Potret Sungai Citarum di kawasan Dayeuhkolot sekitar tahun 1900-an. (Sumber: Leiden University Libraries Digital Collections)

Ayo Jelajah

Sejarah Dayeuhkolot Jadi Ibu Kota Bandung, dari Karapyak ke Kota Tua yang Kebanjiran

Senin 21 Jul 2025, 15:00 WIB

AYOBANDUNG.ID - Di era sekarang, menyebut Dayeuhkolot adalah seperti menyebut sebuah kolam raksasa yang saban musim hujan minta jatah banjir. Orang Bandung tahu benar, kalau hujan turun tiga hari tiga malam, Dayeuhkolot bisa berubah jadi kerajaan Atlantis cabang Jawa Barat. Tapi sebelum jadi ‘wilayah rawan genangan’, Dayeuhkolot justru adalah primadona. Ia adalah ibu kota pertama Kabupaten Bandung, tempat di mana segala keputusan dikeluarkan, dan tongkat komando ditancapkan, secara harfiah.

Dayeuhkolot bukan cuma tempat orang mencari jalan pintas ke Bojongsoang atau Ciparay. Ia adalah dayeuh, alias kota, yang kolot, tua, karena memang sudah jadi pusat pemerintahan sebelum Bandung dikenal sebagai kota dengan sejuta kafe dan sejuta ojol.

Sebelum namanya jadi Dayeuhkolot, daerah ini dikenal sebagai Karapyak. Bukan, ini bukan nama camilan sejenis kerupuk atau nama angkringan. Karapyak artinya “rakit penyebrangan”, karena memang tempat ini jadi titik penting di mana orang-orang menyebrang Sungai Citarum yang kala itu belum semengerikan sekarang.

Penuturan Jujun Syarif Hidayat, juru kunci sekaligus sejarawan lisan yang memelihara narasi para leluhur, sekitar tahun 1600-an, Raden Tumenggung Wiraangunangun—yang lebih hits dengan nama Astamanggala—memugar wilayah Karapyak dan membangun sebuah pendopo sebagai pusat kekuasaan pertama Kabupaten Bandung. “Beliau memilih Dayeuhkolot sebagai pusat pemerintahan pertama Kabupaten Bandung,” ujar Jujun.

Baca Juga: Batulayang Dua Kali Hilang, Direbus Raja Jawa dan Dihapus Kompeni Belanda

Tapi keputusan itu rupanya hanya bersifat sementara. Seperti seorang urban planner dadakan, Astamanggala masih belum puas. Ia ingin pusat pemerintahan Bandung betul-betul berada di jantung wilayah, bukan sekadar strategis secara logistik, tapi juga filosofis. Maka ia mulai merancang ulang, mencari puseur Bandung, pusat sejatinya Bandung. Dan cara mencarinya, sungguh tidak biasa: bukan dengan peta, bukan dengan kompas, apalagi dengan konsultan tata kota.

Cukup dengan tongkat.

Suasana Dayeuhkolot saat ini yang sering dilanda banjir besar saban musim hujan. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)

Berdasarkan legenda yang dituturkan Jujun, Raden Tumenggung Wiraangunangun punya metode unik untuk menentukan lokasi ideal pusat kota. Ia harus menancapkan tongkatnya ke tanah. Jika dari titik itu air memancar keluar, maka di sanalah pusat Bandung. Tak pakai survei geologi atau sensor tanah. Murni spiritualitas dan kepercayaan lokal.

Setelah menjelajah, ia menemukan titik itu—sebuah tempat yang kelak disebut Sumur Bandung. Di sana, begitu tongkat ditancapkan, muncullah air dari tanah. Petunjuk semesta seolah berkata: “Nah, ini dia Bandung beneran.” Lokasi itu kini sudah jadi bagian pusat kota dan, secara ironis, berdiri bangunan PLN di atasnya.

Tapi kisahnya belum selesai. Belum sempat memindahkan pemerintahan ke Sumur Bandung, Astamanggala keburu harus berangkat ke Belanda. Entah untuk belajar, berdagang, atau sekadar menjenguk kolega VOC. Sebelum berangkat, ia memberi mandat penting kepada sang senopati: “Bangun pusat pemerintahan di titik saya tancapkan tongkat.”

Di sinilah tragedi administratif terjadi. Sang senopati—yang mungkin kurang update atau salah koordinat—membangun pendopo bukan di Sumur Bandung, melainkan di lokasi yang sekarang dikenal sebagai Balai Kota. Ketika Astamanggala kembali dari perantauan Eropa, semua sudah terlanjur berdiri. Tangisan tak mengubah sejarah.

“Pas Raden Wira Angun Angun pulang dari Belanda, pusat pemerintahan sudah keburu berdiri di tempat yang salah,” tutur Jujun. Sebuah kesalahan logistik yang membuat sejarah Bandung belok sedikit dari rencana awalnya.

Baca Juga: Kisah Sumur Bandung, Lidi Bertuah Bupati yang Jadi Penanda Kota

Tak lama berselang, Raden Tumenggung Wiraangunangun wafat pada tahun 1681. Ia sempat dimakamkan di Gunung Batu, Baleendah, sebelum akhirnya dipindahkan ke Leuwi Bandung, Dayeuhkolot—tempat ia pertama kali membangun pendopo dan merancang Bandung dari nol.

Lalu mengapa Dayeuhkolot—atau Karapyak—dilupakan sebagai pusat kota? Jawabannya sederhana: banjir. Ya, sejak dulu daerah ini memang langganan air naik pangkat. Citarum yang dulu jadi alasan orang tinggal, berubah jadi alasan orang pindah. Sejarah memberi ruang bagi ironi: dari pusat kekuasaan, Dayeuhkolot berubah jadi pusat keluhan saat musim hujan tiba.

Kini Dayeuhkolot dikenal sebagai wilayah genangan. Tapi sejarahnya tidak bisa digenangi begitu saja. Ia tetap kota tua yang pernah menjadi pusat, sebelum takdir dan debit air membuatnya tersingkir.

Tags:
Sejarah BandungDayeuhkolotKarapyakbanjir

Mildan Abdalloh

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor