Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri Mengupas potensi Jawa Barat sebagai provinsi dengan potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan.

Ayo Biz

Membongkar Potensi Energi Terbarukan di Jawa Barat: Antara Regulasi dan Kesadaran Sosial

Jumat 10 Okt 2025, 15:36 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Jawa Barat menyimpan potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Dengan lanskap bergunung-gunung, aliran sungai yang deras, dan sumber daya biomassa yang melimpah, provinsi ini memiliki peluang untuk menjadi pionir dalam kemandirian energi bersih.

Namun Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri menilai, tantangan utamanya bukan pada teknologi, melainkan pada regulasi dan pola pikir masyarakat. Tri memulai dengan contoh dari Kampung Naga, sebuah komunitas tradisional di Tasikmalaya yang menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan kincir angin di sekitar sungai mereka.

“Tahu Kampung Naga? Sebelahnya ada sungai kan? Tapi mereka nggak mau dibangun PLTA dengan kincir angin,” ujarnya dalam IWEB Diskusi Ekonomi (IDE) Vol.5 dengan tema 'Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?' pada Jumat, 10 Oktorber 2025.

Masyarakat di sana lebih memilih minyak tanah sebagai sumber energi, meski penggunaannya sangat terbatas. Menurut Tri, minyak tanah di Kampung Naga bukan sekadar bahan bakar, melainkan alat kontrol sosial.

“Minyak tanah itu bukan sebagai sumber energi, tapi sebagai kontrol sosial. Karena tidak ada penerangan setelah jam 8 malam, nggak ada orang nongkrong di luar. Orang di rumah. Di rumah pun gelap. Masak pun terbatas. Akhirnya kondisi sosialnya lebih terkontrol,” jelasnya.

Ketertiban sosial dijaga melalui keterbatasan akses energi. Bahkan ketika diminta oleh Pertamina untuk mencari solusi agar masyarakat Kampung Naga tidak bergantung pada minyak tanah, Tri menawarkan alternatif berupa tanaman jarak yang dapat diolah menjadi minyak. Namun, tawaran itu ditolak. “Kalau mereka tidak terbatas sumber energinya, kemungkinan lingkungan sosialnya berubah,” katanya.

Penolakan tersebut menunjukkan bahwa transisi energi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga menyentuh aspek budaya dan sosial. Tri menegaskan bahwa desa-desa di Jawa Barat sebenarnya bisa mandiri secara energi.

“Kalau misalnya ada sungai, dibikin kincir angin. Jawa Barat tanahnya kan bergunung-gunung. Banyak sungai yang cukup deras. Atau memanfaatkan tanaman seperti minyak jarak, minyak kelapa,” ujarnya.

Tri menilai, potensi lokal sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Sayangnya, tantangan terbesar justru datang dari mentalitas masyarakat yang cenderung pasif. “Berarti edukasinya yang perlu dibangun,” kata Tri.

Ia menyoroti pola asuh yang terlalu memanjakan anak, sehingga daya tahan terhadap kesulitan menjadi rendah. “Begitu mengalami kesulitan sedikit sudah menyerah. Karena biasa apa-apa dicukupi,” tambahnya.

Edukasi energi pun menjadi kunci utama dalam membangun kemandirian. Tri menyarankan agar masyarakat dibiasakan untuk bijak menggunakan energi sejak dini. “Kalau sudah nggak di kamar lagi, matikan lampunya. Jangan menggunakan kendaraan pribadi kalau sekolah dekat, naik angkot saja,” ujarnya.

Perubahan gaya hidup sederhana dapat berdampak besar terhadap efisiensi energi. Apalagi Indonesia memiliki bahan baku melimpah untuk energi terbarukan, termasuk etanol. “Banyak sumber daya yang bisa menghasilkan etanol. Bahkan singkong dan batangnya bisa menghasilkan etanol,” jelas Tri.

Namun, potensi ini belum berkembang karena regulasi yang membatasi distribusi energi hanya pada satu entitas: PLN. Regulasi menjadi penghambat utama dalam pengembangan energi terbarukan.

“Dalam ketentuan UU itu yang bisa mendistribusikan energi listrik itu hanya PLN,” kata Tri. Monopoli ini membuat inovasi sulit berkembang dan investor enggan masuk karena harga jual listrik yang dipatok terlalu rendah.

Tri mencontohkan keberhasilan biodiesel sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaannya. “Kenapa biodisel bisa sukses karena pengusaha sawit nggak bisa menjual ke luar. Kemudian pemerintah bikin program wajib biodisel,” ujarnya.

Ia menyarankan agar etanol mengikuti pola kebijakan yang sama agar bisa berkembang. Menurut Tri, jika ingin mandiri energi, maka yang pertama harus dibenahi adalah regulasi. “Jangan menciptakan monopoli dan membelenggu masyarakat,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya membuka akses distribusi agar kompetisi bisa terjadi dan harga menjadi lebih kompetitif. Program pemerintah pun menjadi penentu arah swasembada energi. “Termasuk untuk ketersediaan dan distribusi pabrik etanol,” ujar Tri.

Ia menekankan pentingnya peran negara dalam menciptakan ekosistem energi yang sehat dan inklusif. Peralihan ke bioenergi menjadi langkah strategis untuk masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan. “Kalau seperti itu masyarakat dan generasi yang akan datang bisa hidup lebih sehat dan energi yang digunakan tidak lebih mahal,” kata Tri.

Kesadaran masyarakat terhadap energi rendah emisi harus dibangun secara kolektif. Tri juga mengkritisi kebijakan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. “Contoh subsidi BBM, itu kan harusnya melekat dan digunakan untuk masyarakat yang membutuhkan,” ujarnya.

Ia menilai bahwa regulasi harus berpihak pada kepentingan publik, bukan semata-mata bisnis. Monopoli energi dinilai sebagai bisnis yang menguntungkan, namun merugikan masyarakat. “Jadi alasannya Pertamina kenapa impor dan nggak bikin kilang saja, ya karena lebih untung,” kata Tri.

Ia menyebut bahwa kebijakan energi cenderung berpihak pada keuntungan korporasi. Tri menyarankan agar sistem transportasi publik beralih ke bus listrik yang digaji pemerintah. Hal ini untuk menekankan betapa pentingnya disiplin dan ketepatan waktu dalam sistem transportasi rendah emisi. “Tapi lumayan berat. Pertama bisnis angkot ini harus beralih ke bisnis bus dan digaji pemerintah,” ujarnya.

Sementara itu, terkait target Net Zero Emission (NZE) Indonesia pada 2060, Tri menilai bisa tercapai jika seluruh masyarakat berkontribusi. Selain itu,ia juga menekankan pentingnya komitmen pemerintah dan pengelolaan anggaran yang bersih. “Bisa, asal seluruh masyarakat berkontribusi. Tapi masalahnya masyarakat sering termakan isu,” kata Tri.

Di sisi lain, harga jual listrik menjadi tantangan utama bagi investor. “Dipatok sama PLN ada sekitar 6 sen dolar per KWH. Kalau ongkos lebih dari itu, nggak ketemu,” jelas Tri.

Ia menyebut bahwa banyak proyek energi terbarukan yang batal karena tidak memenuhi keekonomian. Sementara teknologi sel surya terus berkembang dan efisiensinya meningkat. “Ya mungkin suatu saat kalau FHI sudah tinggi, barangkali harga yang diminta 6 sen dolar per KWH itu akan bisa terpenuhi,” katanya.

Ia optimis bahwa teknologi akan mampu menjawab tantangan biaya dalam waktu dekat. Contohnya beberapa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di pulau-pulau kecil telah beralih ke sistem hybrid dengan PLTS. “Ketika siang di-cover dengan PLTS, kalau malam di-cover dengan PLTD,” jelas Tri.

Sistem ini dinilai lebih ekonomis karena mengurangi biaya bahan bakar yang tinggi. Namun Tri tetap menegaskan bahwa regulasi harus diperbaiki agar kompetisi bisa terjadi. “Karena nggak ada kompetitor, PLN ya semaunya sendiri kan nggak ada saingannya,” ujarnya.

Ia menyarankan agar distribusi listrik dibuka untuk perusahaan lain agar harga lebih bersaing. Sebagai penutup, Tri mengajak masyarakat untuk mulai berkontribusi dari hal-hal kecil.

“Energi itu sebetulnya bisa dari kita untuk kita. Contoh sederhana saja, kalau kita mau ke minimarket ya nggak usah naik motor. Kita bisa jalan saja. Jadi harus mulai ada kesadaran dari diri sendiri, dan kita harus berkontribusi terhadap energi," ujarnya.

Alternati produk UMKM atau brand lokal serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/5L3AzMvnt1
  2. https://s.shopee.co.id/6VF8NYlPHv
  3. https://s.shopee.co.id/9Usjx5zqKK
  4. https://s.shopee.co.id/qaldCWVet
  5. https://s.shopee.co.id/AKRqwg90AA
Tags:
energi terbarukanJawa Barat transisi energienergi bersih

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor