AYOBANDUNG.ID - Bandung Raya pernah bergetar hebat ratusan tahun silam, ketika bumi di utara kota itu terbelah. Sesar Lembang, patahan panjang yang membentang dari Padalarang di barat hingga Cimenyan di timur, adalah sumber guncangan itu. Namun selama berabad-abad terakhir, ia tampak tertidur. Keheningan panjang itulah yang membuat para ilmuwan tak pernah benar-benar tenang.
Hasil penelitian mengungkap Sesar Lembang di Bandung pernah memicu gempa besar berkekuatan sekitar 6,5 hingga 7 magnitudo. Temuan itu berdasarkan kajian paleoseismologi yang dilakukan melalui penggalian parit di kilometer 11,5 jalur sesar. Peneliti menemukan pergeseran tanah setinggi 40 sentimeter di lokasi tersebut, bukti adanya gempa kuat yang mengguncang wilayah itu di masa lalu.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mudrik R. Daryono, menjelaskan bahwa gempa besar terakhir di Sesar Lembang diperkirakan terjadi pada abad ke-15. Selain itu, catatan geologi juga menemukan dua kejadian gempa besar lain: satu sekitar 60 tahun sebelum Masehi, dan satu lagi sekitar 19 ribu tahun lalu. Rangkaian temuan ini menunjukkan Sesar Lembang merupakan sesar aktif yang memiliki riwayat memicu gempa kuat secara berkala.
“Pergeseran setinggi 40 sentimeter di lokasi parit itu menunjukkan pernah ada gempa dengan magnitudo sekitar 6,5 sampai 7. Itu sesuai dengan panjang Sesar Lembang yang mencapai 29 kilometer dan memang berpotensi menghasilkan gempa sebesar itu,” kata Mudrik dalam keterangan resmi, belum lama ini.
Perhitungan siklus ulang gempa berdasarkan data tersebut berada di rentang 170 hingga 670 tahun. Jika mengacu pada rentang itu, secara teori periode gempa besar berikutnya bisa terjadi pada sekitar tahun 2170, namun waktunya tidak dapat diprediksi secara pasti.
Baca Juga: Sesar Baru di Sekitar Gunung Tangkubanparahu, Tambah Daftar Patahan Gempa Bandung Raya
Catatan sejarah dan uji paritan (trench) menunjukkan Sesar Lembang sudah mengguncang sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu. Guncangan terakhir yang besar terjadi pada abad ke-15, sekitar tahun 1450 hingga 1510. Saat itu, tatar Sunda masih berada di bawah Kerajaan Pajajaran. Bandung belum ada sebagai kota; yang ada hanya hutan lebat, rawa, dan lembah sungai Citarum yang mengalir tenang. Di masa ketika dunia belum mengenal peta Jawa Barat seperti sekarang, bumi di wilayah ini tiba-tiba mengamuk. Pohon-pohon besar tumbang, tanah pecah, dan para penghuni perkampungan kecil kala itu lari ketakutan, tanpa memahami apa yang terjadi di bawah kaki mereka.
Lebih jauh ke belakang, lapisan tanah menyimpan memori yang lebih tua lagi. Ada jejak gempa yang diperkirakan terjadi sekitar 60 tahun sebelum Masehi, ketika kerajaan-kerajaan awal Nusantara baru terbentuk. Tak ada catatan manusia yang menceritakan guncangan itu, tapi tanah menjadi saksi bisu.
Dan di bawahnya lagi, peneliti menemukan bekas guncangan dari masa yang lebih purba: sekitar 19.620 hingga 19.140 tahun lalu, ketika sebagian besar bumi masih berada di akhir Zaman Es. Pada masa itu, bumi jauh lebih dingin, laut lebih rendah, dan lanskap Priangan lebih liar dari hari ini. Sesar Lembang sudah ada di sana, bekerja diam-diam, menyimpan energi yang hanya dilepaskan setiap ribuan tahun.
Kronologi panjang ini seolah menyiratkan bahwa Sesar Lembang terasa seperti makhluk purba yang sabar. Ia menunggu ratusan, bahkan ribuan tahun untuk melepaskan energi. Sejarah gempa yang tersembunyi di lapisan tanah adalah pengingat bahwa bumi punya cara sendiri untuk mencatat waktu—bukan dengan kalender, melainkan dengan patahan, pergeseran, dan tumpukan sedimen yang menceritakan kisah ribuan tahun lalu.
Patahan Kuno di Bawah Kota
Sesar Lembang berbaring di kaki Gunung Tangkubanparahu, mengiris daratan Bandung Raya dari Ngamprah di Bandung Barat hingga Cilengkrang di Bandung. Jika dilihat di peta geologi, ia adalah garis panjang yang memisahkan bentang alam pegunungan dengan dataran cekungan Bandung. Di atasnya, jalan-jalan berliku, permukiman padat, dan deretan vila berdiri, seolah tak menyadari apa yang ada di bawah tanah.
Kisah tentang Sesar Lembang bukan baru kemarin sore. Reinout Willem van Bemmelen, geolog Belanda yang menulis The Geology of Indonesia (1949), menyebut patahan ini terbentuk sekitar 100 ribu tahun lalu, bersamaan dengan pembentukan Kaldera Gunung Sunda purba. Jika benar, artinya ia lebih tua daripada sebagian besar bentang alam yang sekarang dikenal orang Bandung.
Penelitian Jan Nossin di Panyairan, Cihideung, pada 1996, menemukan bukti aktivitas sesar sekitar 24 ribu tahun lalu. Namun, pertanyaan klasik tetap menggantung: apakah patahan ini masih aktif? Dalam definisi ilmu kebumian, sesar aktif harus menunjukkan pergerakan dalam 11.500 tahun terakhir, periode Holosen.

Jawaban baru datang lewat riset panjang sejak 2006. Tim gabungan dari Geoteknologi LIPI, ITB, Kemenristek, dan PVMBG memasang alat GPS di berbagai titik jalur patahan. Mereka juga menggali parit-parit di beberapa lokasi. Hasil yang diumumkan pada 2011 mengonfirmasi bahwa Sesar Lembang memang aktif, dengan pergeseran 1,95–3,45 milimeter per tahun. Angkanya kecil, tapi gerakannya konstan.
Baca Juga: Sinyal Bahaya dari Sesar Lembang, Minimnya Early Warning System Jadi PR Mendesak
Raksasa Tidur di Utara Bandung
Bandung tumbuh di cekungan besar bekas letusan Gunung Sunda purba. Kota ini kini padat dengan rumah, gedung, dan infrastruktur vital. Di balik ketenangan alamnya, Sesar Lembang adalah ancaman yang sewaktu-waktu bisa membalik wajah kota. Ahli bumi Titi Bachtiar pernah menggambarkan sesar sebagai retakan di kerak bumi yang terus bergerak karena lempeng mengapung di atas mantel bumi—lapisan penuh magma dan mineral berat seperti besi dan magnesium. Energi dari bawah tanah perlahan-lahan menumpuk, menunggu saat untuk dilepaskan.
Gempa kecil pernah menjadi peringatan. BMKG mencatat riak guncangan di Cisarua pada 2010–2012. Puncaknya, 28 Agustus 2011, gempa magnitudo 3,3 merusak 384 rumah di Desa Jambudipa, Pasirhalang, Tugumukti, dan Kampung Muril Rahayu. Padahal, skalanya kecil. Bayangkan jika energinya ribuan kali lipat.
Hari ini, jalur Sesar Lembang terlihat tenang. Tak ada gempa besar dalam lima abad terakhir. Tapi ketenangan itu justru membuat para ilmuwan waspada. Dalam empat bulan terakhir, kawasan Cisarua sudah diguncang lima gempa kecil. Seperti ketukan di pintu rumah, memberi tanda bahwa raksasa itu masih ada.
Skenario terburuknya menyeramkan. Jika seluruh segmen Sesar Lembang bergerak serentak, gempa magnitudo 7 bisa merobohkan rumah-rumah dari Cisarua hingga Parongpong, membelah jalan Cimahi–Lembang, dan melumpuhkan jaringan air dan listrik Bandung Raya.
Pemerintah dan lembaga riset telah memasang akselerograf dan GPS untuk memantau pergerakan patahan. Tapi mitigasi bencana tak cukup dengan teknologi. Kota Bandung butuh tata ruang berbasis risiko dan kesiapsiagaan masyarakat. “Gempa-gempa kecil yang kerap terjadi adalah fenomena wajar dalam sistem sesar aktif,” kata Mudrik R. Daryono. “Namun, gempa kecil itu bisa jadi pelepasan energi skala kecil atau bagian dari proses menuju gempa besar.”
Bagi warga Bandung, ancaman Sesar Lembang bukan soal “apakah” akan bergerak lagi, tapi “kapan”. Dalam siklus pergerakan bumi, satu abad hanyalah kedipan mata. Raksasa itu sedang tidur panjang, tapi sejarah mengajarkan bahwa ia pasti akan bangun.