Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Padjajaran. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Beranda

Miris Siswa SLBN Pajajaran, Minim Ruang Kelas hingga Terusir dari Asrama

Sabtu 26 Jul 2025, 09:22 WIB

AYOBANDUNG.ID— Pintu asrama putri di Pusat Layanan Sosial Griya Harapan Difabel (PPSGHD) Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat itu tergembok rapat ketika Anggita Pratiwi pergi ke Sekolah bersama dua siswi tunanetra, Selasa, 22 Juli 2025. Jam belajar usai, mereka kembali ke tempat singgah.

Namun yang menanti mereka bukanlah tempat istirahat yang teduh, melainkan tumpukan barang-barang yang dijejer di halaman. Gembok kamar dibobol, barang-barang anak-anak sudah dikeluarkan tanpa aba-aba.

"Mereka juga mengatakan bahwa kayak, 'Bu, kirain teh pulang cepat mau jalan-jalan tapi kok ternyata malah diusir, malah dibongkar, malah kayak gini' gitu," kata pembina asrama putri, Anggita Pratiwi seraya menirukan perkataan anak didiknya.

Pengusiran itu datang tanpa peringatan berarti dan terjadi hanya sehari sebelum Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli 2025. Ironis. Dua siswi itu bernama Kristina kelas 6 SDLB dan Wilda Ramdhaniawati Kelas 11 SMALB. Mengetahui sebagian barang-barang sudah dikeluarkan dari asrama, mereka menangis.

Kedua siswi yang sehari-hari mengandalkan layanan antar-jemput dari PPSGHD itu kini terpaksa pulang, dengan masa depan pendidikan yang menggantung. Padahal Kristina dan Wilda dititipkan ke asrama karena orang tua mereka tidak bisa terus merawatnya. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah untuk sang buah hati. Alhasil menitipkannya anak ke asrama adalah pilihan tepat bagi mereka.

Bagi para siswi tunanetra, bangunan sederhana itu adalah penghubung penting antara rumah dan sekolah. Maka keberadaan asrama dengan layanan antar-jemput dari Griya Harapan Difabel menjadi penopang keberlangsungan pendidikan mereka.

Kini, dua anak perempuan itu terpaksa pulang. Tanpa kepastian apakah esok bisa kembali belajar. Kondisi ini memukul psikis para siswi. Dalam keterbatasan penglihatan, mereka menghadapi ketidakpastian baru. Tak ada tempat bernaung, tak ada jaminan bisa tetap duduk di bangku sekolah seperti biasa. 

"Dampak siswanya memang satu terganggu secara mental kaya kaget dan sebagainya. Ya mungkin akan terancam enggak sekolah," ucap Anggita.

Yang lebih membuat heran, pengosongan hanya terjadi pada asrama putri. Sementara enam penghuni laki-laki yang tinggal di bangunan terpisah, tetap tinggal seperti biasa. Tak ada pemberitahuan serupa bagi mereka.

Namun narasi berbeda datang dari pihak pemerintah. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat membantah keras tudingan telah melakukan pengusiran. Kepala UPTD Griya Harapan Difabel, Andina Rahayu, menyebut bahwa tidak ada pemutusan akses terhadap pendidikan, apalagi pengusiran mendadak. Yang terjadi, menurut dia, adalah relokasi terencana.

“Pemberitaan di media sosial yang menyebut anak-anak itu diusir dan terancam putus sekolah tidak benar. Kami pastikan aktivitas belajar tetap berjalan, hanya lokasinya yang akan dipindahkan,” kata Andina dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu, 23 Juli 2025.

Menurut Andina, sejak 15 Juli lalu, pihak PPSGHD dan SLBN A Pajajaran telah menyepakati bahwa dua siswi tunanetra itu akan bergabung dengan klien disabilitas lainnya di lokasi baru. Alasannya untuk meningkatkan interaksi dan proses sosialisasi. Relokasi, katanya, dilakukan demi mendukung fungsi utama Griya Harapan Difabel sebagai panti rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas terlantar, sebagaimana sesuai mandat Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 125 Tahun 2022, Nomor 75 Tahun 2017, serta perubahan terbaru melalui Pergub Nomor 27 Tahun 2023.

Wisma Singosari, tempat tinggal lama para siswi, disebut tidak lagi optimal digunakan. Pada 2024, bangunan itu bahkan sempat kosong selama delapan bulan. Kini, dengan meningkatnya jumlah klien PPSGHD pada 2025, kebutuhan ruang meningkat. Maka pemanfaatan ulang fasilitas dianggap perlu.

"Relokasi ini dilakukan agar wisma Singosari dapat digunakan sebagai panti rehabilitasi sosial bagi para disabilitas terlantar di panti. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas layanan dan lingkungan yang lebih inklusif," ucapnya.

"Namun relokasi tidak akan mengganggu aktivitas pembelajaran maupun kegiatan para siswi," lanjutnya.

Kendati demikian, pernyataan tersebut tak serta merta menghapus kenyataan bahwa dua anak harus berkemas dalam hitungan jam, menghadapi perubahan besar dalam rutinitas mereka tanpa pemahaman yang utuh.

Di sisi lain, Dinas Sosial juga mengakui adanya keterbatasan logistik, termasuk soal pemenuhan kebutuhan dasar penghuni seperti makanan. Meski begitu, mereka menjamin sedang mengkaji solusi jangka panjang untuk menjamin kenyamanan seluruh klien.

“Masyarakat kami imbau agar tidak mudah terprovokasi. Semua pihak diharapkan mendukung terciptanya lingkungan pendidikan yang inklusif dan harmonis," ucap Andina. 

SLBN A Pajajaran bukan sekadar dibangun, tapi tumbuh dari jejak panjang sejarah. Ia menjadi pelopor pendidikan bagi penyandang tunanetra di Indonesia, bahkan telah berdiri jauh sebelum republik ini lahir.

Kala itu, Dr. Charles Herman August Westhoff, dokter spesialis mata berkebangsaan Belanda, menjadi pendorong terbentuknya pendidikan bagi tunanetra. Hal ini beriringan dengan banyaknya jumlah tunanetra di Hinda Belanda dan belum ada layanan pendidikan yang memadai.

Lalu pada 16 September 1901, Bandoengsche Blinden Instituut di Jalan Cicendo Nom 2, Bandung dibentuk. Setahun berselang, lembaga ini pindah ke Jalan Braga. Kemudian berpindah ke lahan seluas tiga hektare di Burgemeester Coopsweg—sekarang Jalan Pajajaran. Hingga kini, lahan tersebut menjadi lokasi tetap sekolah.

Pembangunan kompleks pendidikan tunanetra itu rampung pada 1903 dan diresmikan oleh Residen G.J.A.F. Oosthout. Pengelolaan kemudian dipercayakan kepada Dr. Westhoff, yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan. Kawasan ini tak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga berfungsi sebagai hunian bagi penyandang tunanetra.

Lembaga itu hadir bukan semata-mata sebagai sekolah, melainkan juga pusat pelatihan keterampilan hidup. Para siswa dibekali kemampuan praktis yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemandirian mereka di masa depan.

Memasuki tahun 1956, kepemimpinan sekolah dipegang oleh Drs. Mustafa Matsam, alumni pertama lembaga tersebut. Di bawah arahannya, kualitas pendidikan meningkat tajam dan institusi ini semakin dikenal sebagai pionir pendidikan inklusif di Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Mustafa, citra sekolah mengalami peningkatan. Ini terlihat dari adanya siswa yang mengikat Ujian Negara tingkat dasar dengan hasil yang memasukkan. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah memberi pengakuan resmi. Sekolah luar biasa itu diberi status negeri berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 03/SK/B/III, sekolah ini diberi status negeri.

Berpuluh-puluh tahun terlewati. Indonesia merdeka pada 1945. Sekolah khusus disabilitas masih berdiri kokoh. Pada 1981, kompleks Wyata Guna disertifikatkan dan dikuasai secara sepihak oleh Departemen Sosial. Imbasnya, aktifitas SLB menjadi terbatas. Untuk membangunkan pun mereka kesulitan sebab membutuhkan sertifikat tanah.

Kondisi diperparah dengan terbitnya Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 18 tahun 2018 yang mengatur tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas di Lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Wyata Guna berubah bentuk dari panti menjadi balai. 

Alih kelola ini mengakibatkan seluruh aset BPWG, termasuk tanah, menjadi aset Depsos RI. Kendati penerapan kewenangan Depsos di PSBN, eksistensi SLBN A Bandung sama sekali tidak berpengaruh. Lantaran SLBN A di bawah Kemendikbud. Sehingga area tanah eks Rumah Buta Bandung terdapat dua lembaga yaitu PSBN Wyata Guna dan SLBN A Kota Bandung.

Pembongkaran SLBN A Pajajaran. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

SLBN Seakan Terusir Perlahan dari Kompleks Wyata Guna

Kasus dua siswi yang diusir dari asrama putri hanyalah sepotong kecil dari potret suram di SLBN A Pajajaran. Sekolah bagi penyandang disabilitas itu perlahan menghadapi ancaman senyap: pemindahan diam-diam dari komplek Wyata Guna yang sudah lama menjadi rumah mereka.

Belum selamat dari ketidakjelasan sertifikat tanah, SLBN A Pajajaran menghadapi masalah baru. Gedung yang digunakan untuk aktivitas belajar-mengajar hilang satu per satu. Tapi bukan hilang karena dicuri, melainkan perubahan alih fungsi.

Pada 15 Mei 2025, seluruh warga sekolah dikejutkan dengan pembongkaran gedung D, tempat para siswa menimba ilmu. Ya, ruang-ruang itu digunakan sebagai kelas. Pembongkaran dilakukan ketika ujian kenaikkan kelas tengah berlangsung.

Gedung D dibongkar demi keberlangsungan Sekolah Rakyat, program yang diinisiasi oleh Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengentaskan Kemiskinan. Ironisnya, program tersebut malah mengorbankan hak disabilitas dalam mendapatkan ruang pendidikan.

Bahkan ada sejumlah pelajar yang terpaksa dipindahkan ke SLBN Cicendo agar bisa melaksanakan ujian. Tantangan baru harus mereka hadapi kala itu: beradaptasi. Untuk pergi ke toilet pun mereka kesulitan. Sebab fasilitas kedua tempat tersebut tidak sama lantaran beda peruntukannya. Hampir selama 2,5 bulan mereka di sana.

Ketua Komite Sekolah, Dadang Ginanjar mengatakan, sebelumnya sekolah berada di Jalan Pajajaran No. 50, memiliki 37 di 8 gedung yang berfungsi sebagai kelas. Namun jumlah itu terus berkurang hingga saat ini tersisa 12 kelas di tiga gedung, yakni A, B, dan C. Untuk gedung A sendiri difungsikan sebagai ruang TU dan bendahara. Sedangkan gedung B dan C sebagai ruang kelas, harus menampung 4 jenjang, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA, dengan total murid 116 orang.

Kondisi itu berdampak langsung pada terganggunya proses belajar-mengajar. Dalam satu ruang kelas, tak jarang lebih dari dua rombongan belajar disatukan. Padahal, para siswa merupakan anak-anak berkebutuhan khusus dengan ragam disabilitas yang berbeda. Setiap jenis disabilitas membutuhkan pendekatan dan metode pengajaran yang tidak bisa disamaratakan.

"Jadi orientasi yang digunakan itu pendengaran, mungkin bisa dilihat ketika satu ruangan ada dua guru berbicara otomatis anak tidak konsentrasi menerima pembelajaran yang harusnya dia dapatkan," ucapnya Rabu, 23 Juli 2025.

Di satu sisi, Dadang merasa bahwa keberadaan SLBN A Pajajaran seakan ada upaya agar dipindahkan dari kompleks Wyata Guna. Ini tak terlepas dari sejumlah kejadian yang terjadi, mulai dari kepastian lahan, hingga adanya Sekolah Rakyat. Untuk ruang pembelajaran saja, kini tersisa dua gedung saja.

"Kami dari orang tua merasakan itu. Kami khawatir karena sejarahnya kita berawal di Pajajaran nomor 50 dengan memiliki 8 gedung, kemudian berjalannya waktu berkurang jadi 5 gedung dan berkurang lagi jadi 3 gedung dan hanya dua gedung yang bisa digunakan yakni gedung C dan B," ucapnya.

Dadang menambahkan, pihak sekolah sempat menerima satu bangunan baru, yaitu Gedung E. Namun, bangunan tersebut tidak dimanfaatkan sebagai ruang kelas, melainkan difungsikan sebagai kantor kepala sekolah.

"Alhamdulillah kami mendapatkan gedung baru yaitu Gedung E, tapi itu tidak dijadikan ruang pembelajaran tapi sebagai kantor kepala sekolah. Namun pada pelaksanaannya diserahkan ke pihak sentra untuk kantor kepala sekolah Sekolah Rakyat," kata dia.

Dengan keterbatasan ruang yang ada, proses pembelajaran terganggu. Sejumlah ruang belajar seperti ruang musik dan perpustakaan hilang, sementara kegiatan ekstrakurikuler pun terpaksa ditiadakan.

"Banyak, termasuk eskul, ruang musik jadi ruang kelas. Jadi banyak eskul yang tidak bisa dijalankan di SLBN ini," ujar Dadang.

Ia menyebut pihak sekolah kini menghadapi kesulitan untuk menyusun jadwal dan pembagian ruang bagi empat jenjang pendidikan tersebut. 

"Itu pun yang jadi pemikiran lebih untuk bidang kurikulum untuk membagi ruangan kelas. Jadi memang kondisinya untuk sekarang kami harus bersabar melihat kondisi ruangan kelas anak-anak kami belajar," katanya.

Komite Orang Tua Siswa berharap ada langkah nyata dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi tersebut. Salah satu harapan terbesar adalah penuntasan persoalan legalitas lahan. Saat ini, status tanah masih berada di bawah kewenangan Kementerian Sosial dan belum dihibahkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

"Dan kami dari komite orang tua tidak bisa berbuat banyak kalau masalah itu. Untuk saat ini harapan kami lebih ke hak kepemilikan tanahnya yang saat ini masih dipegang Kemensos, agar bisa dihibahkan ke Pemprov Jabar untuk segera direalisasi," ucap Dadang.

Ia menegaskan, tanpa kepastian status lahan, pembangunan sekolah dan pemenuhan fasilitas sulit dilakukan. Pihak Dinas Pendidikan Jawa Barat, lanjut Dadang, sebelumnya menyatakan akan mengupayakan pembangunan tambahan ruang kelas melalui anggaran perubahan. Namun, realisasinya baru akan berjalan tahun depan.

"Karena secara administrasi, pembangunan dan apa pun itu tanpa status legalitas tanah tidak bisa dilakukan. Kalau SLB ini kan di bawah Pemprov Jabar," katanya.

Pemprov Jabar Pastikan Proses Pembelajaran Berjalan Normal

Di tengah permasalahan ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat memastikan bahwa kegiatan belajar-mengajar di SLBN A Pajajaran tidak akan terganggu dan berjalan normal. Sekretaris Daerah (Sekda) Herman Suryatman bahkan meninjau langsung ke lokasi, Kamis, 24 Juli 2025.

Dalam kunjungannya, ia menegaskan bahwa tidak ada pengusiran siswi dari asrama di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Griya Harapan Difabel (GHD) Cimahi atau PPSGHD. Ia menyebutnya relokasi. Pengosongan gedung lantaran akan ada penataan fasilitas pihak GHD.

"Tidak ada penggusuran. Ini hanya persoalan komunikasi yang kurang lancar, sehingga terjadi kesalahpahaman yang tentu tidak kita harapkan," kata Herman dalam siaran persnya, Kamis, 24 Juli 2025.

Pihaknya juga berkomitmen memperbaiki sarana pendidikan bagi penyandang disabilitas. Tahun ini, SLBN A Bandung akan mendapat perbaikan ringan pada sejumlah fasilitas sekolah guna menunjang kenyamanan peserta didik. Sementara itu, pembangunan gedung baru dua lantai direncanakan berlangsung pada tahun 2026.

"Saat ini ada delapan ruang kelas. Insyaallah tahun depan akan dibangun dua lantai sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 16 kelas. Ini bagian dari komitmen kami untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran bagi anak-anak difabel," ujar Herman.

Selain itu, Herman mendorong adanya koordinasi yang lebih erat antara pihak sekolah dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Langkah ini dinilai penting agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman yang dapat berdampak pada kenyamanan siswa.

"Komunikasi harus terjalin dengan baik, agar para siswa tetap mendapatkan pelayanan maksimal dan perhatian penuh dan tetap prima," ujarnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap proses pendidikan di SLBN A Pajajaran. Menurutnya, anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut membutuhkan dukungan berkelanjutan.

"SLBN Pajajaran harus terus kita pantau. Anak-anak di sini adalah generasi masa depan yang harus kita dukung agar tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan," tutur Herman.

Kepala SLBN A Bandung, Gun Gun Guntara, menyampaikan bahwa kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan seperti biasa meski terjadi sejumlah dinamika. Ia bersyukur suasana sekolah masih kondusif dan peserta didik tetap semangat mengikuti pelajaran.

"Alhamdulillah, pembelajaran tetap berlangsung seperti biasa. Anak-anak juga antusias mengikuti kegiatan belajar. Saya pikir tidak ada masalah berarti," kata Gun Gun.

Tags:
Masalah PendidikanSLBN Pajajaran

Gilang Fathu Romadhan

Reporter

Andres Fatubun

Editor