Diskusi bertajuk “Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?” yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Bandung, Jumat (10/10/2025). (Sumber: dok. IWEB)

Ayo Biz

Setahun Pemerintahan Baru: Mampukah Indonesia Mandiri Energi?

Jumat 10 Okt 2025, 15:21 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Setahun setelah pemerintahan baru berjalan, isu kemandirian energi nasional kembali menjadi sorotan. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan capaian 80% kemandirian energi pada tahun 2029.

Langkah ini dinilai strategis dalam memperkuat ketahanan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil. Namun, seperti disampaikan oleh Dosen Program Doktor Manajemen FEB Unisba dan Ahli Ekonomi Internasional Prof Ima Amaliah, perjalanan menuju swasembada energi bukan tanpa tantangan.

“Swasembada energi itu patut diapresiasi. Harusnya dari dulu, mengalami bom oil tahun 80-an, dibangun infrastruktur. Kita terbuai tidak digunakan membangun infrastruktur,” ujar Prof Ima dalam IWEB Diskusi Ekonomi (IDE) Vol.5 dengan tema 'Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?' di Bandung pada Jumat, 10 Oktorber 2025.

Pemerintah saat ini mulai menggenjot transisi energi melalui program biodiesel B40 dan rencana mandatori bioetanol E10. Langkah ini diharapkan bisa menekan impor BBM yang masih mendominasi sekitar 65% kebutuhan nasional. “Mudah-mudahan konsisten karena program nasional. Momennya tepat, Indonesia salah satu negara penyumbang,” kata Prof Ima.

Namun, transisi energi tidak hanya soal teknologi dan investasi. Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2050, sebuah target ambisius yang menuntut sinergi lintas sektor.

“Sebuah sinergi kebijakan swasembada energi, Indonesia sudah terikat dengan komitmen akan mencapai zero emission 2050. India menolak, masih menggunakan bahan bakar fosil, dan Indonesia keren banget bisa berani karena agak susah keluar dari zona tadi,” lanjut Prof Ima.

Meski demikian, tantangan struktural masih membayangi. Prof Ima menyoroti bahwa ekspor energi Indonesia masih didominasi oleh bahan mentah, sehingga nilai tambah dalam negeri belum optimal.

“Di sisi lain yang kita ekspose sifatnya mentah, sehingga untuk menggeser dari BBM fosil ke energi baru terbarukan agak berat juga, belum lagi tumpang tindih peraturan,” lanjutnya

Konflik regulasi antar kementerian menjadi pekerjaan rumah besar. Peralihan ke bioenergi berbasis sawit, jagung, dan singkong berpotensi menimbulkan benturan kepentingan lahan dan lingkungan.

“Ini akan ada bentrokan, pada saat mengubah dari sawit, jagung, singkong, akan ada lahan yang terkorbankan. Peraturan antara KLH dengan Kementerian Pertanian, menjadi PR,” tegasnya.

Dari sisi pasar, struktur tata niaga BBM di Indonesia masih didominasi oleh Pertamina yang menguasai 80–90% pangsa pasar. Prof Ima menyebut kondisi ini sebagai bentuk oligopoli tidak sempurna.

“Struktur pasar BBM adalah masuk ke oligopoli tidak sempurna, pemain tunggal tapi masih ada yang memanfaatkan sisa demand diambil Pertamina. Pertamina menguasai 80–90% tata niaga energi, 10% dimanfaatkan perusahaan swasta," tuturnya.

Kehadiran SPBU swasta semestinya tidak dipandang negatif. Prof Ima mengkritisi pendekatan pemerintah yang cenderung defensif terhadap kompetisi. “Seharusnya pemerintah tidak harus gusar, suguhan SPBU swasta. Dia sendiri tahu penyebabnya apa. Ketika masyarakat terlukai kepercayaannya, notabene image positif harusnya yang dibenahi bukan membabat karena mematikan kompetisi dan inovasi. Iklim gak dipikirkan maka menjadi monopolis,” ungkapnya.

Menurutnya, monopoli tanpa inovasi justru merugikan negara. “Tidak selalu negatif, karena ketika tidak inovatif akan disingkarkan. BBM atas nama negara kehilangan, dibabat SPBU swasta, menurut saya tidak adil,” lanjutnya.

Fenomena peralihan konsumen ke SPBU swasta mencerminkan krisis kepercayaan. Prof Ima menyebut trauma masyarakat terhadap kualitas BBM sebagai faktor utama. “Masyarakat beralih ke swasta karena terluka kepercayaannya, karena BBM yang selama ini dipakai pertamax bener gak ya, wajar masyarakat trauma,” katanya.

Untuk memperkuat kemandirian energi, Prof Ima menekankan pentingnya regulasi yang mampu mengerem impor dan mengoptimalkan produksi dalam negeri. “Yang harus dibenahi, regulasi untuk mengerem impor tadi. Indonesia punya variasi sumber daya luar biasa, minyak mentah, gas alam, bio energi, batu bara,” paparnya.

Kebijakan substitusi impor menjadi kunci. Prof Ima mengungkapkan bahwa Indonesia masih mengekspor minyak mentah namun mengimpor BBM olahan, gas, dan aftur dalam jumlah besar.

“Keragaman itu memiliki nilai, ada kebijakan substitusi impor, minyak mentah kita ekspor, baliknya impor. BBM, gas, aftur, impor 65%. Ada substitusi impor, produksi sendiri, dapat value. Untuk bisa mengoptimalkan maka harus belajar memproduksi sendiri,” ujarnya.

Oleh karena itu, Prof Ima menekankan perlunya transformasi dari keunggulan komparatif ke keunggulan kompetitif. Langkah-langkah strategis seperti pembangunan kilang dalam negeri, pengembangan energi surya skala besar, dan kolaborasi antara BUMN dan swasta telah mulai dijalankan.

Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada konsistensi kebijakan, transparansi regulasi, dan partisipasi publik. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan komitmen politik yang mulai menguat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara mandiri energi.

Namun, seperti diingatkan Prof Ima, keberanian saja tidak cukup, dibutuhkan sinergi, regulasi yang berpihak, dan inovasi berkelanjutan. “Perlunya regulasi yang bisa mendorong adanya pergeseran dari keunggulan komparatif ke kompetitif," pungkasnya.

Alternati produk UMKM atau brand lokal serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/AUlH6G5YF0
  2. https://s.shopee.co.id/3VbWlQE00s
  3. https://s.shopee.co.id/2B69B1n0O3
  4. https://s.shopee.co.id/6fYYXJnH7T
  5. https://s.shopee.co.id/50QKYKQRi0
Tags:
kemandirian energi nasionalswasembada energitransisi energi

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor