AYOBANDUNG.ID – Di masa lampau, sebelum kopi jadi komoditas gaya hidup dan simbol eksistensi di kafe-kafe urban, Batulayang sudah lebih dulu mencium aromanya yang harum. Pada pertengahan abad ke-18, Batulayang bukan sekadar kabupaten kecil di pelosok Priangan. Ia adalah salah satu penghasil kopi terkemuka Hindia Belanda.
Bersama Bandung dan Parakanmuncang, nama Batulayang tercatat dalam statistik Kompeni sebagai penyumbang biji kopi terbaik untuk pasar Eropa. Harumnya menyeberangi lautan, sementara rakyatnya memanggul pikul-pikul kopi menuruni bukit dan menyeberangi sungai.
Dalam artikel Kopi dari Batulayang, 1777–1802 di Ayobandung, pemerhati sejarah Atep Kurnia menulis nama Batulayang disebut secara mandiri dalam laporan kebun kopi tanggal 15 April 1766. Sekitar 70 tahun setelah kopi pertama kali ditanam di Priangan, wilayah ini mulai dipandang sebagai kekuatan tersendiri. Tahun 1777, produksi Batulayang dilaporkan mencapai 800 pikul kopi.
Jumlah tersebut tidak bisa disebut main-main untuk ukuran kabupaten baru, cukup untuk membuat VOC menetapkan komisi dua dolar Spanyol per pikul bagi bupatinya, setara dengan yang diterima bupati Bandung dan Sumedang. Sebuah pengakuan kelas yang tidak datang begitu saja.
Kabupaten lain seperti Parakanmuncang dan Cianjur hanya dapat dua dolar. Terlihat, Batulayang kala itu punya pamor. Bahkan dalam laporan 20 September 1785, tercatat 200 ribu batang kopi tumbuh di Batulayang, jauh dari kecil jika dibanding Bogor (1 juta) atau Cianjur (2 juta).
Kebun-kebun kopi Batulayang menjalar di lereng-lereng, ditanam dengan disiplin dan diangkut dengan susah payah ke titik-titik pengumpulan. Dari Batulayang ke pelabuhan darat Cikao, kopi mesti menempuh perjalanan berhari-hari, ditarik oleh kerbau dan pedati. Tahun 1790, tercatat dari Bandung dan Batulayang saja terkirim 500 pedati dengan 1.000 kerbau. Kopi memang emas hitam, tapi emas yang berat dan melelahkan.
Tapi seperti kopi yang terlalu lama dibiarkan dalam cangkir, kejayaan Batulayang perlahan mendingin. Penanaman besar-besaran justru membuat perawatan kewalahan. Dalam laporan tahun 1798, Batulayang hanya menyumbang pendapatan 2.624 dolar Spanyol, sangat kecil dibanding Bandung yang mencapai 21.844. Kompeni mulai gelisah, dan suara ancaman pun muncul.
Permasalahannya bukan hanya kopi. Bupatinya, Tumenggung Rangga Adikusumah, lebih sibuk dengan opium dan minuman keras daripada dengan tanam paksa. Laporan dari kumitir pribumi kala itu menyebut bupati Batulayang sangat suka minum dan opium. Laporan sebelumnya bahkan sudah menyebut perilaku buruk ini sejak 1797, tapi Kompeni masih berharap setoran kopi bisa menebus dosa.
Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda
Sayangnya, itu tidak terjadi. Produksi makin merosot, sawah tak ada, dan rakyat kelaparan. Pada 1802, VOC mengambil keputusan tegas: Batulayang dibubarkan dan digabungkan ke Bandung. Sang bupati dipecat dan diasingkan ke Mangga Dua, Batavia.
Yang tersisa dari kejayaannya hanyalah daftar harta yang lebih menyedihkan ketimbang membanggakan: enam baju berkancing emas, satu keris berlapis emas, dan 150 kuda betina. Produksi kopi terakhirnya hanya tinggal 1.489 pikul. Jauh dari masa ketika Batulayang pernah disejajarkan dengan penghasil kopi terbaik di Jawa.
Kini, Batulayang tinggal nama dalam lembaran arsip kolonial. Ia pernah harum, pernah jaya, tapi kemudian tenggelam oleh kelalaian dan kerakusan. Seperti kopi basi yang tak lagi layak diseruput, kisah Batulayang adalah pengingat bahwa kejayaan, bila tak dijaga, bisa cepat menjadi kisah kehilangan.

Jejak Preangerstelsel di Tanah Priangan
Wilayah pegunungan di Tatar Sunda itu pernah menjadi lokasi eksploitasi pertanian paling sistematis yang pernah dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Sistem itu dikenal sebagai Preangerstelsel.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Mumuh Muhsin Z., dalam Produksi Kopi di Priangan pada Abad ke-19 menyebut tanah Priangan dijadikan sentra penanaman kopi oleh Belanda pada masa itu.
Preangerstelsel secara harfiah berarti “sistem Priangan”. Ia mulai diterapkan sejak VOC menguasai wilayah ini pada tahun 1677, dan terus berlangsung hingga tahun 1870, ketika pemerintah kolonial Belanda mengubah haluan ekonomi melalui sistem liberal. Artinya, selama hampir dua abad, Priangan dijadikan laboratorium pemaksaan tanam kopi yang hasilnya sepenuhnya dimonopoli pemerintah kolonial.
Sistem ini pada dasarnya mewajibkan penduduk desa di Priangan untuk menanam kopi di lahan mereka sendiri. Pemerintah kolonial tidak turun langsung dalam pengelolaan, melainkan menyerahkan segala urusan kepada struktur birokrasi lokal—dari bupati, demang, hingga kepala desa. Para pejabat pribumi ini diberi tanggung jawab mengorganisasi produksi, distribusi, dan pemungutan hasil panen kopi. Kompeni hanya mengatur kuota dan pengiriman, serta menetapkan harga beli yang jauh di bawah nilai pasar dunia.
Dalam praktiknya, Preangerstelsel menjelma menjadi bentuk tanam paksa terselubung yang berlangsung jauh sebelum diberlakukannya Cultuurstelsel secara nasional pada 1830. Bahkan, sistem inilah yang kemudian dijadikan model bagi pelaksanaan tanam paksa di daerah lain. Preangerstelsel juga tidak benar-benar dihapus ketika sistem liberal diterapkan, terutama untuk komoditas yang masih dianggap menguntungkan seperti kopi.
Kopi sendiri mulai ditanam di Priangan sejak 1707. VOC yang semula mengimpor kopi dari Yaman, beralih ke produksi lokal setelah harga kopi dari Timur Tengah melambung akibat persaingan dagang internasional. Priangan dipilih karena kondisi geografisnya cocok, dan karena pemerintah kolonial dapat mengendalikan penduduknya secara administratif.
Baca Juga: Gunung Selacau, Jejak Dipati Ukur dan Letusan Zaman yang Kini Digilas Tambang
Hasilnya cukup mencengangkan. Pada 1723, tercatat lebih dari dua juta pohon kopi tumbuh di wilayah ini, sebagian besar sudah berbuah. Hanya dua tahun berselang, kopi Priangan mulai mengungguli Yaman dalam produksi global. Bahkan, pada 1726, VOC menguasai 50% hingga 75% perdagangan kopi dunia, dengan 75% di antaranya berasal dari Priangan.
Keresidenan Priangan tak cuma dijadikan kebun pemerintah. Sejak awal abad ke-19, muncul pula perkebunan kopi swasta. Di Ujungberung, Ciputri, Gunung Parang, kopi ditanam di tanah pribadi. Tahun 1813, kopi swasta sudah ikut panen, meski baru menyumbang 7% dari total produksi.
Puncak kejayaan kopi Priangan berlangsung hingga pertengahan abad ke-19. Antara tahun 1840 hingga 1849 saja, pemerintah kolonial memperoleh keuntungan sebesar 65 juta gulden dari kopi. Sebagian besar dihasilkan dari tangan petani di wilayah pegunungan ini. Namun, pada 1860-an, posisi Priangan sebagai penghasil utama mulai digeser oleh wilayah lain seperti Keresidenan Pasuruan.
Priangan yang hari ini dikenal sebagai penghasil kopi berkualitas, dulunya adalah ladang pemaksaan yang panjang dan melelahkan. Sejarah Preangerstelsel menjadi pengingat bahwa wangi kopi tak selalu berasal dari proses yang adil, kadang juga dari peluh yang dipaksa mengalir.