Awal Agustus ini, DPRD Jawa Barat melalui Ketua Komisi I Rahmat Hidayat Djati, dalam forum resmi meminta maaf ke aktivis pemilu, Neni Nurhayati, atas peristiwa doxing dan serangan digital yang terjadi setelah ia menyuarakan kritik anggaran publikasi Pemerintah Provinsi Jabar.
Permintaan maaf itu, menariknya, mengatasnamakan Diskominfo (Dinas Komunikasi dan Informatika) Jabar yang pertama menguggah foto Neni dalam unggahannya yang akhirnya memicu perisakan digital tersebut.
Dalam pernyataannya, Rahmat mengungkapkan penyesalan atas kasus yang menyeret nama institusi pemerintahan. Ia menegaskan bahwa kritik adalah bagian sah dari demokrasi, dan tidak boleh dibalas dengan kekerasan digital atau penyebaran data pribadi secara sepihak.
Namun sayangnya, hingga kini Diskominfo Jabar belum mengeluarkan permintaan maaf. Yang mereka lakukan hanya satu hal: menghapus unggahan yang memicu persekusi digital.
Penghapusan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan bentuk pengakuan bahwa ada kekeliruan. Tapi menolak meminta maaf, (mungkin) hanya karena takut dianggap lemah atau kalah, adalah kekeliruan yang lebih besar.
Di dalam tradisi publik modern, permintaan maaf bukanlah bentuk kehinaan institusi. Justru sebaliknya, ia menunjukkan keluhuran akal sehat dan kepekaan terhadap warga masyarakat.
Sebab dalam relasi antara negara dan rakyat, terutama ketika muncul ketegangan akibat kritik, respons paling wajar bukanlah pembungkaman, melainkan klarifikasi yang sehat dan penghargaan atas keberanian warga bersuara.
Apalagi konteks yang diangkat oleh Neni adalah soal transparansi anggaran, sebuah isu yang seharusnya disambut pembukaan data dan dialog terbuka, bukan malah diserang balik. Ketika warga diperlakukan seolah musuh negara hanya karena mempertanyakan kebijakan, maka relasi antara pemerintah dan rakyat sudah pasti retak sehingga muncul somasi dari Neni.
Di titik ini, yang diperlukan bukan sekadar penghapusan unggahan, melainkan upaya pemulihan relasi. Dan itu dimulai dari permintaan maaf. Bukan untuk merendahkan martabat institusi, melainkan untuk membangun kembali saluran komunikasi yang sehat. Diskominfo Jabar masih punya waktu untuk menunjukkan bahwa mereka tidak anti-kritik dan tidak alergi suara publik.
Langkah pemulihan ini juga penting untuk masa depan hubungan yang lebih ideal antara institusi negara dan warga yang peduli. Kritik seperti yang disampaikan Neni bukan bentuk kebencian. Justru ia adalah bentuk kepedulian terhadap pengelolaan negara. Seharusnya kritik dimaknai sebagai bagian dari partisipasi aktif warga, bukan sebagai ancaman.
Ke depan, Diskominfo dan institusi serupa perlu membangun relasi dialogis dengan publik. Itu bisa dimulai dengan menyusun standar etika komunikasi publik digital yang menjamin tidak ada lagi unggahan institusi pemerintah yang mengarah stigmatisasi individu.
Selain itu, membangun ruang dengar seperti forum aspirasi atau kanal tanggapan terbuka bisa menjadi jembatan partisipasi yang lebih sehat ketimbang bermain narasi di media sosial secara sepihak.
Di tengah keprihatinan terhadap kualitas demokrasi digital kita hari ini, kasus Neni adalah pengingat bahwa negara tidak boleh kehilangan empati.
Ketika seorang warga menyampaikan suara dan justru diserang, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak pribadi, tapi martabat seluruh sistem pemerintahan. Jika institusi pemerintah bisa dengan tulus berkata, "Maaf, kami keliru," maka di situlah kepercayaan mulai tumbuh kembali.
Lembaga Perlindungan

Kita mengapresiasi tindak yang dilakukan Komisi I DPRD Jabar serata menunggu kebesaran jiwa Diskominfo Jabar.
Namun lebih dalam dari itu, kondisi ini kian menyiratkan betapa mendesaknya urgennya kehadiran Lembaga Perlindungan Data Pribadi (LPDP) yang independen dan berwenang penuh, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan, lembaga ini bertugas menangani aduan, menyelidiki pelanggaran, dan memberikan sanksi administratif kepada pengendali data, termasuk instansi negara.
Namun hingga Agustus 2025 ini, lembaga tersebut belum juga terbentuk. Menteri Komunikasi dan Informatika Digital Meutya Hafid menyebut masih menunggu peraturan presiden terkait struktur dan anggaran.
Ini alasan yang tak lagi bisa diterima karena UU tersebut sudah berjalan penuh sejak Oktober 2024. Tapi selama proses menunggu itu, kasus demi kasus serangan digital terus terjadi—tanpa ada jalur pengaduan yang efektif, tanpa perlindungan yang nyata.
Neni adalah potret kekosongan kelembagaan negara dalam melindungi warganya. Tanpa LPDP, regulasi hanya tinggal teks hukum di atas kertas. Aparat hukum pun terkesan lamban menindak pelaku meskipun sudah ada dasar hukum dari UU PDP maupun UU ITE.
Negara mesti sadar bahwa ini bukan sekadar kasus personal. Ini tentang demokrasi yang terancam dan terluka.
Ketika warga yang kritis diserang, disudutkan, bahkan diancam nyawanya, sementara pelaku berlindung di balik institusi, maka yang terguncang bukan hanya keadilan individual, tetapi fondasi negara hukum.
Akhir kata, negara harus hadir dalam bentuk lembaga konkret. Sudah waktunya Presiden mempercepat pembentukan LPDP agar publik tahu, bahwa hak digital mereka dijaga bukan hanya oleh moral, tapi juga oleh hukum.
Di sisi lain, mari kita jaga agar kritik tak dibalas persekusi, agar suara warga tak dibungkam karena sentimen, dan agar negara tidak terlalu sibuk menyusun narasi pembenaran sampai lupa bahwa rakyat sejatinya adalah mitra, bukan ancaman. (*)