AYOBANDUNG.ID - Siapa bilang Bung Karno cuma bisa orasi dan bikin resolusi? Di Bandung, beliau sempat jadi arsitek part-time dengan selera desain yang tak kalah dari para jebolan Bauhaus. Salah satu jejaknya berdiri diam-diam di belokan Jalan Dalem Kaum menuju Lengkong Besar: Hotel Lengkong.
Kalau sedang jalan-jalan di Bandung dan melewati Jalan Lengkong Besar, jangan heran kalau tiba-tiba mata tertumbuk pada bangunan dengan warna abu, oranye, dan biru yang kontras tapi entah kenapa tetap cocok. Itulah Hotel Lengkong, dulunya dikenal sebagai Gedung Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia (GKPRI), yang konon katanya dibubuhi sentuhan tangan Ir. Soekarno. Iya, Bung Karno kita itu.
Sebelum jadi Presiden dan sibuk dengan pidato-pidato penuh getaran revolusi, Bung Karno adalah mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) jurusan Teknik Sipil, angkatan 1926. Katanya sih, beliau bisa marah kalau desain bangunan terlalu membosankan. Maka jadilah bangunan GKPRI ini sedikit ‘bernyawa’.
Diresmikan pada tanggal 20 Juli 1959 oleh Raden Hasan Permana, Ketua PKRI Jawa Barat, gedung ini awalnya bukan tempat tidur nyenyak buat wisatawan, melainkan tempat para PNS merajut cita-cita koperasi yang mandiri.
“Gedung PKPN Djawa Barat ini sebagai lambang daja kekuatan anggotanja dengan resmi dibuka pada hari Senin tanggal 20 Djuli 1959 oleh ketua PKPN Djawa Barat---Raden Hasan Permana,” demikian bunyi prasasti yang kini berada persis di bawah gambar Bung Karno di lobi hotel.
Baca Juga: Pieterspark, Taman Tertua di Bandung yang Berdiri Sejak 1885
Tapi, seiring reformasi yang membabat semangat koperasi layaknya rumput liar di taman belakang, gedung ini sempat diubah menjadi ruang pendidikan. Baru pada 2004, ia kembali menemukan identitas barunya: hotel dan wisma dengan nuansa retro dan sedikit aroma kenangan masa lalu.
Hotel Lengkong bukan hotel besar yang bisa bersaing dengan gedung-gedung pencakar langit. Tapi soal gaya? Boleh diadu. Gaya arsitekturnya adalah Art Deco Streamline, alias aliran seni arsitektur yang suka lengkung-lengkung dan garis horizontal macam desain mobil tahun 1930-an. Desain ini bukan cuma soal estetika. Bung Karno, bersama Ir. Rooseno, konon mendesain atap hotel menyerupai dek kapal laut.
Dek kapal? Di tengah Bandung? Ya, itu betul. Bukan buat pelayaran, tentu saja. Tapi untuk melihat panorama Bandung yang dulu masih ramah mata: penuh pepohonan dan gunung di kejauhan. Beliau sengaja bikin datar agar orang bisa lihat pemandangan Bandung. Sekarang? Lihatnya billboard, bukan pohon.
Elemen khas streamline bisa dilihat dari lengkungan di tengah fasad depan, glassblock di area tangga—mirip kaca patri tapi lebih pragmatis—dan atap datar yang dulu sempat jadi tempat santai melihat senja. Walau sekarang dek itu sudah jarang digunakan, fungsinya sebagai penanda zaman tetap terasa.
Hotel ini punya 29 kamar dan 2 ruang pertemuan. Interiornya? Perpaduan antara mebel modern ala katalog daring dan sisa-sisa nuansa vintage dari zaman koperasi masih jadi cita-cita. Kaca bertekstur di jendela, warna cokelat hangat pada furnitur, dan susunan tangga ‘bercabang dua’ jadi penanda bahwa bangunan ini pernah dirancang dengan niat serius.
Sayangnya, tak semua sudut bangunan mendapat perawatan setimpal. Beberapa bagian tampak lesu dan kehabisan tenaga. Mungkin sudah saatnya arsitektur warisan Bung Karno ini mendapat perhatian lebih dari sekadar pelengkap penginapan murah meriah.
Baca Juga: Sejarah Masjid Cipaganti Bandung, Dibelit Kisah Ganjil Kemal Wolff Schoemaker
Tapi begitulah nasib bangunan-bangunan bersejarah di kota yang makin padat oleh coffee shop dan apartemen bertingkat. Kalau tidak jadi spot Instagramable atau tempat horor-hororan, kadang mereka hanya bertahan karena keras kepala sejarah.
Hotel Lengkong hari ini mungkin bukan tempat yang membuat wisatawan menganga. Tapi bagi yang peka terhadap jejak sejarah dan lengkung-lengkung desain yang tak biasa, hotel ini adalah catatan kaki Bung Karno yang terlupakan. Sebuah lengkungan kecil dalam cerita panjang arsitektur Bandung.