Bubur Kampiun, Gang Selera Cibadak, Kamis, 26 Juni 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Ayo Netizen

Bubur Kampiun, Dessert Minangkabau yang Gugah Selera

Minggu 29 Jun 2025, 09:34 WIB

Coba bayangkan, kalau makanan bukan sekedar penghilang lapar semata tapi punya nilai sejarah yang membuat kita semakin bersyukur dengan keberadaannya.

Hari ini makanan bukan lagi simbol yang bisa menghantarkan cerita -cerita dibalik diberikannya nama pada sebuah makanan. Hari ini makanan hanya dianggap sebagai komoditas untuk penghilang lapar dan memulihkan energi setelah bekerja seharian.

Dalam proses makan, sebetulnya banyak hal-hal kecil yang bisa kita eksplorasi. Mulai dari warna, tekstur, rasa juga cerita dibalik hadirnya makanan tersebut.

Namun hal kecil ini justru sudah terlupakan, terlebih gadget sering kali menjadi distraksi dalam kegiatan makan. Sadar ga sih?

Kadang ada beberapa orang yang makan harus sambil menonton video mukbang untuk menggugah selera.

Mungkinkah rasa enak yang menggugah selera itu sebetulnya hanya ilusi dari video atau memang benar-benar rasa yang ada dalam lidah yang tersentuh secara langsung oleh makanan.

Perilaku ini terlihat sepele, padahal awal mula terjadinya nir empati manusia terhadap makanan. Proses inilah yang sering kali membuat manusia menghamburkan makanan. Pada ujungnya makanan yang tidak habis akan terbuang dan berdampak buruk terhadap lingkungan.

Baca Juga: AI, Neraka, dan Konten Viral: Kreatif atau Blunder?

Seperti makanan lainnya, bubur kampiun juga memiliki sejarah yang unik dalam proses penemuannya.

Bubur kampiun ditemukan dari proses ketidaksengajaan dalam sebuah perlombaan yang diadakan oleh Desa Jambu Air, Banuhampu, Bukittinggi. Kegiatan ini dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk menghilangkan rasa trauma akibat perang revolusi pada tahun 1951-1958.

Tanpa memiliki persiapan yang matang, nenek penjual bubur bernama Amai Zona mencampurkan segala jenis bubur dagangannya karena datang terlambat.

(Sumber: Youtube/Street Foods Village)

Sangat mengejutkan ketika kreativitas yang dihasilkan di waktu genting tersebut membawa sebuah kemenangan untuk nenek Amai Zona. Karena kemenangan inilah bubur tersebut dinamai bubur kampiun (diambil dari bahasa inggris champion).

Menariknya semua komponen yang berada dalam satu piring bubur kampiun ini memiliki filosofi tersendiri.

Misalnya, Bubur sumsum yang putih dan lembut erat kaitannya dengan sebuah kesederhanaan, rasa syukur yang mendalam serta kebersihan hati. Dengan warna yang bersinggungan, bubur ketam hitam melambangkan kebersamaan, kesatuan serta sebuah harapan akan kehidupan yang harmonis.

Sementara kolak pisang/ ubi menjadi sebuah makna yang melambangkan instrospeksi diri, pengingat sebuah kematian serta harapan akan pengampunan sebuah dosa.

Lalu bubur kacang hijau memiliki makna sebagai bentuk kesederhanaan, sebuah kehangatan dan pemulihan sebuah luka.

Bubur Candil yang kenyal pun melambangkan sebuah harmoni kehidupan, layaknya tidak kehidupan yang berputar dan rasa syukur atas berkah yang hadir.

Kemudian cantiknya pacar cina menjadi pun menjadi simbol kebersamaan, keharmonisan dan harapan baik. Tak luput santan sebagai pemanis dalam hidangan menjadi simbol bagi kemakmuran dan kesejahteraan.

Begitu dahsyatnya makna yang tersirat dalam sebuah makanan, apabila kita mau mentafakurinya. Rasanya makanan menjadi sebuah simbol yang terejawantahkan menjadi sebuah doa bagi siapa saja yang memakannya.

Lihat Juga: Setelah 180 Tahun, Karya Franz Junghuhn Terbit dalam Bahasa Indonesia

Menikmati sepiring bubur kampiun di sudut gang selera, memang menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Bagaimana ruangan sederhana itu menjadi saksi, kesinambungan antara manusia, alam, makanan dan doa-doa.

Semilir angin yang datang seakan mengiringi satu suapan yang berisi lembutnya bubur, kenyalnya Candil, asamnya pisang serta gurihnya santan yang menggugah selera dalam mulut. Gang selera yang terasa homey membuat penulis ingin berlama-lama melamun dan mencoba makanan khas lainnya yang tersaji. (*)

Tags:
bubur kampiunkulinerMinangkabau

Dias Ashari

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor