Warga membuang minyak goreng bekas atau jelantah ke dalam tabung UCOllet di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Beranda

Gerakan Warga Kota Bandung Mengubah Kebiasaan Buang Jelantah Sembarangan

Jumat 10 Okt 2025, 08:17 WIB

AYOBANDUNG.ID – Di balik gurih dan renyahnya makanan yang digoreng, tersimpan satu bahan yang kerap luput dari perhatian: minyak goreng. Setiap kali wajan dipanaskan dan adonan tenggelam dalam minyak panas, sesungguhnya ada limbah yang perlahan menumpuk. Minyak yang telah berubah warna menjadi pekat itu dikenal sebagai jelantah.

Banyak orang membuangnya begitu saja, tanpa menyadari dampaknya bagi tanah dan air. Padahal, jika tidak dikelola dengan baik, jelantah dapat mencemari lingkungan dan merusak ekosistem di sekitarnya. Sebaliknya dengan pengelolaan limbah yang baik, jelantah bisa menjadi duit.

Sebagian pedagang menganggap minyak bekas hanya limbah dapur yang bisa diabaikan atau dibuang dimana saja. Eti (61), penjual gorengan di Pagarsih, mengaku membuangnya begitu saja.

Minyak jalantah mah teu dikumpulkeun deui. Eta we mun nyuci ketel kan milu palid. Teurang eta oge tiasa diical deui ka bandar, tapi abdi mah teu pernah kitu, da teu seeur oge jalantahna (Minyak jelantah tidak saya kumpulkan lagi. Kalau mencuci wajan, biasanya ikut terbawa aliran air ke saluran pembuangan. Sebenarnya saya tahu minyak itu bisa dijual ke penadah, tapi saya tidak pernah melakukannya karena minyak bekas saya juga tidak terlalu banyak),” katanya sambil mengaduk adonan gorengan yang sedang digoreng di minyak mendidih.

Minyak gorengan di sebuah penjual gorengan di Kota Bandung. (Foto: Faisal Fachmy)

Dalam sehari, Eti menggunakan sekitar dua liter minyak goreng baru. Minyak itu dipakai berulang kali hingga keruh dan kental. Setelah itu, sisa jelantah akan ikut hanyut bersama air cucian ke saluran pembuangan tanpa pikir panjang.

Berbeda dengan Eti, Wahyu (49), pedagang pecel lele di Jalan Buahbatu, justru memilih membawa minyak bekasnya pulang.

“Ya lumayan banyak (jelantah), itu dibawa aja ke rumah. Biasanya dibuang di tanah, kalau sembari dicuci sempat mampet saluran air di rumah,” tuturnya.

Ia mengaku baru tahu bahwa jelantah bisa dijual atau didaur ulang setelah mendengar ada perusahaan yang menampungnya.

“Kalau ke tanah mungkin gakan terlalu kelihatan efeknya, enggak kayak dibuang ke air atau selokan. Tahunya dijual ke bandar jelantah, baru tahu ada Noovoleum,” sambungnya.

Sementara itu, Restu (27), penjual gorengan di kawasan Dipatiukur, menganggap kebiasaan membuang jelantah sudah jadi rutinitas turun-temurun.

“Mungkin udah kebiasaan, jadi enggak tahu dampaknya jelek. Saya bawa (jelantah) ke rumah kadang dibuang dulu atau langsung dicuci aja. Hilang mengalir dibawa air sabun,” katanya.

Kebiasaan dari para penjual ini menggambarkan realitas yang kerap luput dari perhatian: limbah minyak goreng mengalir diam-diam ke tanah dan sungai, menimbulkan dampak ekologis yang tak kasat mata. Ketika minyak bekas itu bercampur dengan tanah, pori-porinya tertutup dan kesuburannya berkurang. Jika masuk ke saluran air, lemaknya mengeras dan menyumbat pipa dan ketika terbawa arus ke sungai atau laut, minyak itu mengapung di permukaan, menghalangi sinar matahari, dan mengganggu kehidupan biota air.

Ini baru sebagian dari penjual kecil-kecilan, bagaimana dengan penjual makanan kelas kakap atau tetesan dari ratusan juta dapur rumah tangga.

Survei Katadata Insight Center (KIC) tahun 2020 menunjukkan, hanya 35,7 persen rumah tangga yang tidak membuang minyak bekas mereka. Sebanyak 73,3 persen responden mengaku tidak tahu cara mengolah jelantah, 38,9 persen tidak tahu ke mana harus menjual, dan 34,4 persen merasa repot. Angka ini menunjukkan persoalan utama bukan semata niat, melainkan kesadaran dan informasi yang minim.

Inisiator BERKAH SARI Yosafat Nugroho dan Antonius Sapto M bersama menuangkan sekompan kecil jelantah ke tabung UCOllet di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Cijagra, Buahbatu Kota Bandung pada Selasa, 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)

Namun, di sisi lain kota yang sama, kesadaran itu mulai tumbuh. Di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Cijagra, Buahbatu, sekelompok umat mencoba membalik paradigma: dari limbah menjadi berkah. Gerakan itu dipelopori oleh dua pria, Yosafat Nugroho (58) dan Antonius Sapto M (58), yang terinspirasi oleh Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi.

Laudato Si yang diterbitkan pada Mei 2015 menjadi dasar lahirnya program Berkah Sari. “Salah satu gerakan yang ingin kami giatkan adalah Laudato Si. Ini adalah ajaran gereja tentang bumi, alam, dan lingkungan adalah ciptaan Tuhan dan kita sebagai manusia harus menjaga dan merawat bumi kita bersama,” kata Nugroho, Selasa, 7 Oktober 2025.

Dia menjelaskan tentang bahaya jelantah jika dibuang sembarangan.

“Jika sudah parah, bisa menyebabkan banjir. Misal jelantah yang dibuang ke selokan lalu berkumpul di danau atau laut ini juga bahaya. Karena sifat yang tak bisa menyatu antara air dan minyak. Ia akan membuat film yang menahan sinar matahari masuk, automatis biota pendukung ekosistem akan mati,” tuturnya.

Bagi Nugroho, gerakan ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga solidaritas sosial.

“Mengingat tidak semua individu punya finansial yang kuat untuk menyumbang, dengan adanya donasi jelantah ini semua bisa ikut terlibat,” ucapnya. Setiap liter jelantah yang disumbangkan diolah menjadi dana untuk membantu pembangunan Gereja St. Antonius Padua Rancasari yang sudah berjalan sejak Desember 2024.

Hingga September 2025, donasi yang terkumpul mencapai Rp69.950.752. Gereja bekerja sama dengan perusahaan Noovoleum yang menyediakan jerigen UCOllect untuk menampung minyak.

Warga berbincang tentang minyak goreng bekas atau yang dikenal sebagai jelantah yang bisa dijual di Jalan Raden Patah No. 6, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al Faritsi)

“Pihak gereja mengajukan untuk kerjasama kemudian setelah jerigen penuh, Noovoleum akan mengambil jelantah. Harga satu liter itu fluktuatif, yang terakhir Rp6.000 per liter,” ujar Nugroho.

Selain berperan dalam penggalangan dana, kerja sama ini juga menjadi langkah kecil melawan praktik gelap penjualan jelantah yang disuling ulang untuk dikonsumsi.

“Tidak sedikit penadah minyak jelantah mengolahnya lagi menjadi bening kemudian dijual lagi untuk dipakai. Itukan tidak sehat, kasinogennya karena sudah terkena panas,” katanya.

Kesadaran baru itu tidak lahir begitu saja.

“Ragu karena konsep awalnya adalah minyak jelantah. Seiring berjalannya waktu, jemaat mulai sadar sendiri dan ada nilai ibadah dan ekonomis juga didapat,” kata Sapto.

Sapto paham betul gerakan mengelola limbah minyak goreng ini memiliki tantangan dan keterbatasan. Terutama soal kesadaran.

“Kami berharap ada kesadaran kolektif yang lebih luas tentang ancaman iklim bagi bumi. Seperti masalah jelantah ini, kemudian memilah sampah, mungkin hal kecil tapi ini perlu digaungkan karena itu ajaran Laudato Si,” tutur Nugroho.

Tags:
Minyak jelantahLingkungan hidupKota BandungPenjual gorenganLimbah minyak

Ikbal Tawakal

Reporter

Andres Fatubun

Editor