Perkembangan aset kripto di Indonesia bukan lagi sekadar tren jangka pendek. Dalam satu dekade terakhir, kripto telah menjadi alternatif investasi dan gerbang pembayaran digital terutama bagi generasi muda, pelaku UMKM, dan startup teknologi.
Jumlah investor kripto bahkan telah melampaui investor saham tradisional (Priambodo & Hannany, 2025). Namun, kebijakan kenaikan tarif pajak kripto melalui PMK 50/2025 menimbulkan kekhawatiran terhadap likuiditas pasar, keadilan fiskal, dan daya saing kripto sebagai instrumen investasi dan keuangan digital. Lantas apa saja dampak dari peraturan perpajakan kripto ini?
Berkurangnya Likuiditas Pasar Kripto Domestik
Kebijakan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final menjadi 0,21% untuk transaksi domestik dan 1% untuk transaksi melalui platform luar negeri berpotensi menimbulkan dampak langsung terhadap likuiditas pasar kripto di Indonesia.
Pertama, cost-to-trade yang meningkat akan membuat sebagian pelaku pasar terutama trader kecil dan market maker dengan frekuensi transaksi tinggi mengurangi aktivitas trading karena margin keuntungan mereka tergerus oleh biaya pajak yang bersifat final pada setiap penjualan (Wiraraja, 2025).
Ketika frekuensi trading menurun, kedalaman pasar (market depth) cenderung menyusut dan selisih harga jual-beli (bid-ask spread) dapat melebar, kondisi ini membuat order besar menjadi lebih sulit tanpa mempengaruhi harga, sehingga mengurangi efisiensi pembentukan harga di pasar.
Kedua, kenaikan tarif untuk transaksi lewat platform luar negeri memperkecil peluang arbitrase antar-bursa karena perbedaan beban pajak membuat strategi lintas bursa menjadi kurang menguntungkan dalam jangka menengah hal ini dapat menurunkan arus modal masuk dan keluar yang selama ini membantu menyeimbangkan harga antar-market, sehingga volatilitas lokal berpotensi meningkat (Putri, 2025).
Ketiga, sifat pemungutan yang final dan tidak dapat dikreditkan menimbulkan ketidakpastian biaya yang permanen pada setiap transaksi ketidakpastian ini mendorong pelaku institusional untuk menilai ulang likuiditas yang tersedia dan bisa memindahkan sebagian aktivitas mereka ke bursa di yurisdiksi yang menawarkan perlakuan fiskal lebih ramah.
Akhirnya, kombinasi pengurangan frekuensi trading menyusutnya kedalaman pasar, dan berkurangnya arbitrase global memperbesar risiko less resilient market pasar yang lebih rentan terhadap guncangan harga dan manipulasi.
Dengan demikian, meskipun tujuan kebijakan adalah memperkuat kepastian hukum dan meningkatkan penerimaan negara, implikasi terhadap likuiditas menuntut penilaian kebijakan lebih hati-hati agar tidak mengorbankan fungsi pasar yang sehat
Ketidakadilan bagi Investor yang Mengalami Kerugian

Skema PPh final yang diberlakukan tanpa memperhitungkan hasil keuntungan atau kerugian transaksi menimbulkan masalah prinsip mengenai keadilan fiskal. Dalam sistem yang berlaku, pajak dipungut pada saat realisasi penjualan, terlepas dari apakah penjualan tersebut menghasilkan laba atau menutup kerugian sehingga investor yang mengalami loss tetap menanggung beban pajak. Kondisi ini berbeda fundamental dengan skema capital gains di pasar modal, di mana pajak diberlakukan hanya pada keuntungan bersih sehingga beban fiskal proporsional terhadap hasil akhir investasi (ANTARA News, 2025).
Akibat praktisnya, investor ritel yang sedang koreksi modal atau menutup posisi untuk membatasi kerugian justru tetap membayar pajak, yang dalam beberapa kasus dapat memperburuk kondisi keuangan mereka.
Dari perspektif keadilan distributif, kebijakan semacam ini berpotensi memukul kelompok investor yang lebih rentan (contoh: investor pemula dan UMKM yang menggunakan kripto untuk bisnis) karena mereka tidak memiliki kemampuan diversifikasi dan absorbsi biaya sebesar institusi besar.
Lebih jauh, beban pajak pada transaksi rugi dapat mengubah perilaku investor menjadi lebih defensive mempercepat realisasi kerugian, menunda investasi baru, bahkan mendorong exit permanen dari pasar domestik yang akhirnya bukan hanya merugikan individu itu sendiri tetapi juga melemahkan bentuk partisipan pasar.
Karenanya seruan dari pelaku industri untuk meninjau ulang mekanisme perpajakan misalnya mempertimbangkan transisi menuju pajak atas keuntungan saja atau pemberian kredit pajak pada kasus rugi berdasarkan prinsip keadilan dan efisiensi ekonomi perlu dipertimbangkan (Wiraraja, 2025). Tindakan demikian akan menyelaraskan tujuan fiskal negara dengan prinsip perlindungan terhadap investor dan stabilitas pasar.
Tarif Pajak Relatif Lebih Tinggi Dibandingkan Pasar Modal
Perbandingan tarif fiskal antara transaksi kripto dan instrumen pasar modal menggarisbawahi isu kompetitivitas dalam dunia investasi.
Dengan PPh final transaksi kripto ditetapkan pada angka 0,21% per transaksi, banyak pihak menilai beban ini relatif lebih tinggi dibandingkan tarif efektif yang ditanggung investor pada transaksi saham atau instrumen pasar modal lain yang umumnya mempergunakan mekanisme capital gain dan dapat memanfaatkan pengaturan kredit pajak serta pembebasan tertentu. Perbedaan ini membuat kripto menjadi kurang menarik bagi investor yang menilai imbal hasil bersih setelah pajak (after-tax return) menjadi lebih rendah dibanding alternatif lain (ANTARA News, 2025).
Dampak selanjutnya adalah potensi reallocation of capital yaitu investor yang sensitif terhadap beban fiskal, terutama investor institusional dan high-frequency trader, bisa lebih memilih alokasi ke pasar saham atau produk keuangan lainnya yang memberikan perlakuan pajak lebih menguntungkan atau lebih mudah dikreditkan.
Selain itu, beban pajak yang lebih tinggi dapat menurunkan insentif bagi pengembangan layanan keuangan berbasis kripto di dalam negeri seperti penyediaan likuiditas, produk derivatif, dan infrastruktur bursa karena model bisnisnya harus menanggung biaya operasional yang bersamaan dengan tarif pajak yang relatif tinggi.
Tanpa langkah-langkah kompensasi atau penyesuaian kebijakan, ada risiko jangka panjang berupa perlambatan inovasi fintech lokal dan aliran modal yang berpindah ke yurisdiksi dengan rezim pajak lebih menguntungkan, yang ironisnya justru dapat mengurangi basis pajak itu sendiri.
Dengan demikian PMK 50/2025 memberikan kepastian hukum dengan mengakui kripto sebagai instrumen keuangan digital dan membebaskan PPN atas transaksi kripto. Namun, dampak negatif seperti penurunan likuiditas, ketidakadilan fiskal, dan daya saing yang menurun tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan dialog antara pemerintah dan pelaku industri untuk mengkaji ulang skema pajak. (*)
DAFTAR PUSTAKA
ANTARA News. (2025, 4 Agustus). Pemerintah rilis aturan baru pajak kripto, Tokocrypto siap beradaptasi. ANTARA News.
Wiraraja, A. (2025, 4 Agustus). Membedah pemberlakuan pajak kripto: Regulasi PMK 50/2025. Enciety.
Putri, I. A. (2025, 31 Juli). 5 dampak Indonesia naikkan pajak crypto luar negeri 4 kali lipat, apa artinya untuk investor? Pintu.
Suartama, B. (2025). Penyesuaian tarif PPh kripto: Implikasi dan tata kelola. Ortax.
Priambodo, D., & Hannany, Z. (2025, 31 Juli). Indonesia naikkan tarif pajak transaksi kripto. IDNFinancials.