AYOBANDUNG.ID - Kalau orang Sumedang punya hajatan, jangan kaget kalau ada kuda yang joget di tengah jalan. Itulah Kuda Renggong, hewan tunggangan yang naik pangkat jadi artis kampung. Dalam pesta khitanan, kuda ini lebih laku ketimbang organ tunggal.
Dinas Kebudayaan Kabupaten Sumedang seperti yang diurai dalam studi Nurmala Mariam berjudul Perancangan Informasi Seni Kuda Renggong meneybutkan awalnya kesenian ini dikenal sebagai Kuda Igel. Artinya kuda yang menari. Nama Igel kemudian berubah menjadi Renggong. Dari situlah lahir nama yang dikenal sekarang.
Sejarahnya panjang. Di masa pemerintahan Kanjeng Pangeran Aria Suria Atmaja (1882–1919), yang populer dengan sebutan Pangeran Mekah, Sumedang memang sedang berbenah. Sang pangeran tak hanya membangun monumen Lingga di alun-alun, tapi juga sibuk mengurusi pertanian, perikanan, peternakan, hingga lingkungan. Berkat penghijauan pinus, jati, dan karet, Sumedang yang tadinya gersang kemudian hijau, sehingga di tahun 1960-an muncul julukan “Kota Buludru.
Dalam urusan peternakan, Pangeran Suria Atmaja mendatangkan kuda unggul dari Sumba dan Sumbawa. Jumlahnya pernah mencapai ratusan ekor. Dari situlah muncul ide: kenapa kuda tidak dijadikan hiburan rakyat saja?
Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial
Sekitar 1910, di Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, lahirlah legenda bernama Aki Sipan. Ia lahir tahun 1870 dan terkenal tekun melatih kuda. Dengan sabar, ia berhasil membuat kuda bisa mengangguk-angguk, mengangkat kaki, bahkan berbaris seperti penari.
Kuda pertama yang jadi muridnya adalah Si Cengek dan Si Dengkek. Mereka tampil bukan hanya gagah, tapi juga centil. Begitu iringan dog-dog dan angklung dimainkan, kuda ini langsung bergoyang. Tak heran, sejak itu Kuda Renggong jadi ritual wajib di acara khitanan.
Bayangkan, anak yang baru disunat dinaikkan ke atas Kuda Renggong, lengkap dengan pakaian tokoh wayang Gatotkaca, lalu diarak keliling kampung. Anak yang disunat beserta keluarganya merasa senang dan terhibur. Rasa ngilu habis disayat sedikit terobati karena bisa tampil bak pahlawan di atas kuda joget.
Catatan Kemendikbud menyebut pertunjukan biasanya semakin meriah ketika musik pengiring menabuh lagu-lagu seperti Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, hingga Jisamsu. Panas matahari tak jadi soal, orang-orang tua, remaja, sampai anak-anak desa tetap ikut bergerak menari dan bersorak sorai. Sesekali kuda unjuk gigi dengan gerakan menari lebih atraktif, penonton pun berteriak kegirangan.
Kegiatan biasanya ditutup dengan lagu Pileuleuyan, lagu perpisahan yang bisa dibawakan secara instrumental atau dinyanyikan. Setelah itu, barulah digelar acara saweran: menaburkan uang logam dan beras putih. Bagian ini, tentu saja, yang paling ditunggu anak-anak desa.
Ilmu melatih kuda Ki Sipan ia wariskan ke anaknya, Ki Sukria, lalu diteruskan ke muridnya, Mamat. Dari tangan mereka, seni Kuda Renggong makin berkembang dan menyebar. Awalnya hanya di Buahdua, tapi lama-lama meluas ke berbagai kecamatan di Sumedang, bahkan keluar daerah.

Dari Khitanan Kampung Kampung ke Panggung Festival
Dulu, Kuda Renggong hanya tampil dalam arak-arakan khitanan. Kini, kesenian ini naik kelas: ada Festival Kuda Renggong. Setiap tahun, rombongan peserta dari berbagai desa dan kecamatan se-Sumedang dikumpulkan di titik awal, biasanya di jalan raya depan kantor bupati. Dari sana, mereka dilepas satu per satu mengelilingi rute yang sudah ditentukan panitia.
Baca Juga: Jejak Warisan Ong Bung Keng dalam Sejarah Kuliner Legendaris Tahu Sumedang
Di sepanjang jalan, juri yang sudah ditempatkan di titik-titik tertentu akan menilai. Jadi jangan kira ini cuma hiburan, tapi sudah ada unsur lomba resmi. Kreativitas tiap rombongan jadi taruhan. Ada yang menambah jumlah kuda, bahkan sampai empat ekor sekaligus. Pakaian anak sunat pun tak melulu Gatotkaca. Sekarang kadang diganti jadi putri ala Cinderella, lengkap dengan gaun ala dongeng Eropa.
Hiasan ataa asesoris kuda juga makin wah. Payet-payet keemasan, warna-warni mencolok, sampai payung kebesaran dipasang untuk memikat mata. Musik pun tidak lagi melulu kendang penca. Ada Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, bahkan lagu-lagu populer seperti Goyang Dombret atau Pemuda Idaman. Kuda joget pun menari mengikuti irama dangdut koplo.
Pertunjukan di festival jelas berbeda dengan arak-arakan desa. Kalau di kampung suasananya akrab dan sederhana, festival menghadirkan suasana kompetisi, penuh atraksi, dan lebih variatif. Tapi baik di desa maupun festival, satu hal tetap sama: Kuda Renggong selalu jadi pusat perhatian.
Kini, meski dunia sudah kenal TikTok, Sumedang tetap bangga punya influencer lokal dari kalangan kuda. Dari jalanan desa hingga panggung festival, Kuda Renggong masih menari, menjaga tradisi, dan menghibur rakyat. Boleh jadi, di tengah gempuran hiburan digital, seni rakyat inilah yang membuktikan bahwa joget bukan monopoli manusia—tapi juga kuda.