Brain Rot Illustration (Source: Canva | Photo: Made by Canva)

Ayo Netizen

'Brain Rot' dan Bioskop 10 Menit di Media Sosial

Senin 23 Jun 2025, 10:28 WIB

Istilah “brain rot” ini menjadi salah satu kata baru yang banyak disebutkan di media sosial. Heaton (2024) menggambarkan brain rot sebagai efek negatif dari konten berkualitas rendah dan remeh yang tersebar di berbagai platform digital.

Fenomena ini mencakup dampak teknologi terhadap cara berpikir manusia dan kelelahan otak akibat konsumsi konten yang cepat, terus-menerus, serta minim refleksi.

Salah satu contohnya adalah video pendek yang berisi cuplikan film, spoiler ending, atau potongan scene.

Jalan Pintas Menuju 'Ending'

Video resume film menyajikan ringkasan poin-poin penting dari film berdurasi 1,5 - 2 jam dalam versi super singkat.

Biasanya video resume dikemas dalam durasi 15-30 menit. Inti film dapat dimengerti tanpa perlu menonton secara utuh.

Beberapa faktor pendorong video jenis ini banyak diminati yakni: memberikan pemahaman alur cerita secara instan; kemasan video yang ciamik; penyampaian narasi yang membuat kita merasa didongengi sehingga lebih menghibur; hingga terbukanya ruang diskusi di kolom komentar.

Hasilnya, kita merasa cukup tahu untuk bisa ikut mengikuti diskusi di media sosial maupun dunia nyata hanya bermodalkan ringkasan. 

Kepuasan Semu dan Dampaknya pada Otak

Platform media sosial saat ini membuat kita terbiasa menikmati konten dalam format pendek dan cepat. Informasi disampaikan dengan cara yang ringan dalam durasi sesingkat-singkatnya.

Tidak sedikit beberapa video dibagi menjadi “part-part” demi menjaga durasi tidak terlalu panjang. Lama-lama, ini bisa menciptakan kepuasan semu.

Kita dibuat merasa sudah tahu jalan cerita film, padahal belum benar-benar mengalami dinamika cerita secara penuh, seperti pembangunan karakter, emosi, dan sinematografi yang membentuk pengalaman secara utuh.

Apalagi, saat ini spoiler bukan lagi dianggap pelanggaran etika. Akibatnya, permintaan terhadap jenis konten ini terus meningkat dan menciptakan pasar baru bagi kreator konten.

Apa Dampaknya bagi Kita?

Salah satu karakter anomali brainrot, Tralalero tralala. (Sumber: Istimewa)

Menonton film bukan hanya hiburan, namun melibatkan emosi, fokus, dan kesabaran. Menyaksikan film di bioskop selama 1,5–2 jam dengan atmosfer gelap, layar lebar, dan aturan untuk tidak memainkan gadget, secara tidak langsung mampu “memaksa” kita untuk fokus dan tenggelam dalam cerita.

Emosi penonton dibangun perlahan seiring alur film, menciptakan keterlibatan yang lebih mendalam. Sebaliknya, kebiasaan menonton hanya dari video singkat bisa membuat kita terbiasa dengan pola pikir instan. Kita jadi lebih fokus pada hasil akhir, bukan proses.

Gao et al., (2025) menemukan bahwa bagian otak bernama OFC (orbitofrontal cortex) berperan dalam pengambilan keputusan impulsif dan pencarian kesenangan cepat. Saat menonton video pendek, bagian ini bisa teraktivasi lebih kuat karena kontennya sangat sesuai dengan minat kita. Volume OFC yang meningkat menunjukkan otak makin responsif terhadap gratifikasi instan.

Selain itu, DLPFC (dorsolateral prefrontal cortex)—bagian otak yang bertugas mengatur emosi, fokus, dan kontrol diri—juga bisa terganggu karena terlalu sering distimulasi oleh konten cepat. Akibatnya, kita bisa jadi lebih impulsif dan sulit fokus.

Apakah Kebiasaan Ini Selalu Buruk?

Konten resume film juga memiliki nilai positif. Misalnya, bisa membantu orang memutuskan apakah sebuah film layak ditonton, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu atau akses ke bioskop.

Bagi kreator, maraknya video resume dan review film mampu menarik audiens lebih luas yang ingin menikmati film secara utuh setelah resumenya dirasa menarik.

Namun, perlu diingat bahwa beberapa konten resume film berisi spoiler dan bahkan bisa melanggar hak cipta dan etika, terlebih jika film tersebut masih tayang di bioskop. 

Menjadi Penonton Bijak

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Fenomena konten video resume film menunjukkan perubahan perilaku dalam menikmati film. Tidak ada yang salah dengan mencari efisiensi.

Namun sebuah karya seni akan lebih sempurna jika dinikmati secara utuh. Selain itu diperlukan peran pemerintah sebagai pembuat regulasi untuk menaruh perhatian terhadap fenomena ini agar karya kreatif tetap terlindungi.

Lebih dari itu, menonton film secara utuh, baik di bioskop atau layanan streaming adalah dapat menjadi momen untuk refreshing atau me time.

Karena, dalam era yang serba cepat ini, melambat sejenak dan menikmati proses bisa jadi bentuk perlawanan kecil terhadap budaya instan. (*)


Daftar Pustaka

Tags:
otakbrain rotanomalimedia sosial

Dary Fikriyyah

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor