencapainya

Sering begadang? Hati-hati, kurang tidur bisa merusak kesehatan tubuh dan pikiranmu!
Ilustrasi tidur. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 17:53 WIB

Inspirasi Sosok yang Teguh Mengabdi di Cipadung Wetan

Sosok lurah di Cipadung Wetan yang memiliki dedikasi tinggi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Lurah Cipadung Wetan, Bapak Tarsujono S. Sos, M,. M,. (Sumber: Mila Aulia / dok. pribadi | Foto: Mila Aulia)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 15:14 WIB

Peran Orang Tua di Tengah Tantangan Pendidikan Modern

Perkembangan teknologi dan perubahan gaya belajar membuat pendidikan modern tidak lagi sama seperti dulu.
Orang tua dan anaknya. (Sumber: Pexels/Lgh_9)
Ayo Netizen 02 Nov 2025, 14:01 WIB

Ketika Kampus Tak Lagi Aman: Belajar dari Kasus Timothy Anugerah di Universitas Udayana

Kasus meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, membuka mata kita tentang bahaya perundungan di lingkungan kampus.
Korban perundungan, Timothy Anugerah. (Tiktok/apaajaboleh2012)