Jejak Warisan Ong Bung Keng dalam Sejarah Kuliner Legendaris Tahu Sumedang

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 07 Agu 2025, 17:23 WIB
Foto Keluarga Ong Bung Keng. (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)

Foto Keluarga Ong Bung Keng. (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)

AYOBANDUNG.ID - Segala hal besar kerap bermula dari sesuatu yang kecil dan sederhana. Begitu pula kisah tahu goreng legendaris dari Sumedang, yang kini dikenal luas sebagai Tahu Bungkeng. Ia bukan lahir dari ambisi dagang besar, bukan pula dari resep warisan kerajaan, melainkan dari sebuah kebutuhan rumah tangga yang bersahaja—keinginan seorang istri akan makanan kampung halamannya.

Sekitar tahun 1900-an, seorang pria Tionghoa bernama Ong Ki No merantau ke Hindia Belanda. Ia datang bersama sang istri yang mengidamkan tao-fu, makanan khas kampung halaman mereka di Tiongkok. Tak ingin mengecewakan, Ong Ki No pun menjelajah pedalaman Sumedang untuk mencari bahan terbaik—kedelai. Perjalanannya membawanya ke Conggeang, sebuah wilayah yang menghasilkan kedelai lurik, mirip telur puyuh, yang kemudian menjadi bahan utama tahu buatannya.

Kisah Ong Ki No sebagai peletak dasar keberadaan tahu Sumedang ini diarsikan rapi buku Tahu Sejarah Tahu Sumedang terbitan LIPI (2021). Dengan kedelai lokal dan air jernih dari mata air Sumedang—terutama dari kawasan Cimalaka hingga Tanjungsari—Ong Ki No mulai membuat tahu rumahan. Tahu rebus putih itu awalnya hanya dibagikan saat hari raya untuk keluarga dan tetangga. Siapa sangka, sambutan masyarakat begitu hangat. Ong Ki No pun mencoba menjualnya. Sayang, tahu rebus tak mendapat tempat di lidah masyarakat lokal. Tahun 1917, ia dan istrinya memutuskan pulang ke Tiongkok.

Baca Juga: Jejak Sejarah Peuyeum Bandung, Kuliner Fermentasi Sunda yang Bertahan Lintas Zaman

Tapi, usaha itu tidak ikut pergi. Anaknya, Ong Bung Keng, meneruskan jejaknya, dengan pendekatan yang berbeda. Bung Keng mencoba menggoreng tahu putih. Hasilnya: tahu dengan kulit renyah, aroma menggoda, dan rasa gurih yang tak dimiliki tahu rebus. Inilah titik awal kelahiran tahu goreng Sumedang.

Tahun 1928 menjadi titik balik. Saat itu, Pangeran Soeriaatmadja, Bupati Sumedang, kebetulan melintasi gerobak tahu milik Bung Keng. Ia turun, mencicipi, dan berujar, “Makanan ini enak. Kalau dijual terus, pasti laku.” Bagi masyarakat Sunda, ucapan tokoh saleh adalah doa: saciduh metu, saucap nyata. Dari situlah, tahu Sumedang mulai mencuri perhatian. Nama Bung Keng pun melekat sebagai merek: Tahu Bungkeng.

Produksi tahu kala itu masih terbatas—sekitar 1.000 potong per hari, dengan ukuran 5x5 cm. Harga satu potong hanya 3 peser. Pada akhir 1930-an, tahu Bungkeng mulai dijajakan keliling. Namun hingga Indonesia merdeka, skala usahanya belum terlalu besar. Baru setelah itu, masyarakat pribumi mulai ikut berjualan tahu. Salah satunya adalah Epen Oyib, pendiri Tahu Saribumi, yang sempat bekerja di pabrik tahu milik Tionghoa sebelum membuka usaha sendiri di tahun 1960-an.

Lima Generasi Penjaga Rasa Tahu Bungkeng

Cerita tahu Bungkeng tak berhenti di Ong Bung Keng. Usaha ini turun ke Ong Yu Kim, lalu ke generasi keempat: Suryadi, dan kini berpindah ke anaknya yang merupakan generasi kelima. Pngakuan Suryadi, ia meneruskan usaha keluarga bukan dengan ekspansi besar-besaran, tapi dengan ketekunan yang sama seperti leluhurnya. Warung tahu Bungkeng di Jalan 11 April Nomor 53 tak berubah banyak. Langit-langit hitam karena asap, lantai berubin lawas, dan bau tahu goreng yang khas masih setia menyambut pelanggan.

Suryadi mulai menata ulang merek sejak 1995. Ia membuat logo, tagline, dan membuka dua cabang di Jalan Mayor Abdurachman, agar lebih mudah diakses. “Kalau diam di satu tempat aja, susah,” katanya. Meski begitu, prinsipnya tetap: tahu ini tidak mengejar pasar, melainkan menunggu bola. Produksi tahu pun masih berkisar 3.000–5.000 potong per hari. Kalau Lebaran? Bisa 50.000. Tapi hanya sesekali.

Pusat Tahu Bungkeng Jalan 11 April 53. (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)
Pusat Tahu Bungkeng Jalan 11 April 53. (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)

“Iya, hampir 90 persen nunggu bola. Masih stabil kok,” ujar Suryadi santai, duduk bersila di kursi rotan, dikelilingi keranjang-keranjang bongsang berisi tahu hangat.

Suryadi paham bahwa dunia berubah. Maka ia pelan-pelan mengadopsi mesin semi-otomatis, mengganti bahan bakar dari minyak tanah ke solar dan uap, dan mulai memakai kemasan mika dengan logo. Namun, cita rasa tetap dijaga. Tidak ada bahan pengawet. Tahu tetap digoreng di tempat, dinikmati saat panas, ditemani cengek. “Tahu dingin? Bukan Tahu Bungkeng lagi namanya,” katanya.

Baca Juga: Sejarah Tahu Sumedang, Warisan Cita Rasa Tionghoa hingga Era Cisumdawu

Pelanggan tahu Bungkeng pun unik. Rata-rata mereka berusia 45 tahun ke atas, datang bukan untuk pamer di media sosial, tapi membawa oleh-oleh dan kenangan. Mereka mengenang masa kecil, mengenang masa Sumedang belum seramai sekarang. Mereka bukan sekadar pembeli, tapi penjaga rasa.

Ketika banyak pengusaha tahu lain ekspansi ke Jakarta atau membuka franchise di mal, Tahu Bungkeng tetap hanya ada di Sumedang. “Banyak cabang kalau kualitasnya enggak sama, repot. Kualitas dulu baru kuantitas,” kata Suryadi, tetap memegang prinsip leluhurnya.

Ia juga tidak percaya dengan kisah pengusaha tahu yang bisa produksi 10 ribu potong sendiri dalam sehari. “Sendiri, cuci, giling, goreng? Besoknya sakit!” ujarnya sambil tertawa.

Tahu, bagi keluarga Bungkeng, bukan sekadar bisnis. Ini adalah soal harga diri, soal menjaga marwah keluarga. Dulu, tahu Sumedang hanya disantap oleh kalangan Tionghoa. Kini, semua orang bisa menikmatinya. Tapi tak semua tahu, bahwa jejak awalnya ada di Bungkeng.

“Saya? Enggak minat jemput bola. Sama kakek saya juga enggak boleh,” ujar Suryadi, menutup pembicaraan dengan senyum tipis. Tahu Bungkeng bukan sekadar tahu. Ia adalah sejarah hidup, yang digoreng setiap hari dengan sabar dan sepenuh hati.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 26 Sep 2025, 20:29 WIB

Sunda dan Buddha yang Langka Kita Baca

Sejarah menunjukkan pada dunia bahwa Sunda milik semua orang.
Mengintip Rupang Sang Buddha dari Samping Jendela Luar di Vihara Buddha Gaya, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Biz 26 Sep 2025, 18:43 WIB

Ombram dan Bandung yang Tak Pernah Sepi Nada

Ombram, band yang digawangi Brahmana Amsal (vokal), Opit Bey (gitar), dan Magi (drum) adalah simbol regenerasi, proyek yang lahir dari pertemuan tak terduga.
Ombram, band yang digawangi Brahmana Amsal (vokal), Opit Bey (gitar), dan Magi (drum) adalah simbol regenerasi, proyek yang lahir dari pertemuan tak terduga. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 26 Sep 2025, 18:04 WIB

Advokasi Kebijakan dan Komunikasi Publik: Jalan Menuju Pemerintahan Partisipatif

Pentingnya sinergi advokasi kebijakan dan komunikasi pejabat publik agar aspirasi rakyat tersalurkan dan kebijakan lebih partisipatif.
Pentingnya sinergi advokasi kebijakan dan komunikasi pejabat publik agar aspirasi rakyat tersalurkan dan kebijakan lebih partisipatif. (Sumber: Pexels/Tara Winstead)
Ayo Biz 26 Sep 2025, 16:55 WIB

Bandung dan Tren Gaya Hidup Terintegrasi, Bobobox Jadi Simbol Inovasi Lokal

Kota Bandung telah lama menjadi pusatnya kreativitas bagi generasi muda yang haus akan eksplorasi, baik dalam seni, teknologi, maupun kuliner.
Chief Commercial Officer Bobobox, Bayu Ramadhan. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 26 Sep 2025, 16:01 WIB

Merawat Inovasi: Kunci Keberlanjutan Gerakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung

Bandung jadi gudang inovasi sampah. Keberlanjutan inovasi ASN akan mendorong pengelolaan sampah yang murah dan efektif.
Petugas memasukan sampah organik ke dalam drum komposter di Pasar Sederhana, Kota Bandung, Selasa 15 Oktober 2024. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 26 Sep 2025, 15:28 WIB

Kisah Bebek Kaleyo Menaklukkan Bandung, Ketika Kuliner Legendaris Bertemu Gaya Hidup Kekinian

Dari rendang hingga rawon, dari soto hingga bebek goreng, kuliner Indonesia terus beregenerasi, menjawab selera zaman tanpa kehilangan identitas.
Flagship outlet Bebek Kaleyo di Jalan Sumatera No. 5, Kota Bandung yang mempertemukan kuliner tradisional dengan estetika kekinian. (Sumber: dok. Bebek Kaleyo)
Ayo Netizen 26 Sep 2025, 14:03 WIB

Dua Wajah Zaman Berlari di Bandung

Tentang perbedaan kegiatan lari di Kota Bandung pada tahun 1980-an dengan tahun 2020-an.
Warga melakukan aktivitas lari pagi di kawasan Dago, Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Djoko Subinarto)
Ayo Jelajah 26 Sep 2025, 14:00 WIB

Jejak Sejarah Terowongan Kereta Lampegan Cianjur, Tertua di Indonesia

Dibangun pada 1879 oleh Staatsspoorwegen, Terowongan Lampegan menjadi jalur kereta tertua di Indonesia. Kini, lorong 415 meter ini tak hanya saksi sejarah kolonial, tetapi juga terkenal dengan legenda
Terowongan Kereta Lampegan Cianjur, tertua di Indonesia. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 26 Sep 2025, 11:03 WIB

Bukan Hanya Sekedar Olahan Susu, Yogurt Punya Segudang Manfaat

Yogurt merupakan produk olahan susu yang dibuat melalui proses fermentasi bakteri baik, seperti Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Hasil fermentasi ini menghasilkan rasa asam
Ilustrasi Foto Yougurt (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 26 Sep 2025, 10:03 WIB

Kedai Susu Murni Legendaris di Jalan Pungkur

Susu murni sejak lama dikenal sebagai minuman bergizi tinggi yang kaya akan protein, baik untuk menjaga kebugaran tubuh. Di Bandung, minuman ini mudah ditemui karena wilayahnya dikelilingi sentra
Ilustrasi Susu Murni (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 26 Sep 2025, 09:30 WIB

Cara Baru ASN Naik Kelas: Belajar Diakui, Karier pun Melaju

Corpu dan RPL membuka jalan baru untuk ASN, diakui jadi syarat karier ataupun studi lanjut.
Ilustrasi PNS di Bandung Raya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Jelajah 25 Sep 2025, 21:10 WIB

Hikayat Konflik Lahan Dago Elos yang jadi Simbol Perlawanan di Bandung

Dari eigendom verponding peninggalan Belanda, konflik tanah Dago Elos menjelma simbol perlawanan warga kecil melawan modal besar.
Forum Dago Melawan di Depan Polrestabes Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 25 Sep 2025, 20:03 WIB

Islam dengan Citra Rasa Lokal

Sungguh tak berlebihan bila kita meneguhkan Sunda dan kemajemukan budaya sebagai napas bersama.
Indahnya Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 25 Sep 2025, 18:30 WIB

Gercep, FOMO, dan Instagramable: Milenial dan Gen Z Membentuk Arah Baru Industri Kuliner Kekinian

Industri kuliner kekinian di Indonesia tengah mengalami transformasi besar, didorong oleh perubahan perilaku konsumsi generasi milenial dan Z.
Industri kuliner kekinian di Indonesia tengah mengalami transformasi besar, didorong oleh perubahan perilaku konsumsi generasi milenial dan Z. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 25 Sep 2025, 17:28 WIB

Sinergi UMKM dan Institusi, Bechips Jadi Bukti Ekspor Bukan Mimpi

Bandung kembali menegaskan reputasinya sebagai kota kreatif yang melahirkan pelaku usaha tangguh, salah satu kisah sukses terbaru datang dari UMKM Bechips.
Kisah sukses terbaru datang dari Bechips, salah satu UMKM Kota Bandung yang berhasil menembus pasar ekspor Jepang secara mandiri. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 25 Sep 2025, 17:17 WIB

Bandung Menjelang Sore di Kawasan Kopo Area

Bandung menjelang sore di kawasan kopo area layaknya pesta pora, riuh dan ramai oleh sejumlah kendaraan yang memadati jalanan.
Kemacetan di Kawasan Kopo, Senin, 22 September 2025 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 25 Sep 2025, 16:16 WIB

Rampak Gitar The Revolution Is, Ketika Musik Jadi Suara Petani

Rampak Gitar Akustik The Revolution Is di Bandung menegaskan satu hal: revolusi agraria di Indonesia belum selesai.
Rampak gitar di Taman Cikapayang. Abah Omtris (tengah depan) berdiri di samping putri Mukti-Mukti, Kembang Padang Ilalang. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 25 Sep 2025, 15:00 WIB

Asal-usul Nama Geografis Baribis 

Nama geografis Baribis di Kabupaten Majalengka dijadikan nama patahan oleh Van Bemmelen.
Penggalian pasir ini menyingkapkan bukti adanya Patahan Baris di Desa Cibuluh, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Biz 25 Sep 2025, 12:53 WIB

Semangat Menembus Batas, Inspirasi dari Niko untuk Pelaku UMKM di HUT Kota Bandung ke-215

Di HUT ke 215, Kota Bandung tak hanya merayakan sejarah dan kemajuan, tapi juga semangat warganya yang tercermin dari Niko, pelaku UMKM yang sukses menembus pasar global.
Owner CV Bechips Indonesia, Niko Saputra dan sang istri saat menunjukkan produk andalannya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 25 Sep 2025, 12:45 WIB

Emplod, Cemilan Tradisional yang Tak Pernah Kehilangan Penggemar

Jawa Barat dikenal dengan kekayaan kulinernya yang beragam. Sayangnya, tidak semua jajanan khas mampu bertahan di tengah derasnya tren makanan modern. Emplod
Ilustrasi Foto Emplod (Foto: Pixabay)