Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V saat berpidato di Cianjur. (Sumber: Wikimedia)

Ayo Jelajah

Wiranatakusumah V, Bangsawan Sunda Penentu Bubarnya Parlemen Pasundan Boneka Belanda

Senin 04 Agu 2025, 17:12 WIB

AYOBANDUNG.ID - Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V (1888–1965) bukan sekadar bangsawan Priangan. Ia adalah sosok yang menjembatani dua dunia: kalangan priyayi Sunda yang hidup dalam adat dan tata kolonial Hindia Belanda, serta arus modernitas yang dibawa kaum pergerakan nasional. Dalam sejarah, ia tercatat sebagai Menteri Dalam Negeri pertama Republik Indonesia, namun lebih sering dikenang sebagai Wali Negara Pasundan—sebuah jabatan yang terdengar seperti boneka, tapi dijalankan dengan keberpihakan yang mengejutkan.

Wiranatakusumah berasal dari keluarga bupati yang disegani di tanah Sunda. Ia sempat menjabat sebagai Bupati Bandung dan dididik dalam sistem kolonial, namun hatinya tak ikut tertawan. Dalam banyak literatur dan wawancara, ia digambarkan sebagai “menak nasionalis”, istilah yang digunakan sejarawan Agus Mulyana untuk menggambarkan bangsawan yang menempuh jalur birokrasi tapi tetap berpihak pada cita-cita republik.

“Wiranatakusumah V punya pandangan nasionalis tapi masuk jalur birokratis. Ia tidak memihak Belanda, ia pro pada republik,” kata Agus dalam sebuah diskusi daring Menggali Tokoh Sang Dalem Haji Wiranatakusumah V.

Di masa ketika banyak priyayi memilih jalur aman dengan mengabdi pada Belanda, Wiranatakusumah V justru mengambil risiko. Ketika ditunjuk sebagai Presiden Negara Pasundan oleh Belanda, ia menggunakan jabatan itu bukan untuk tunduk, tapi untuk membelokkan arah sejarah.

Boneka Pasundan, Skema Pecah Belah Belanda

Bila menengok ke tahun-tahun penuh kegamangan setelah Indonesia merdeka, gentingnya posisi Wiranatakusumah V ini dapat tergambar dengan terang benderang. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda tak tinggal diam. Mereka kembali ke Hindia Belanda membawa senjata dan strategi baru. Alih-alih langsung menjajah ulang, mereka menciptakan negara-negara boneka yang diikat dalam struktur Republik Indonesia Serikat (RIS).

Salah satu proyek utama Belanda adalah Negara Pasundan, yang mencakup wilayah Jawa Barat. Pada 1947, mantan Bupati Garut Soeria Kartalegawa, yang juga pendiri Partai Rakyat Pasundan (PRP), memproklamasikan Negara Pasundan di Alun-alun Bandung. Ia bahkan melakukan orasi di Kebun Binatang Cikini demi menggaet simpati rakyat. Tapi rakyat tak peduli. Kartalegawa bukan tokoh berpengaruh. Bahkan Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kecewa.

Baca Juga: Sejarah Bioskop Rio Cimahi, Tempat Hiburan Serdadu KNIL yang Jadi Sarang Film Panas

Pada akhirnya, Van Mook mengubah pendekatan. Ia mengundang tokoh-tokoh masyarakat Sunda dalam serangkaian konferensi. Pada konferensi terakhir tahun 1948, nama Wiranatakusumah V muncul sebagai calon kompromi. Ia dihormati rakyat, dianggap nasionalis oleh Republik, dan tidak terlalu radikal menurut Belanda. Maka, ia pun dilantik sebagai Wali Negara Pasundan.

Tapi Belanda keliru membaca. Wiranatakusumah V bukan boneka. Ia tahu benar bahwa keberadaannya di jabatan itu adalah strategi, bukan legitimasi.

Wiranatakusumah saat berbicara dengan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook. (Sumber: Wikimedia)

Buka Jalan Dekolonisasi

Sebagai Presiden Negara Pasundan, Wiranatakusumah V tidak tinggal diam melihat Belanda mengarahkan pemerintahan federal ke arah yang menjauh dari Republik. Ia membuka ruang manuver bagi para menteri seperti Djumhana Wiriaatmadja yang terang-terangan bersimpati pada Republik Indonesia. Ketika Belanda murka terhadap Djumhana dan hendak membubarkan kabinet, Wiranatakusumah V malah mengancam mundur. Itu bukan gertakan biasa. Belanda gentar.

Langkah itu membuat struktur Negara Pasundan retak dari dalam. Satu per satu simpatisan Republik mulai masuk ke jajaran birokrasi Pasundan. Tapi keretakan itu baru benar-benar runtuh saat pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) meledak di Bandung pada Januari 1950. Gerakan yang dipimpin Raymond Westerling, mantan perwira KNIL, menyerbu kota dan membunuh perwira TNI. Negara Pasundan gamang. Rakyat kehilangan kepercayaan.

Baca Juga: Hikayat Sunda Empire, Kekaisaran Pewaris Tahta Julius Caesar dari Kota Kembang

Dengan situasi yang tak lagi bisa dipertahankan, Wiranatakusumah V memilih jalan pulang ke republik. Pada Maret 1950, ia secara resmi menyerahkan kekuasaan Negara Pasundan kepada Komisaris Republik Indonesia, menandai bubarnya negara boneka tersebut dan kembalinya Jawa Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penulis sejarah Iip Yahya menyebut keputusan itu jadi titik balik dekolonisasi Indonesia. “NKRI mungkin tidak akan ada kalau tidak ada Negara Pasundan yang menggabungkan diri. Dengan dia menggabungkan Pasundan ke republik, semua jadi lemah dan ngikut,” katanya.

Wiranatakusumah V meninggal pada 1965, dalam diam. Namanya tak sering muncul dalam buku sejarah pelajaran sekolah. Ia tidak diceritakan sebagai pahlawan perang atau orator besar. Tapi tanpa siasatnya dari dalam sistem, bisa jadi RIS tetap bertahan, dan Indonesia hari ini tak berbentuk negara kesatuan.

Sebagian pihak, termasuk Iip Yahya, menganggap ia layak jadi Pahlawan Nasional. Bukan karena gelarnya, tapi karena keberaniannya bermain dalam sistem lawan dan menjungkirbalikkannya dari dalam.

“Tapi itu butuh proses. Yang jelas mari kita bahas terus sosok Wiranatakusumah V, sehingga jadi pengetahuan yang dipahami masyarakat luas,” ujar Iip.

Di masa ketika musuh memakai topeng perjanjian dan konferensi, Wiranatakusumah V memilih jalan licin, tapi berpihak. Ia bukan pembakar semangat massa di podium, tapi penyelamat Republik dari dalam birokrasi musuh.

Tags:
Wiranatakusumah VNegara PasundanSejarahSejarah Bandung

Hengky Sulaksono, Redaksi

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor