AI, Neraka, dan Konten Viral: Kreatif atau Blunder?

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Kamis 26 Jun 2025, 15:58 WIB
Video viral hasil rekayasa AI "Hari Pertama di Neraka". (Sumber: TikTok @veo3sesat)

Video viral hasil rekayasa AI "Hari Pertama di Neraka". (Sumber: TikTok @veo3sesat)

Baru-baru ini, media sosial digemparkan oleh sebuah video berjudul “Hari Pertama di Neraka”. Sekilas, judulnya terdengar menyeramkan, namun ketika melihat kontennya justru disampaikan dengan gaya vlog traveling yang santai.

Si kreator seolah tengah mengunjungi “tempat wisata baru” yaitu neraka. Narasi yang ringan, musik ceria, dan visualisasi absurd hasil AI generatif membuat konten ini terasa seperti gabungan antara parodi dan horor digital. Tapi benarkah ini sekadar hiburan?

Sebagian warganet menanggapi dengan tawa dan kekaguman akan kreativitasnya. Namun, tak sedikit pula yang menyuarakan keberatan. Di kolom komentar, muncul reaksi keras, menyebut video ini menyesatkan, tidak etis, bahkan melecehkan nilai-nilai agama.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut angkat bicara, mereka berfatwa bahwa menjadikan neraka sebagai objek humor adalah bentuk penyimpangan serius yang dapat mengikis rasa takzim terhadap perkara-perkara gaib yang sakral.

Masalahnya bukan hanya sekadar soal konten viral, ini adalah cerminan budaya digital yang sedang kita hadapi. Fenomena “Hari Pertama di Neraka” bukan muncul dari ruang hampa. Ia adalah bagian dari proses besar yang mengubah cara kita memproduksi, mengonsumsi, dan memaknai informasi, seperti yang dijelaskan dalam konsep konvergensi media.

Konsep ini dipopulerkan oleh Henry Jenkins, pakar budaya digital dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), dalam bukunya Convergence Culture (2006). Menurut Jenkins, konvergensi media bukan hanya tentang bertemunya teknologi (misalnya televisi dan internet), tapi juga bercampurnya isi, nilai, dan audiens dalam satu ekosistem yang cair dan tak berbatas.

Dulu, untuk memahami konsep neraka atau akhirat, orang akan mendengar ceramah, membaca kitab tafsir, atau mengaji bersama. Media yang digunakan bersifat formal, adiluhung, dan sakral.

Kini, satu video TikTok berdurasi 60 detik bisa menggambarkan ulang narasi neraka dengan visual buatan AI, disisipi musik elektronik, dan gagya bicara santai seperti travel influencer. Itulah wajah dunia digital hari ini, teknologi, agama, hiburan, dan interpretasi personal bercampur menjadi satu, menciptakan realitas baru yang cepat, visual, dan sulit dipilah antara makna yang benar atau sekadar sensasi.

Masalah utama dari visualisasi seperti ini yaitu “visualisasi AI tidak bersifat netral atau objektif”. Meskipun tampak mengesankan secara teknis, gambar-gambar buatan AI bukanlah representasi murni dari realitas spiritual, bukan hasil dari tafsiran agama, melainkan hasil dari kombinasi imajinasi, data visual populer, dan bias budaya.

Baca Juga: One Piece dan Cermin Demokrasi Indonesia, Fiksi yang Merefleksikan Realitas

AI generatif seperti Midjourney atau Runway menciptakan gambar berdasarkan data yang telah dilatih sebelumnya, misalnya lukisan klasik tentang neraka dari abad pertengahan Eropa, cuplikan film horor Hollywood, atau ilustrasi fantasi dari video game.

Artinya, apa yang tampak “menyerupai neraka” sering kali mencerminkan sudut pandang visual Barat atau rekontruksi dari budaya pop, bukan berdasarkan rujukan dari kitab suci atau tafsir ulama.

Ketika visual ini kemudian disusun menjadi video dengan narasi santai ala vlogger, disertai musik elektronik atau latar audio yang ceria, maka makna spiritualnya mulai terkikis. Neraka tidak lagi tampak sebagai tempat hukuman abadi yang mengerikan, melainkan sebagai destinasi eksotis yang bisa “dikunjungi”, direview, bahkan dijadikan bahan parodi.

Dalam konteks ini, fungsi media tidak lagi menjadi sarana edukasi atau renungan, tetapi justru menciptakan distorsi makna, realitas yang seharusnya sakral dan penuh rasa takut (takzim) berubah menjadi hiburan visual yang menarik klik dan share.

Video viral hasil rekayasa AI "Hari Pertama di Neraka". (Sumber: TikTok @veo3sesat)
Video viral hasil rekayasa AI "Hari Pertama di Neraka". (Sumber: TikTok @veo3sesat)

Ketika ini dikonsumsi secara luas, terutama oleh generasi muda yang tidak memiliki konteks religius yang kuat, maka risiko kesalahpahaman menjadi sangat tinggi.

Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu ceramahnya pernah mengingatkan:

"Jangan pernah menjadikan neraka sebagai candaan. Itu tempat yang sangat mengerikan, yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan segala bentuk siksaan."

Mengemas konsep neraka seolah-olah sebagai “destinasi eksotis” bukan hanya dianggap tidak pantas, hal ini juga merupakan bentuk penghinaan terhadap sesuatu yang diyakini sangat sakral.

Bukan berarti humor itu salah. Humor adalah bentuk komunikasi yang efektif, bahkan dalam dakwah sekalipun. Banyak penceramah yang cerdas dalam menyisipkan guyonan untuk mendekatkan diri pada jamaah. Tapi humor yang menyentuh wilayah spiritual sensitif seperti neraka, surga, atau Tuhan, membutuhkan kehati-hatian yang tinggi.

Dalam video viral tersebut, musik ceria mengiringi narasi tentang “lautan api” dan “manusia tanpa kulit menjerit.” Penonton tertawa, menyukai, dan membagikan, namun tanpa sadar mungkin mulai kehilangan batas antara hiburan dan kesadaran iman.

Salah satu ciri khas konvergensi media adalah peran aktif audiens. Kita bukan lagi hanya penonton, tetapi juga penyebar, komentator, bahkan pembuat ulang (remixer) dari konten yang kita lihat. Jenkins menyebutnya sebagai “participatory culture”, budaya partisipatif. Kondisi di mana masyarakat ikut berkontribusi dalam menciptakan, mengubah, dan menyebarkan konten.

Teori ini menjelaskan bagaimana netizen merespons video “Hari Pertama di Neraka” bukan hanya dengan komentar, tetapi dengan konten baru yang lahir dari reaksi para netizen itu sendiri.

Dalam hitungan hari, muncul berbagai versi yang memparodikan konsep aslinya. Ada yang membuat sekuel dengan judul “Hari Kedua di Neraka,” lengkap dengan cerita lanjutan yang lebih absurd dan lucu. Ada pula yang menyisipkan judul seperti “Tiket Masuk Neraka,” seolah-olah mengajak penonton membeli paket perjalanan ke alam gaib.

Namun tidak semua respons bernuansa lelucon. Di antara derasnya konten turunan, sebagian kreator mencoba memberikan klarifikasi dan edukasi. Mereka membuat video tandingan yang menjelaskan tentang neraka menurut perspektif tafsir Al-Qur’an, lengkap dengan kutipan ayat dan penjelasan ulama.

Dalam bentuk yang berbeda, video ini berusaha mengembalikan makna sakral yang sempat kabur akibat pendekatan komikal dan estetika digital dari video aslinya.

Fenomena ini menunjukan betapa kuatnya konvergensi media dalam membentuk ekosistem partisipatif yang dinamis. Ketika satu konten viral, masyarakat digital tak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga ikut memproduksi, memodifikasi, bahkan melawan balik dengan versi mereka sendiri.

Di ruang digital seperti ini, nilai-nilai agama, hiburan, dan teknologi tidak berdiri sendiri, melainkan saling berbenturan, saling meniru, dan kadang saling menegasi.

Di satu sisi, ini memperlihatkan kekuatan komunitas digital dalam berekspresi. Tapi di sisi lain, kebebasan ini juga bisa menciptakan kekacauan makna, apalagi ketika konten-konten yang menyangkut hal sakral disulap menjadi hiburan ringan tanpa kontrol nilai.

Kritik terhadap konten seperti ini bukan hanya tentang keanehannya, tapi tentang kekuatannya memengaruhi persepsi publik, terutama generasi muda yang lebih akrab dengan TikTok ketimbang kitab suci.

Baca Juga: Inilah Penyebab Harga Obat Mahal di Indonesia

Ketika visual sinematik buatan AI lebih sering dilihat daripada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan neraka, maka terjadi pergeseran epistemologis, cara kita mengetahui dan mempercayai sesuatu berubah. Yang lucu dan viral lebih mudah dipercaya, dibandingkan yang dalam dan benar.

Fenomena “Hari Pertama di Neraka” bukan sekadar soal kreativitas digital. Ia adalah simbol dari pertarungan makna di era yang penuh simulasi. Ketika agama, teknologi, dan hiburan saling berinteraksi di atas algoritma, isu yang muncul bukan lagi sekadar soal boleh atau tidak, tetapi soal dampaknya terhadap kesadaran kolektif kita.

Karena dalam dunia yang dibentuk oleh klik dan simulasi ini, yang sakral pun bisa tergelincir menjadi sekadar efek visual. Maka yang kita butuhkan bukan sekadar larangan, tetapi literasi digital yang berakar pada nilai, agar kita tetap bisa melihat perbedaan  antara iman dan hiburan. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 21 Agu 2025, 20:18 WIB

Cara Kerja Rezim Algoritma

Opini ini meninjau kembali kebijakan yang putuskan atas pemblokiran rekening bank oleh pemerintah.
Opini ini meninjau kembali kebijakan yang putuskan atas pemblokiran rekening bank oleh pemerintah. (Sumber: Pexels/Defrino Maasy)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 18:26 WIB

Demam K-Beauty di Bandung, Klinik Kecantikan Berlomba Hadirkan Perawatan ala Korea

Tren K-beauty berkembang pesat, mendorong lahirnya berbagai klinik kecantikan yang mengusung filosofi dan teknologi Korea sebagai daya tarik utama.
Standar kecantikan Korea Selatan telah menjadi acuan global dalam beberapa tahun terakhir. Kulit wajah sehat, lembap, dan glowing bukan lagi sekadar impian para penggemar K-beauty. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 21 Agu 2025, 17:16 WIB

Investor Rugi, Negara Untung? Menakar Keadilan Pajak Kripto

Menelaah efek kenaikan PPh final pada pasar kripto dan dampaknya untuk investor.
Investor yang merugi tetap dikenakan pajak (Sumber: Ilustrasi oleh AI)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 16:38 WIB

Di Kota yang Tak Pernah Kehabisan Gaya, Adi Wardana Menyulap Sneaker Jadi Identitas

Kota Bandung bukan hanya rumah bagi musisi, seniman, dan desainer, tapi juga menjadi ekosistem subur bagi budaya sneaker yang terus tumbuh.
Adi Wardana, seorang disk jockey asal Kota Bandung yang menjadikan sneaker sebagai bagian dari identitas dan narasi hidupnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 21 Agu 2025, 16:07 WIB

Jejak Sejarah Freemason di Bandung, Loji Sint Jan yang Dilarang Soekarno

Jalan Wastukencana dulu bernama Logeweg karena Loji Sint Jan. Kini, jejak sejarah Freemason di Bandung tertutup Masjid Al Ukhuwah.
Loji Sint Jan yang menyimpan sejarah jejak Freemason di Bandung (Sumber: Ayobandung)
Ayo Netizen 21 Agu 2025, 16:00 WIB

Membaca Makna Kemerdekaan Indonesia Timur dari Buku Karya Dian Purnomo

Sejatinya kemerdekaan juga seharusnya menjadi hak bagi mereka yang tinggal di timur Indonesia.
Buku Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 15:09 WIB

Prof Wanjat Kastolani dan Formula Sederhana untuk Menyelesaikan Sampah dari Akarnya

Wanjat Kastolani tidak sedang menciptakan teknologi revolusioner. Ia justru menantang paradigma lama dengan pendekatan yang nyaris tak terdengar, menyelesaikan sampah dari akarnya.
Wanjat Kastolani tidak sedang menciptakan teknologi revolusioner. Ia justru menantang paradigma lama dengan pendekatan yang nyaris tak terdengar, menyelesaikan sampah dari akarnya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 21 Agu 2025, 14:47 WIB

Ci Geureuh, Sungai yang Bergemuruh

Ketika toponimi itu diberikan pada aliran Sungai Ci Geureuh, keadaan aliran airnya menimbulkan suara bergemuruh yang menggetarkan. 
Ci Genter di dalam Taman Nasional Ujungkulon saat tenang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 12:37 WIB

Rahasia Rujak Ciherang Bertahan Bertahan Lebih Satu Abad

Sekilas, Rujak Ciherang terlihat sama seperti rujak buah pada umumnya. Potongan mangga, bengkuang, jambu air, hingga aneka buah segar lain berpadu dengan bumbu kental berwarna cokelat.
Sambal Rujak Ciherang (Foto: GMAPS)
Ayo Jelajah 21 Agu 2025, 11:46 WIB

Pertempuran Ciseupan Subang 1949, Pasukan Siliwangi di Lembah Dua Sungai

Pasukan Divisi Siliwangi berhasil memukul mundur Belanda di Ciseupan, lembah dua sungai Subang, dengan korban besar di pihak lawan.
Pertempuran Ciseupan Subang 1949. (Sumber: Wikimedia)
Mayantara 21 Agu 2025, 11:13 WIB

Ekspresi Kemerdekaan Warganet di Media Sosial

Kemerdekaan Indonesia bukan sekadar peristiwa sejarah yang tercatat pada 17 Agustus 1945.
Dalam konteks modern, makna kemerdekaan tidak hanya muncul melalui upacara atau perayaan formal, melainkan juga melalui interaksi digital yang melintasi ruang dan waktu. (Sumber: Unsplash/ Inna Safa)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 10:44 WIB

Pidato Presiden Prabowo Isyaratkan Arah Baru Perlindungan Konsumen di Indonesia

Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, Firman Turmantara, menilai pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan Rancangan APBN 20
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. (Sumber: Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia)
Ayo Biz 21 Agu 2025, 09:25 WIB

Baso Saturnus, Kuah Pedasnya Selalu Jadi Andalan

Di Bandung, ada satu warung bakso yang selalu jadi perbincangan karena rasanya juara dan tempatnya luas. Namanya Baso Saturnus, berlokasi di Jalan Saturnus, Margahayu, Rancasari, dengan cabang lain di
Baso Urat Saturnus yang memiliki kuah pedas. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 21 Agu 2025, 08:05 WIB

Rahasia Menjadi Guru yang Dirindukan oleh Murid-muridnya

Tak semua orang mampu menjadi guru yang baik, terlebih guru yang selalu dirindukan kehadirannya.
Gambar buku "Guru yang Dirindu" (Sumber: saya | Foto: Sam)
Ayo Netizen 20 Agu 2025, 20:06 WIB

Haruskah Olahraga Padel Dikenakan Pajak? PBJT Kota Bandung Segera Diterapkan

Esai ini membahas PBJT pada olahraga padel di Kota Bandung sebagai olahraga mewah untuk menambah pendapatan daerah.
Lapangan padel bermunculan di berbagai titik kota, ramai dipadati oleh anak muda dan pekerja yang menjadikan padel sebagai pilihan gaya hidup. (Sumber: Pexels/Ercan Evcimen)
Ayo Netizen 20 Agu 2025, 17:06 WIB

Benjang Masih Jadi Primadona di Pesta HUT RI ke-80

Setiap tanggal 17 Agustus, Ujungberung menjadi panggung hidup bagi tradisi yang telah mengakar di masyarakat, yaitu Benjang.
Fesival Benjang di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Mildan Abdalloh)
Ayo Biz 20 Agu 2025, 14:34 WIB

Menelisik Awal Mula Bisnis Bakso Ikan Sinar Bahari yang Makin Menggurita

Di tengah siang terik Kota Bandung, banyak orang mencari makanan pedas untuk menambah energi sekaligus menyegarkan suasana. Salah satu kuliner yang kini banyak diburu adalah bakso ikan mercon dan jand
Produk Bakso Ikan Bahari (Foto: Dok. Bakso Ikan Bahari)
Ayo Netizen 20 Agu 2025, 14:21 WIB

Bukan Sekadar Hobi, Industri Game Online Jadi Peluang Karier Success Before 30

Dari hobi menjadi profesi, game online membuka jalan baru menuju kesuksesan finansial dan karier di era digital.
gamer yang membuka seluruh peluang karier menuju jenjang ekonomi yang lebih baik (Sumber: Ilustrasi oleh AI)
Ayo Jelajah 20 Agu 2025, 13:58 WIB

Sejarah Es Cendol Elizabeth Bandung, Berawal dari Bon Toko Tas

Dari gerobak sederhana H. Rohman, Es Cendol Elizabeth tumbuh jadi ikon kuliner Bandung yang melegenda hingga kini.
Es Cendol Elizabeth, kuliner legendaris Bandung sejak 1970-an. (Sumber: Instagram @escendolelizabethofficial)
Ayo Biz 20 Agu 2025, 11:25 WIB

Jabar Media Summit 2025 Segera Digelar di Bandung, Cek Tanggalnya

Komunitas media yang diwakili oleh Ayo Bandung.id, Radar Cirebon, dan Suara.com akan menggelar Jabar Media Summit 2025 di Kota Bandung pada Kamis, 11 September 2025.
Jabar Media Summit 2025 (Foto: Logo)